Clara dan San kembali bertemu dan seperti biasa, selepas pulang dari kantor, mereka akan pergi ke tempat makan. Tempat makan baru. Kebanyakan, San yang merekomendasikan.
"Jadi, ke restoran yang mana lagi kita?" tanya Clara bersemangat.
"Ini rekomendasi dari penggemarku. Katanya, ini restoran bagus. Makanya, aku bilang iya. Aku akan ke sana."
"Jangan-jangan, penggemarmu itu pemilik restorannya." Clara mulai menebak-nebak.
"Bukan. Dia bilang, dia memang sering ke sana."
"Oke!" teriak Clara bersemangat.
"Hmm, bagaimana soal kunjungan ke rumah ibumu?"
Pertanyaan San langsung membuat Clara jadi berpikir lagi.
"Nanti saja. Kalau aku sudah siap."
"Siap? Kapan kamu siap? Ini hanya pertemuan biasa. Bukan pertemuan di mana aku akan melamarmu."
San mengatakan itu dengan santai, disertai tawa kecil.
"Eh, bukan! Bukan siap dalam artian semacam itu. Aku hanya sedang menyiapkan diri, untuk kemungkinan terburuk dari tanggapan yang akan aku dan kamu terima."
San terlihat berpikir sejenak. Sambil masih terus fokus menyetir.
"Kamu tidak akan pernah siap, Clara. Tidak dengan semua pemikiran buruk itu. Kalau kamu terus-menerus menimbang siap atau tidak siap sembari memikirkan itu semua, rasanya sampai kiamat pun kamu tak akan pernah siap."
Clara terdiam. Kesal rasanya mendengar kalimat yang diucapkan oleh San. Meskipun semua kalimat itu memang benar adanya.
"Kenapa? Jangan benci kata-katanya. Benci saja aku."
"Heh. Tidak. Aku tidak membenci kata-katamu atau dirimu. Aku hanya kesal."
"Oke. Sebaiknya, kita berhenti bicarakan kalau kamu kesal soal ini. Kita bicarakan hal lain saja."
"Oke."
Hening beberapa saat. Tak ada yang bicara. Clara dan San seperti sedang menetralkan suasana. Tak berapa lama, Clara tersenyum.
"Kamu kenapa diam?" tanya Clara.
"Lah, kamu kenapa diam juga?" San balik bertanya.
"Ya, tidak tahu. Aku diam, karena aku memang ingin diam saja."
"Baik. Mari kita hentikan. Aku masih punya jatah empat pertanyaan, bukan?"
Clara mengangguk. "Aku juga masih."
"Yakin? Kupikir sudah habis. Terakhir kali, kamu bertanya banyak sekali kepadaku."
"Beri aku satu kesempatan lagi."
"Baiklah. Kamu punya satu kesempatan, dan aku punya empat kesempatan.
"Setuju."
Mobil masih melaju. Rupanya restoran yang dituju tidaklah dekat. San dan Clara pun masih terus melanjutkan percakapan random mereka.
"Aku duluan," ucap San.
"Silakan."
"Aku mau tanya. Kapan kamu jatuh cinta kepadaku?"
Lagi, pertanyaan San selalu tidak terduga.
"Aku lupa, hehe."
"Jawaban tidak bisa diterima. Coba ingat. Apa kamu jatuh cinta sebelum bertemu denganku?"
Clara berpikir. Tapi rasanya, itu tidak benar. Clara memang mengagumi San sebagai seorang penulis. Sebelum mereka bertemu, alias lewat tulisan, lewat postingan, dan lewat foto-fotonya di media sosial. Tapi, apakah itu bisa disebut cinta? Clara pikir, tidak.
"Aku jatuh cinta padamu, saat sudah bertemu. Saat sudah saling bicara, dan ya, seperti itu."
Ada nada ragu pada kalimat Clara. Karena sejujurnya ia tidak ingat tepatnya kapan ia benar-benar jatuh cinta kepada San.
"Begitu, ya. Jawaban yang sangat tidak meyakinkan, tapi aku akan terima."
"Huh. Aku memang lupa, tapi itu tidak penting, kan? Seperti yang kamu bilang kemarin. Masa lalu itu tidak penting, bukan? Yang penting adalah saat ini."
San tersenyum, menyadari ia termakan omongannya sendiri.
"Oke-oke. Sekarang, giliranmu. Apa yang mau kamu tanyakan? Ingat, ya. Hanya satu jatah pertanyaanmu yang tersisa. Satu saja, tidak lebih."
"Oke. Aku akan bertanya."
"Tahan," ucap San. Sepertinya mereka sudah sampai di restoran yang San maksud.
"Ini?" tanya Clara memastikan.
"Iya. Sebentar."
San mencari tempat untuk parkir. Sementara Clara terus melihat dari jendela. Restoran yang bagus dan selalu terlihat mahal, seperti biasanya.
"Mungkin lain kali, kita pergi ke tempat biasa saja," ucap Clara. Ia jadi merasa tidak enak.
"Ya, lain kali. Sekarang, kita nikmati tempat ini. Jangan protes. Kalau protes, aku tidak akan memberimu kesempatan untuk bertanya lagi."
"Iyaaa."
San menepikan mobil dan mereka berdua pun memasuki restoran. Di dalam restoran tersebut, terdapat banyak gambar-gambar. Di setiap dindingnya. Ada banyak gambar yang unik dan memberi kesan khusus. Membuat Clara terus saja memperhatikan setiap gambar, padahal San sudah lebih dulu duduk.
"Duduk, Clif."
"Ah, oke."
Gadis itu duduk dan tersenyum. "Aku suka restoran ini."
"Haha. Sudah kuduga. Banyak yang menarik di tempat ini dan kamu akan rugi kalau seumur hidupmu, kamu tidak menginjakkan kaki kemari."
"Tapi yang jadi pertanyaannya, bagaimana dengan makanannya?" tanya Clara.
"Aku tidak tahu, hehe. Mari kita pesan."
Tak lama, pelayan menghampiri mereka berdua, dan mereka pun pesan beberapa menu.
"Sambi menunggu, aku ingin habiskan jatah pertanyaanku yang tinggal satu."
"Oke. Apa?"
"Karena kamu penulis yang menekuni aliran surealisme, aku ingin tahu. Kata-kata seperti apa yang bisa menggambarkan atau menjelaskan cinta dalam aliran itu? Adakah? Bisakah?"
Jika bukan San yang menerima pertanyaan tersebut, mungkin itu akan membuat orang yang ditanya sakit kepala.
"Sureal, ya. Aku yakin, kamu juga pasti sedikit-banyaknya, pernah mendengar soal aliran itu dan tahu pengertiannya. Apa yang kamu tahu soal surealisme?"
Clara malah ditanya balik.
"Surealisme itu, abstrak? Seperti lukisan abstrak?" tanya Clara sambil menunjuk ke salah satu gambar abstrak di dinding restoran.
"Ya, bisa juga dikatakan demikian. Tapi, surealisme lebih ke seperti dunia mimpi. Di dalam dunia mimpi, kamu tentu bisa melakukan apa saja, semua hal bisa terjadi, dan kadang tidak jelas. Tapi tentu saja, dalam sebuah karya, jika surealisme itu diterapkan ke dalam karya, maka itu harus memiliki tujuan dan nilai estetik."
"Kalau dalam cinta?" tanya Clara santai.
"Ya ampun. Oke. Aku akan pikirkan. Kalau dalam cinta, rasanya tidak pas jika disatukan dengan itu. Cinta itu sesuatu yang seharusnya jelas."
"Jadi, tidak bisa disatukan dengan aliran itu? Masa, sih?" Clara menyesalkan jawaban San. Ia merasa kecewa dengan jawaban San yang seolah asal-asalan. Padahal, San memang merasa cinta itu tak bisa disandingkan dengan aliran surealisme.
"Kalau dalam menulis, ya, bisa saja. Kamu menulis soal surealisme dan cinta. Tapi dalam satu pandangan atau keyakinan, tentu saja tidak bisa. Bagiku, ya."
"Oke. Padahal, aku mengharapkan jawaban berisi kata-kata yang puitis."
"Haha. Aku bukan penyair sebenarnya."
"Lalu kenapa kamu mah berkolaborasi denganku dulu? Puisi pula."
"Karena, puisi adalah jenis karya singkat yang indah. Kata-katanya sedikit dan akan lebih mudah diingat. Begitu."
Clara mengangguk-angguk. Ya, benar.
"Oke sekarang, pertanyaanmu sudah habis. Kamu tidak bisa bertanya lagi, ya. Oke?"
"Oke."
"Aku masih punya banyak kesempatan. Aku akan tanya lain kali. Sekarang, mari makan!"
San berkata begitu, setelah melihat pelayan menyajikan makanan-makanan pesanan mereka.
***
Tapi, cinta memang rasa-rasanya tidak bisa diibaratkan sebagai sesuatu yang sureal. Cinta harus jelas. Dan pasti.
***