Pagi yang Baru

1099 Kata
Pagi hari, ketika suasana hati Clara mulai membaik, ia mendapati ada banyak kiriman bunga dan makanan ke rumahnya. Si pengirim, tidak lain dan tidak bukan adalah San. Saking banyaknya, gadis itu agak kesulitan memasukkan buket-buket bunga dan berdus-dus makanan. Ia ingin tertawa dengan tingkah San yang selalu menganggapnya seperti anak kecil. Clara tidak suka, tapi ia juga suka. Mungkin karena itu adalah San, Clara menyukainya. Kalau bukan San, mungkin lain lagi ceritanya. "Oke, mari kita lihat, isi suratnya," ucap Clara, bergumam kepada dirinya sendiri. Setelah kepayahan memasukkan paket makanan dan bunga ke dalam rumahnya. Gadis itu senyum-senyum sendiri ketika melihat isi surat dari San. Jujur saja, ia teringat lagi tentang wajah gugup San ketika menyatakan cinta kepadanya beberapa waktu yang lalu. Surat itu berisi permintaan maaf dan pemberitahuan kalau San akan segera kembali dalam waktu dekat. Ia juga mengatakan beberapa hal kepada Clara dalam bahasa yang cukup puitis. Itu yang membuat Clara merasa lucu. Semua bayangan tentang San yang kalem dan cool, selalu saja dihancurkan oleh tingkahnya jika itu menyangkut Clara. Tingkahnya yang kadang aneh dan lucu. Gadis itu merasa beruntung sekaligus takut. Merasa beruntung, karena dapat melihat sisi lain dari San, yang mungkin tak dapat dilihat oleh sembarang orang, tak mungkin San menampilkan sisi lain dari dirinya kepada sembarang orang. Takut, Clara takut dengan apa yang mungkin terjadi. Semua komentar buruk tentang hubungannya dengan San, Clara takut itu akan membuat hidup San jadi kacau. Karirnya, dan lain-lain, Clara tidak mau itu terjadi. Ia tak mau jadi sebab karir San jadi hancur. Ya, meskipun itu pemikiran yang agak jauh, tapi tetap saja, pikiran itu tak mau lepas dari kepala Clara. Makanya, ia enggan menanggapi pesan dari San. Sebab selain ia sakit hati, sebab selain ia juga terpukul, Clara merasa ia akan dua kali lipat merasa sangat bersalah kalau karir San akan jatuh karena kehadirannya. Ah, ia sedang di fase overthinking. Atau bahkan double overthinking. Clara sudah berpikir berlebihan. Ia tahu itu, ia pun segera berhenti. "Oke. Stop." Clara memerintahkan dirinya untuk tidak larut di dalam pikiran buruk. Ya, ia harus terus melawan pikiran negatif. Ia harus. Tidak boleh tidak. Clara menatap makanan dan bunga dari San. Ia hirup aroma bunga itu perlahan dan merasakan kalau suasana hatinya jadi lebih baik lagi setelah itu. Selanjutnya, ia membuka dus makanan dan mengambil beberapa snack di dalamnya. Ia jadi ingin protes kepada San. Gadis itu meraih ponselnya dan mencari kontak San. Ia pandangi layar ponselnya itu dan menyingkirkan keraguannya. Tak butuh waktu lama bagi Clara untuk dapat tersambung dengan San. Laki-laki itu menjawab dengan cepat telepon dari Clara. Atau mungkin, San memang sedang menunggu telepon dari Clara? "Halo, Clif." Bahkan, yang pertama kali mengeluarkan suara adalah San. "Ya, halo. Aku di sini." "Suka bunganya? Makanannya?" tanya San. Ada nada kegembiraan di setiap kata-kata yang dilontarkannya kepada Clara. Ada harapan. "Suka. Aku suka semuanya. Tapi, apa kamu menganggapku ini anak kecil? Aku jadi penasaran dan kesal." San tertawa. "Aku suka kamu sudah kembali, Clif. Aku suka. Terima kasih, ya." Clara bernapas lega. "Terima kasih kembali. Oh iya, kamu sudah sehat betul? Flu-mu sudah sembuh?" "Ya, aku sudah sembuh. Sepertinya, flu-nya tidak jadi. Jadi ya, aku sehat-sehat saja sekarang. Bagus, kan?" "Bagus. Maaf, ya. Aku baru bisa berkabar sekarang." "Jangan minta maaf, Clif. Aku tahu, setiap orang pasti butuh waktu untuk bisa berdamai dengan keadaan." "Ya, betul itu. Oke. Kapan kamu pulang?" "Nanti, sebentar lagi. Aku pasti akan pulang dan kita bisa saling bertemu lagi, makan es krim, dan banyak lagi." "Oke. Aku harus berangkat kerja." "Heemh. Oke. Hati-hati." "Iya." Ada perasaan sedih ketika telepon itu ditutup. Perasaan Clara terhadap San, sudah kembali. Kesungguhan San, memang tak bisa diragukan. Ada banyak usaha yang terlihat oleh mata kepala Clara sendiri, betapa San selalu berusaha untuk jadi yang terbaik. Clara memakan beberapa snack sebelum pergi bersiap ke tempat kerja. Setelah perutnya cukup terisi, barulah ia berdandan rapi. Mematut dirinya di depan cermin, tersenyum, dan mengatakan kalimat demi kalimat positif. "Oke, Clif. Kamu akan keluar dari rumah ini, hari ini, dengan kepala tegak dan senyuman paling tulus." Clara mengangguk setelah mengatakan itu. Ia pun berjalan keluar dari rumahnya dengan semangat yang baru. Gadis itu, seperti biasa, layaknya beberapa hari sebelumnya, ia kembali menunggu bus. Sambil menunggu, kebiasaan membuka ponsel dan melihat notifikasi tak bisa dienyahkan. Mungkin, bukan hanya dirinya saja yang sering demikian. Mungkin, hampir semua manusia di bumi pun begitu. Ada notifikasi dari Arga. Clara membaca pesan-pesannya dan merasa bahwa sebaiknya, ia menelepon fans-nya itu agar lebih jelas. "Halo, Ar." "Halo, Clif. Aku kaget kamu menelepon. Kamu pasti sudah membaca semua pesanku, bukan?" "Heemh. Aku sudah membacanya. Maaf, ya. Aku tidak langsung membalas. Kemarin-kemarin, rasanya hidupku sedang kacau." "Tidak apa-apa. Sekarang, sudah lebih baik? Kamu sedang apa? Di mana?" tanya Arga dengan detail. Gadis itu tersenyum. Fans-nya seperhatian itu. Ia merasa beruntung. "Sekarang, aku sudah merasa lebih baik. Sungguh." "Bagus. Dua pertanyaan tadi belum dijawab." "Aku di tempat menunggu bus. Aku sedang dalam perjalanan ke tempat kerja. Aku siap untuk hari ini." "San, pacarmu itu, tidak menjemputmu?" "Tidak. Dia masih dalam perjalanan untuk mengurus beberapa hal tentang pekerjaannya." "Begitu, ya." "Iya. Sudah, ya. Sepertinya bus sudah datang." "Tidak. Jangan tutup teleponnya. Ada yang mau aku sampaikan." "Oke. Sebentar." Clara pun naik bus dulu. Ia mencari tempat duduk yang nyaman, yaitu tempat duduk favoritnya. Di mana lagi kalau bukan di dekat jendela. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan jalanan dan itu akan membuat pikirannya lebih segar. "Oke, Ar. Aku sudah di dalam bus. Apa yang mau kamu sampaikan?" "Begini. Entah, tapi ini hanya prediksiku saja. Mungkin, haters-mu itu, jumlahnya tidak seberapa." "Maksudnya? Tapi, sudah jelas kalau di postinganku, ada banyak sekali haters. Jumlahnya bahkan sampai ratusan." "Iya. Sekarang, teknologi itu canggih. Mungkin, pastinya, kamu pernah dengar soal orang yang membeli follower untuk akun media sosialnya. Iya, kan?" "Heemh. Aku pernah dengar soal itu." "Nah, dalam kasusmu juga hampir sama. Mungkin, hanya ada satu orang saja yang berniat buruk kepadamu. Ia pasti kuasa atau kalau tidak, ia punya banyak uang untuk membayar banyak akun fake dalam menyerangmu." Pagi yang jadi agak memusingkan. "Oke aku paham. Tapi, yang aneh adalah, siapa orang yang melakukan itu. Memangnya tidak punya pekerjaan dia itu? Sampai harus mengeluarkan uang dan tenaga hanya untuk membenci aku dan San?" "Clif, bukan itu poin yang ingin kusampaikan. Tentang siapa dalang di balik semua ini, itu urusan belakangan. Satu yang harus kamu tahu adalah, itu berarti, kamu tidak dibenci. Itu hanya rekayasa dan kamu, tidak perlu cemas lagi. Masih banyak penggemar yang mendukung kalian." Kata-kata Arga begitu tegas. Clara akhirnya mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Arga. Ya, benar. Itu poinnya. Ia harus yakin akan hal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN