Pagi yang sedikit mengejutkan. Saat memasuki kantor, Clara berpapasan dengan Kristo Wijaya beserta para pengawalnya. Politisi itu terlihat seperti sedang menahan amarah. Clara tak berani menatapnya lama-lama. Apalagi, beberapa pengawalnya seolah memberi isyarat agar menjaga jarak.
Entah apa yang sedang terjadi, tapi dapat dipastikan, memang sedang ada sesuatu yang terjadi. Mungkin, sesuatu yang gawat atau mungkin ada bawahannya yang melakukan kesalahan. Clara tidak tahu dan merasa tak perlu mencari tahu. Toh, itu bukan urusannya.
Clara pun masuk ke ruangannya tanpa memikirkan hal itu lebih lanjut. Gadis itu bekerja seperti biasa dan berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik.
Pikirannya malah kembali teringat tentang permintaan San soal bertemu dengan Ibu dan adiknya. Pemikiran itulah yang menyita banyak perhatian Clara beberapa hari terakhir. Meskipun sebenarnya ia tak ingin terlalu memikirkan hal itu dengan keras, tapi tetap saja. Bayangan Ibu dan adiknya, seolah-olah terus menari di dalam kepalanya. Setelah ia pikir-pikir, miris sekali dirinya itu. Bisa-bisanya, dua orang yang dulu sangat dekat dengannya, menjadi terasa asing.
Seandainya ada keajaiban, Clara ingin membuat dirinya kembali ke masa lalu dan mencari cara agar semuanya jadi lebih baik. Namun, ia tetap tidak akan membuat pilihan yang ditawarkan ibunya.
Berkali-kali, Clara mencoba fokus kepada pekerjaannya. Sekali lagi, berusaha menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Sebaik-baiknya.
Suara ketukan pintu, membuat Clara sedikit teralihkan. Tak terasa, ketika melihat jam dinding, sudah waktunya makan siang.
Betapa cepatnya waktu berlalu, pikir gadis itu.
"Clif, wanna lunch with me?" tanya Sonia. Ia langsung masuk ke ruangan Clara, bahkan tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
"Oke. Aku juga mau makan siang."
"Bagus. Aduh, betapa rajinnya dirimu ini. Padahal sudah waktunya makan siang, tapi kamu masih tekun dengan pekerjaanmu. Jangan terlalu serius, Clif. Kamu tidak akan dapat penghargaan sebagai pahlawan di kantor ini."
Clara hanya tersenyum.
Ketika mereka berdua keluar ruangan, beberapa orang penting di kantor seperti sedang terburu-buru memasuki ruang rapat. Clara dan Sonia saling bertatapan.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Clara. Seharusnya semua orang sedang istirahat makan siang, tapi beberapa malah terlihat sangat sibuk.
"Kamu tidak tahu, ya? Ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu."
"Hah? Serius?"
Sonia mengangguk.
"Memangnya, apa yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu?" tanya Clara penasaran.
"Kamu ingin tahu, Clif?"
Clara mengangguk mantap.
"Kalau begitu, kita harus makan di restoran di luar gedung. Jangan sampai ada yang curiga."
Sonia berkata setengah berbisik. Clara mengangguk lagi.
Mereka berdua menuju restoran yang agak jauh dari gedung perkantoran. Clara yang bertanya-tanya, berusaha menyimpan rasa penasarannya ketika di dalam perjalanan. Lebih baik ia mendengar penjelasan di tempat yang aman dan nyaman.
Suasana restoran tampak sepi. Clara dan Sonia merasa lebih terbuka di sana.
"Oke. Sambil menunggu pesanan, mari kita bicarakan soal apa yang mungkin terjadi di kantor."
"Mungkin?" tanya Clara. Itu berarti, apa yang akan dikatakan oleh Sonia itu hanya kemungkinan yang belum tentu kebenarannya. Hanya tebakan Sonia saja. Seperti biasa.
"Ya, tapi tenang. Kemungkinan yang menurutku akan sangat tepat. Karena sebelumnya, apa yang terjadi di kantor itu, hampir sama dengan apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu."
"Oke. Kalau begitu, memangnya, apa yang mungkin terjadi? Kulihat, Pak Kristo Wijaya sedang marah tadi."
"Haha. Benar, Clif. Mungkin, itu pertama kalinya kamu melihat seorang Kristo Wijaya marah, bukan? Ya, dia memang akan marah kalau ada sesuatu yang gawat terjadi."
"Kira-kira, apa yang terjadi?"
"Ada seseorang yang berniat merusak citranya. Atau bahkan, bukan berniat lagi. Mungkin sudah."
"Siapa dan kenapa? Apa itu hampir sama dengan kasusku kemarin?"
Clara menemui pemahaman semacam ketika seseorang sudah terlalu sempurna, tetap saja, akan ada yang tidak suka.
"Aku tidak yakin itu sama dengan kasusmu. Karena apa? Karena kamu harus tahu, Clif. Orang yang bisa menyerang Kristo, atau bahkan orang yang bisa menyerangmu, pasti bukan orang biasa. Kalau dia tidak kaya raya, dia pasti tahu seluk-beluk kantor kita. Intinya adalah, ada pengkhianat di kantor. Atau kalau pun bukan di kantor, dia pastilah sangat hebat dan sudah tahu soal keadaan kantor dan mengenal sangat baik bagaimana seorang Kristo Wijaya."
"Ah, ya ampun. Apa yang kira-kira dia lakukan untuk membuat citra Kristo Wijaya buruk?"
"Artikel. Tulisan. Pasti itu. Makanya di kantor kitalah rapat dan segala macamnya diadakan. Karena kita bekerja di bagian itu."
Mendengar penjelasan Sonia, membuat Clara pusing kepala. Tak menyangka, bekerja di bawah sebuah perusahaan yang pemiliknya ternama dan terkenal seantero jagat raya, akan membuat Clara ikut memikirkan hal semacam itu.
"Jadi begitu, ya. Apakah itu akan ikut berdampak ke kita?"
Itu yang paling Clara khawatirkan.
"Ya, pasti."
Pesanan mereka sudah datang.
"Sudah. Kita makan saja dulu. Kita harus bersiap. Mungkin saat kita ke kantor nanti, akan ada banyak tugas yang menanti."
Clara mengangguk.
***
Dan benar saja, ketika keduanya sampai di kantor, semua pegawai yang bekerja diberikan pengarahan untuk terus menaikkan citra Kristo Wijaya senaik-naiknya.
"Apa kubilang," ucap Sonia. Kalimatnya menggantung.
"Iya. Ternyata memang benar."
"Sepertinya, ini lebih serius dari yang aku tebak, Clif. Aku jadi penasaran. Siapa sebenarnya orang yang sangat berani mengusik Kristo Wijaya."
"Aku juga penasaran."
Clara kembali berpikir ulang soal apa yang sudah ia putuskan. Ia sudah berjalan jauh. Dan mulai bertanya-tanya. Apakah keputusannya bekerja di bawah Kristo Wijaya adalah keputusan yang benar?
***
"Jadi, kamu melihat Kristo Wijaya seperti sedang marah?"
Clara mengangguk.
Mobil San melaju pelan. Sore itu hujan sedang mengguyur kota begitu derasnya. San tampak sangat berhati-hati.
"Kasus semacam itu pastilah kadang-kadang terjadi. Sudah biasa juga, kan. Bos juga manusia. Dan lagi, ia politisi. Tak mungkin hidupnya aman-aman saja."
"Ya, aku juga berpikir seperti itu. Tapi sepertinya, yang terjadi merupakan masalah besar."
"Kamu tahu dari mana, Clif? Kamu hanya menebak-nebak. Berhenti seperti itu. Nanti kepalamu meledak memikirkan hal-hal yang belum tentu benar adanya."
"Oke. Aku hanya penasaran."
"Jangan. Jangan penasaran. Karena, kamu mungkin pernah dengar kalau rasa penasaran bisa saja membuatmu menyesal suatu hari."
"Tidak. Aku belum pernah mendengarnya. Aku baru mendengar kalimat itu pertama kali darimu. Jangan menakut-nakutiku."
San ternsenyum.
Mereka sudah sampai di depan rumah Clara. Tapi hujan masih sangat deras.
"Tunggu sebentar. Hujan masih deras."
"Oke."
Clara memejamkan matanya.
"Kamu mengantuk?"
Clara mengangguk.
"Ya sudah. Tidur sebentar. Akan kubangunkan kalau sudah reda."
Ketika Clara semakin lelap tertidur, San menerima sebuah telepon penting. Namun, San tidak menerima telepon tersebut. Ia hanya mengangkat telepon itu untuk mengucapkan satu kalimat penolakan.
"Nanti kutelepon balik. Aku sedang bersama seseorang."
Singkat, telepon itu berakhir cepat.