Mobil itu bukan kendaraan sembarangan—bodinya mengilap sempurna, pelat nomornya khas, dan siapa pun yang bekerja di perusahaan tersebut pasti mengenalnya. Itu mobil Tuan Sadewa.
Seorang satpam yang sedang berjaga di pos segera melangkah cepat, membukakan pintu mobil dengan gerakan penuh hormat.
"Selamat siang, Tuan," sapa sang satpam sambil sedikit menunduk.
Sadewa mengangguk ringan. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung rapi sampai siku, celana hitam yang pas di tubuh, dan kacamata hitam yang baru saja ia kenakan setelah keluar dari mobil. Wajahnya yang tenang dan tatapannya yang tajam tetap memancarkan wibawa, meski sikapnya santai.
Tanpa berkata banyak, Sadewa melangkah melewati pintu utama dengan langkah tegap. Suasana di lobi langsung terasa berubah—seolah kehadirannya membawa aura berbeda. Beberapa karyawan yang mengenalnya buru-buru berdiri tegak, ada juga yang berbisik pelan sambil meliriknya.
Itulah cucu dari pemilik perusahaan ini. Meski masih muda, namanya sudah dikenal sebagai pewaris utama—bukan hanya karena darah keturunan, tapi karena kecerdasan dan kharismanya yang tak kalah dari sang kakek.
Tanpa menoleh ke kiri atau kanan, Sadewa melangkah pasti menuju lift eksekutif. Sorot matanya tenang, namun pikirannya masih tertinggal di pagi tadi—saat ia membonceng seorang wanita bernama Dewi, yang sudah menempati ruang di sudut hatinya sejak dulu.
Ruang rapat di lantai delapan dipenuhi jajaran direksi senior. Suasana cukup tegang. Para kepala divisi dan manajer berusaha tampak tenang, namun dari gerakan tangan yang gelisah dan sorot mata yang saling melirik, semua tahu: hari ini bukan rapat biasa.
Pintu ruang rapat terbuka.
Sadewa masuk dengan langkah mantap. Jas abu tuanya melingkupi tubuh tegapnya, dan kacamata yang tadi dipakai di luar kini ia letakan di atas meja. Ia membawa map hitam tipis, tak banyak berkas—tapi cukup untuk mengguncang seluruh ruangan.
Para direksi berdiri memberi penghormatan. Sadewa tak meminta itu, tapi semua orang tahu siapa dirinya. Ia memberi anggukan tipis, lalu duduk di kursi utama—kursi yang dulunya diduduki oleh Sagara Wibisana, sang pemilik perusahaan sekaligus kakeknya.
"Silakan duduk," ucap Sadewa tenang.
Begitu semua duduk, ia membuka pembicaraan tanpa basa-basi.
"Mulai hari ini, saya yang memegang penuh kendali perusahaan," ucap Sadewa, nada suaranya dingin tapi tegas.
"Kakek saya, Tuan Sagara, telah resmi menyerahkan semua otoritas pada saya, baik di bidang operasional maupun strategis."
Sejenak, hanya suara detak jam yang terdengar. Beberapa direktur terperanjat, yang lain langsung menunduk, menyembunyikan reaksi. Sadewa memandang satu per satu wajah di meja rapat.
"Saya tahu beberapa dari kalian berpikir saya masih terlalu muda. Tapi kakek saya tidak bodoh. Ia menyerahkan perusahaan ini karena beliau tahu saya mampu."
"Mulai sekarang, segala keputusan akan melalui saya. Tidak ada proyek yang disetujui tanpa sepengetahuan saya. Tidak ada laporan yang disimpan untuk rapat selanjutnya. Semuanya berjalan di bawah kendali saya."
Salah satu direktur keuangan, Pak Herman, angkat tangan dengan ragu.
"Maaf, Tuan Sadewa… Bagaimana dengan struktur laporan yang selama ini sudah berjalan? Ada protokol dari dewan yang—"
"Saya tidak minta saran tentang protokol," potong Sadewa, menatap tajam.
"Saya minta loyalitas. Siapa yang tidak bisa bekerja di bawah kepemimpinan saya, boleh keluar dari ruangan ini sekarang dan tak perlu kembali."
Hening.
Tak ada satupun yang berdiri. Sadewa tahu, para direktur itu tidak bodoh. Mereka tahu siapa pemilik sebenarnya dari segala yang ada di gedung ini.
Sadewa bersandar ringan di kursinya, lalu membuka mapnya.
"Rapat berikutnya akan membahas perubahan di divisi operasional dan sistem pelaporan keuangan. Siapkan semua data secara transparan. Saya ingin perusahaan ini bersih, cepat, dan tajam. Seperti saya."
Rapat pun berakhir lima belas menit lebih cepat dari biasanya, namun meninggalkan jejak yang dalam: Sadewa resmi mengambil alih, dan tidak akan ada ruang untuk main-main lagi.
Di pantry lantai tujuh, Rendi mendapat tugas untuk menyajikan minuman ke ruang CEO.
“Buat orange juice dan antar ke ruang CEO, segera,” pinta kepala OB.