Semua Sudah Direncanakan

800 Kata
Dewi menatap wajah pemuda di hadapannya. Wajahnya bersih, teduh, dan... entah mengapa mengingatkannya pada seseorang. “Hampir mirip Roger Danuarta…” gumam Dewi dalam hati, terkejut oleh pikirannya sendiri. Sadewa menatapnya dengan senyum tenang. “Bu Dewi mau kerja, kan? Mau saya antar?” Dewi langsung menggeleng cepat. “Tidak perlu. Saya naik angkot saja.” Sadewa tetap tenang, sedikit mengangkat bahu. “Nggak akan ada angkot kayaknya, Bu. Tadi saya dengar katanya ada demo sopir angkot. Mereka mogok hari ini.” Dewi menyipitkan mata, curiga. “Dari mana kamu tahu?” “Saya mau nunggu angkot aja. Saya nggak mau merepotkan.” Sadewa tersenyum sabar. “Oke, saya tungguin aja Bu Dewi di sini.” Sepuluh menit berlalu. Mereka berdiri dalam diam. Hanya terdengar suara ayam, langkah pejalan kaki, dan angin tipis yang lewat di gang. Dewi mulai melirik jam di pergelangan tangannya. “Udah siang, kan Bu?” ucap Sadewa cepat. “Daripada terlambat, lebih baik diantar saya aja. Saya tahu ibu kerja dimana.” “Kamu tahu dari mana saya kerja dimana?” tanya Dewi cepat, alisnya bertaut curiga. Sadewa mengangguk sambil menunjuk dagunya ke arah Dewi. “Tuh... dari seragam kerja Ibu.” Dewi refleks menarik resleting jaketnya ke atas. “Dari tadi kamu lihat kemeja saya, ya?!” Sadewa tersenyum sedikit kikuk. “Nggak kok, Bu. Cuma familiar aja seragam kerjanya.” Ia mengulurkan helm ke arah Dewi. “Ayo Bu, saya antar. Biar nggak telat.” Dewi menghela napas. Dalam hati, ia bergumam: “Sadewa ini… dari SMA memang suka modus. Sekarang pun, masih aja pakai cara yang sama.” Namun ia mengulurkan tangan dan menerima helm itu. Tak lama kemudian, motor melaju keluar gang, Dewi dibonceng oleh Sadewa. Sementara itu di tempat lain di terminal tak jauh dari tempat Dewi tinggal. Beberapa angkot terlihat terparkir berderet, sopir-sopir berdiri di depan mobil mereka masing-masing seakan sedang menunggu instruksi. Seorang laki-laki berkacamata hitam mendengar suara lewat ponselnya, berdiri dekat palang besi. “Angkot sudah bisa jalan. Tuan Sadewa sudah pergi sama temannya.” Ia pun menjawab singkat. “Siap.” Laki-laki itu memberi aba-aba ke para sopir. “Ayo, kalian sudah bisa jalan.” Sopir-sopir bersorak kecil, beberapa menepuk-nepuk mobil masing-masing. “Alhamdulillah, belum narik aja udah dapet dua ratus ribu!” seru salah satu sopir. Angkot mulai bergerak keluar dari terminal, kembali beroperasi… seolah tak pernah ada mogok sama sekali. Di tempat lain Angin pagi menyapa wajah Dewi yang tersembunyi di balik helm dan kerudungnya. Jaket tipis yang ia kenakan tak cukup menghalau dingin udara pagi saat motor yang dikendarai Sadewa melaju menembus jalanan kota yang masih sepi. Ia duduk tegak, menjaga jarak tubuhnya dari punggung Sadewa. Mereka diam untuk beberapa saat, hanya deru motor dan suara roda bersentuhan dengan aspal yang terdengar. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. "Bu Dewi, sehat-sehat aja, kan?" tanya Sadewa, tanpa menoleh. Dewi menjawab singkat, suaranya teredam oleh angin. "Iya." Tak puas dengan jawaban satu kata itu, Sadewa kembali bersuara. "Ibu masih kerja shift pagi? Atau gantian sama shift siang?" "Gantian, saya kerja dua shift" Lagi-lagi singkat. Sadewa tidak menyerah. "Dulu pas Ibu ngajar pas praktik di sekolah aku, Ibu ramah banget, suka ngajak ngobrol. Sekarang kok diem aja, ya?" Dewi menarik napas panjang, matanya menatap jalan di depannya. Ia sedang tidak ingin mengenang masa-masa idealismenya sebagai calon guru yang runtuh karena satu keputusan keliru: menikah dengan Rendi. Sadewa diam beberapa detik, lalu suaranya terdengar lagi, sedikit lebih pelan, lebih dalam. "Semalam... Ibu bertengkar sama suami ya?" Dewi langsung menautkan alis. Tubuhnya sedikit menegang. Ia tak menyangka Sadewa akan bertanya sejauh itu. Ia tak menjawab. Tidak ingin menjawab. Ada rasa takut salah bicara, takut membuka luka yang terlalu baru. Sadewa bisa merasakan perubahan suasana. Ia pun segera menambahkan, suaranya kini tulus dan tenang. "Maaf, Bu, kalau saya lancang. Tapi... kalau Ibu butuh teman cerita, bahkan bantuan sekalipun... saya siap bantu, Bu. Jangan sungkan." Dewi terdiam. Kata-kata itu menelusup masuk ke dalam celah hatinya yang retak. Tak ada yang pernah berkata seperti itu padanya—dengan ketulusan tanpa syarat. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan sorot matanya yang mulai berkaca-kaca. Dan untuk pertama kalinya, sepanjang perjalanan itu, bibirnya bergerak... "Terima kasih, Sadewa." Bukan jawaban panjang. Tapi cukup. Bagi Sadewa, itu adalah pintu kecil yang mulai terbuka. Setibanya di depan gerbang pabrik, Dewi turun dari motor dengan gerakan cepat namun sopan. Ia menyerahkan helm yang ia kenakan kepada Sadewa, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih." Sadewa menerima helm itu tanpa bicara. Matanya hanya menatap wajah Dewi yang tampak lelah namun tetap anggun, dengan kerudung yang sudah ia rapikan dan kemeja kerja yang tertutup resleting jaket. Saat Dewi hendak melangkah, suara Sadewa menahan langkahnya. "Bu Dewi!" Dewi langsung menoleh. Alisnya sedikit terangkat, menandakan keheranan. Sadewa menghampiri, menarik napas sejenak, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Ia ulurkan pada Dewi. "Aku minta nomor ponsel ibu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN