Bagai Bumi dan Langit

1337 Kata
Dewi terdiam. Matanya menatap ponsel di hadapannya, lalu bergeser menatap wajah Sadewa. Lelaki muda itu berbicara dengan tulus, bukan dengan cara yang menggoda. Namun, Dewi menahan napas. Ia ingat masih berstatus istri Rendi—meskipun hanya secara hukum. Meskipun hatinya sudah retak, meskipun pikirannya telah lama ingin lepas. Ia mengembalikan ponselnya ke tangan Sadewa. "Dewa, aku masih punya suami." Sadewa terdiam. Ada sesuatu yang mengencang di dadanya. Kata-kata Dewi masuk ke dalamnya seperti pisau yang tajam tapi adil. Ia menunduk sesaat, menyembunyikan kekecewaan yang menyelinap di balik ketegarannya. Tapi saat ia menatap Dewi lagi, tekadnya sudah bulat. “Aku ingin lihat sampai mana ibu bisa bertahan dengan lelaki itu…” batinnya. "Baiklah, Bu," ucap Sadewa akhirnya, suaranya datar, tapi bukan karena marah. Hanya mencoba menelan kenyataan. Dewi mengangguk lembut. "Maaf ya, Dewa." Sadewa hanya mengangguk, berusaha memahami. Ia tahu, perasaan bisa tumbuh kapan saja, tapi penghormatan terhadap batas—itulah yang membedakan lelaki biasa dengan lelaki yang pantas. Dewi melangkah masuk ke gerbang pabrik, sementara Sadewa menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Ia belum tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi satu hal pasti: hatinya belum ingin menyerah. Setelah memastikan Dewi masuk ke dalam pabrik dengan selamat, Sadewa kembali menyalakan motor yang ia bawa dan melajukannya keluar dari kawasan industri. Wajahnya datar, namun pikirannya masih terbayang pada percakapan terakhir mereka. Angin pagi menerpa wajahnya, tapi tak bisa menyingkirkan sedikitpun rasa kecewa yang tertinggal. Tak lama kemudian, ia membelokkan motor ke sebuah bengkel yang terlihat cukup besar dan tertata rapi. Begitu motornya berhenti, seorang pegawai bengkel menghampirinya dengan sigap. “Tuan bisa bawa motor juga, ya?” tanya si pegawai sambil tersenyum sopan. Sadewa menurunkan standar motor, lalu membuka helmnya dan menyeringai kecil. “Bisa lah. Masak bawa motor aja yang bisa,” gumamnya pelan, lalu menjawab pegawai itu, “Mana kunci mobilku?” Pegawai bengkel itu segera menyodorkan sebuah kunci mobil dengan gantungan kulit bertuliskan inisial “S.K.” Sadewa mengambil kunci itu, lalu menyerahkan kunci motor pada si pegawai. “Ini kunci motor. Pegawaiku nanti akan ambil ke sini.” Pegawai itu mengangguk. “Baik, Tuan. Nanti kami bantu uruskan.” Tanpa banyak bicara lagi, Sadewa berjalan meninggalkan halaman bengkel. Langkahnya tenang, penuh perhitungan. Tak lama, ia berhenti di depan sebuah mobil sport hitam metalic yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Bodinya ramping dan gagah—seolah mencerminkan pemiliknya yang hidup dengan kemewahan. Ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam kabin yang elegan dan wangi kulit. Mesin meraung halus saat dinyalakan, dan tanpa menoleh ke belakang, Sadewa melajukan mobil itu meninggalkan bengkel. Di balik kaca gelap mobil mewah itu, Sadewa bergumam pada dirinya sendiri. “Aku akan tetap dekati… walau dia belum izinkan.” Dan mobil itu meluncur mulus di jalanan kota, menghilang di balik deretan bangunan yang padat, meninggalkan sepotong kisah yang baru saja dimulai. Sementara di tempat lain pagi itu, Rendi sudah siap dengan seragam kerjanya—kemeja biru dongker bertuliskan nama perusahaan dan celana bahan yang warnanya mulai memudar karena sering dicuci. Sebuah ID card tergantung di dadanya, menandakan bahwa ia adalah bagian dari tim kebersihan—Office Boy di sebuah kantor di pusat kota. Ia menggantungkan tas kecil berisi bekal dan perlengkapan kerja di bahunya. Hari ini ia dijadwalkan membersihkan area lobi dan pantry di lantai dua. Ia sudah terlambat, dan jika telat lebih dari lima belas menit, ia tahu, potongan gaji tak akan bisa dihindari. Namun saat membuka pintu kontrakannya, langkahnya langsung terhenti. Sosok perempuan berdiri di depan pintu. Wajahnya sudah akrab—tapi tetap saja membuat dadanya berdesir gelisah. “Mbak!” seru Rendi terkejut. Roro, kakaknya, berdiri dengan tangan disilangkan di d**a, matanya tajam. Tanpa permisi, ia langsung melangkah masuk ke kontrakan kecil itu, seolah rumah itu miliknya. “Mbak... aku mau berangkat kerja. Aku udah telat,” ujar Rendi cepat, menyusul langkah kakaknya. “Transfer dulu gajimu. Baru Mbak mau pergi,” ujar Roro tanpa basa-basi. Rendi terdiam. Ia menghela nafas panjang. Wajahnya menegang, lalu berkata dengan nada lebih pelan, “Maaf, Mbak… mulai bulan ini aku nggak bisa transfer semua gaji lagi. Dewi sudah tahu soal itu, dan dia marah besar semalam.” Roro menoleh tajam. “Lho?! Terus... cicilan KPR rumah itu gimana, Ren? Kamu tahu sendiri suami Mbak nggak kerja jelas. Dan rumah itu juga dipakai buat tempat tinggal ibu! Masa kamu mau disebut anak durhaka?! Kamu anak laki-laki, Ren! Satu-satunya yang bisa diandalkan!” Rendi menggigit bibir bawahnya. Ia memang bekerja sebagai OB—gajinya pas-pasan, dan selama ini hampir semua dikirim ke Roro demi membayar cicilan rumah yang ditempati ibunya dan kakaknya. “Aku ngerti, Mbak. Tapi sekarang aku punya istri. Aku nggak bisa terus sembunyi-sembunyi. Dewi berhak tahu ke mana perginya uang gajiku.” “Pokoknya Mbak nggak mau tahu. Kalau bulan ini kamu nggak transfer full, Mbak bakal terus datang ke sini! Kalau perlu, Mbak bicara langsung ke Dewi!” ancam Roro dengan nada tinggi. Rendi membelalak panik. Ia buru-buru berkata, “Jangan, Mbak. Jangan ngomong ke Dewi… dia udah cukup kecewa. Tolong. Aku janji aku transfer. Tapi Mbak pulang dulu. Aku udah izin telat masuk. Kalau Mbak terus di sini, aku bisa benar-benar terlambat kerja, gajiku bisa dipotong.” Roro mendengus, tapi akhirnya ia melangkah keluar dengan langkah marah. Rambut coklatnya yang diikat setengah terlihat berantakan diterpa angin pagi. Rendi menatap kepergiannya. Tangannya meraih ponsel dari saku, lalu membuka aplikasi mobile banking. Ia mengetik nominal yang biasanya ia transfer—dengan berat hati. Kali ini, ia menahan setengahnya. “Maaf, Mbak… aku juga manusia. Aku juga suami,” bisiknya pada diri sendiri. Dengan langkah cepat, Rendi mengunci pintu dan berlari kecil menuju halte. Seragam OB-nya berkibar tertiup angin. Hari ini, bukan cuma lantai kantor yang harus ia bersihkan—tapi juga sisa-sisa kekacauan hidup yang mulai menyesakkan. Jam di dinding kantor menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit ketika Rendi tiba di lobi gedung. Nafasnya masih tersengal karena ia berlari dari halte bus. Begitu sampai, ia langsung mengisi daftar kehadiran dan menuju ruang perlengkapan. Ia mengenakan sarung tangan karet, mengganti sepatu ke sandal kerja khusus, lalu mengambil troli kebersihan berisi cairan pembersih, lap microfiber, sapu, pel, dan kantong plastik cadangan. Gedung delapan lantai itu tak asing lagi baginya. Sudah hampir dua tahun ia menjadi bagian dari staf OB di perusahaan itu. Wajah-wajah karyawan yang melintas pun mulai akrab. “Pagi, Mas Rendi,” sapa seorang karyawan perempuan dari divisi keuangan. “Pagi, Bu Ayu,” jawab Rendi ramah, tangannya tetap sibuk menyemprotkan cairan pembersih ke gagang pintu kaca, lalu mengelapnya dengan gerakan menyilang. Ia berpindah ke meja resepsionis, memastikan permukaannya bebas debu. Komputer, telepon, dan vas bunga kecil tak luput dari perhatiannya. Setelah itu, ia mengepel lantai lobi dengan pel datar, lalu melanjutkan ke lift area. Saat lift terbuka, seorang manajer keluar sambil menyeruput kopi. “Mas, pantry lantai dua kayaknya tumpah kopinya ya?” ujar si manajer. “Baik, Pak. Langsung saya cek,” balas Rendi cepat. Ia menaiki lift ke lantai dua, membawa troli bersamanya. Benar saja, di lantai dekat pantry ada tumpahan kopi yang belum dibersihkan. Ia segera meletakkan tanda "Hati-Hati: Lantai Basah", menyemprot bagian yang kotor, dan mulai mengelap dengan pel bersih. Sesekali ia jongkok untuk mengecek apakah lantai benar-benar kering. Saat istirahat pukul sepuluh, Rendi duduk di ruang kecil dekat ruang perlengkapan. Ia membuka bekalnya—nasi goreng buatannya tadi pagi. Biasanya Dewi yang masak, tapi hari ini beda. Ia harus masak sendiri. Selesai makan, ia kembali bekerja. Kali ini membersihkan kaca depan gedung, mengelap bagian yang penuh sidik jari, lalu mengecek toilet umum pria dan wanita. Semua dilakukan dengan ketelitian dan ketulusan. Setiap sapuan pel, semprotan pembersih, dan langkahnya di lorong-lorong kantor mencerminkan satu hal: meski pekerjaannya sering dipandang sebelah mata, Rendi menjalaninya dengan rasa tanggung jawab penuh. Ia tahu, kebersihan kantor adalah cermin profesionalisme, dan dirinya adalah bagian dari itu. Sementara di luar gedung perusahaan matahari siang menyorot tajam ketika sebuah mobil sport hitam metalic berhenti dengan mulus di depan pintu utama gedung perusahaan itu. Suara mesin yang halus namun berwibawa cukup menarik perhatian beberapa orang yang sedang berlalu-lalang di area parkir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN