“Baik,” jawab Rendi sigap.
Rendi dengan cekatan menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kristal. Tangannya terampil, meski pikirannya masih tertinggal di pagi hari, pada percakapan dengan Roro yang menguras batinnya. Ia menata nampan dengan hati-hati—gelas, serbet putih bersih, dan sepotong kecil lemon di sisi piring kecil sebagai pemanis tampilan. Ia menghela nafas, lalu membawa nampan itu keluar.
Langkahnya cepat namun terjaga, menyusuri koridor menuju ruang CEO.
Di lantai yang sama, lift VIP terbuka. Sadewa melangkah keluar dengan punggung tegak, diikuti oleh Evan, sekretaris pribadi yang sudah lama bekerja untuk Sagara Wibisana, dan kini berpindah tangan menjadi sekretarisnya.
“Kita ke ruangan kakek saya,” ucap Sadewa tanpa menoleh.
“Baik, Tuan,” jawab Evan, menyesuaikan langkah di belakang Sadewa.
Saat mereka berbelok di sudut koridor, Rendi juga baru muncul dari sisi sebaliknya, dengan nampan di tangan. Keduanya nyaris berpapasan.
Koridor lantai tujuh dipenuhi aroma karpet mahal dan semilir pendingin ruangan. Rendi membawa nampan berisi jus jeruk dengan hati-hati. Saat ia membelok menuju ruang CEO, langkahnya otomatis melambat ketika melihat dua sosok pria berjalan dari arah berlawanan.
Salah satunya adalah Evan—pria dengan jas abu gelap dan langkah pasti, sekretaris pribadi CEO yang dikenal tegas dan sulit didekati. Di sampingnya, seorang pria muda berwajah tenang, berkacamata hitam, dan bersetelan elegan melangkah dengan percaya diri. Rendi tak mengenali Sadewa.
Rendi segera menunduk sopan. Ia tahu, siapapun pria di samping Evan pasti bukan orang biasa. Aura berkuasanya jelas terasa. Rendi tak sempat melihat wajahnya dengan jelas—takut menatap terlalu lama bisa dianggap tak sopan.
Langkahnya terhenti sejenak untuk memberi jalan.
“Permisi, Tuan,” gumam Rendi, suaranya hampir tenggelam dalam udara dingin lorong itu.
Pria muda itu—Sadewa—tak berkata sepatah kata pun. Tak melirik sama sekali pada Rendi. Ia terus melangkah masuk ke ruang CEO bersama Evan. Pintu tertutup lembut di belakang mereka.
Rendi melanjutkan langkahnya, tepat saat ia mengulurkan tangan ke gagang pintu, pintu itu kembali terbuka.
Evan muncul dengan ekspresi datar.
Dari dalam ruangan, terdengar suara pria muda yang tadi berjalan bersama Evan—nada suaranya datar namun tegas, “Van, kamu saja yang bawa ke dalam. Aku tidak mau dilayani sembarang orang.”
Evan mengangguk singkat tanpa menoleh ke belakang. Ia menutup pintu dengan tenang, meninggalkan Rendi di luar dengan d**a yang agak bergemuruh.
“Serahkan saja minumannya,” ucap Evan sambil meraih nampan dari tangan Rendi.
Rendi sedikit terkejut, tapi segera menunduk dan menyerahkan nampan itu dengan kedua tangan.
“Baik, Pak,” ucapnya pelan.
‘Siapa dia tadi?’ pikir Rendi. Tapi ia tak berani menebak terlalu jauh. Yang jelas, pria itu bukan pegawai biasa. Dan aura yang mengikutinya berbeda.
Sambil membalikkan badan untuk kembali ke pantry, Rendi menarik nafas pelan. Ia merasa, sejak pagi ini—dari pertemuan dengan Roro hingga sekarang—hari ini akan menjadi hari yang panjang.
Sore harinya. Matahari sudah condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di langit yang mulai lelah. Sebuah angkot berhenti pelan di pinggir jalan kecil, debu tipis terangkat saat pintunya terbuka.
Dewi turun dengan langkah tenang. Ia membayar sopir dengan lembaran lusuh, lalu mengucap terima kasih pelan. Sopir hanya mengangguk, lantas melaju kembali membawa deru suara mesin yang cepat memudar di kejauhan.
Ia menarik nafas, lalu mulai melangkah menyusuri gang sempit yang sudah akrab di matanya. Gang itu masih sama seperti biasanya—tembok-tembok rumah sempit, jemuran yang menjulur ke jalan, suara anak-anak kecil yang tertawa, dan aroma gorengan dari warung pojok.
Namun hati Dewi tak selengang gang itu. Pikirannya berisik.
"Aku nggak bisa terus begini," batinnya.
Langkah kakinya makin pelan. Di ujung gang sudah tampak pagar besi berkarat kontrakan yang ditinggalinya bersama Rendi.
"Aku harus cari cara buat daftar gugatan cerai. Harus. Aku nggak bisa menunggu dia sadar, karena aku tahu... dia nggak akan pernah benar-benar berubah."
Suara langkahnya menyatu dengan desir angin sore. Satu dua motor lewat perlahan. Beberapa tetangga menyapanya, dan Dewi membalas dengan senyum tipis—senyum sopan, senyum yang menyembunyikan gemuruh di d**a. Tapi tekadnya justru menguat.
"Kalau bukan aku yang menyelamatkan diriku sendiri, siapa lagi?"
Tangannya menggenggam erat tas yang dibawanya. Lelah memang. Tapi ia tahu, perjuangan baru akan dimulai.
Setibanya di depan kontrakan, langkah Dewi terhenti.
Matanya langsung menangkap dua sosok yang berdiri tak jauh dari pintu rumahnya.
Salah satunya mengenakan kerudung panjang berwarna hitam dengan wajah yang penuh ekspresi dingin, ibu mertuanya. Sedang yang satu lagi bersandar di pagar kecil dengan tangan terlipat di d**a—sosok itu tak lain adalah Roro, kakak iparnya.
Dewi mengerjap. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Untuk apa mereka datang ke sini?" bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tubuhnya terasa menegang, seperti refleks yang muncul saat bertemu musuh lama. Ia tidak butuh banyak waktu untuk menebak—ini pasti bukan kunjungan biasa.
Wajah ibu mertuanya menoleh ke arahnya. Rautnya tampak menilai, seolah-olah kehadiran Dewi hanya menambah daftar kesalahan yang sudah lama disusunnya dalam hati.
Roro, dengan gaya bicara tajam seperti biasanya, melirik Dewi dari atas hingga bawah. Mulutnya mulai bergerak, tapi Dewi belum mendengar sepatah kata pun. Dunia di sekelilingnya seakan mengecil, menyisakan hanya rasa tidak nyaman yang menguar dari tatapan mereka.
Dewi menelan ludah. Ia belum melangkah mendekat. Sepatu kerjanya masih diam di atas jalanan beton depan rumah, beku oleh ketegangan.
Ia tahu, ini akan menjadi sore yang panjang.
Dewi menghampiri mereka berdua dan mempersilahkan mereka masuk. Ibu mertua dan kakak ipar Dewi itu pun masuk ke dalam kontrakan Dewi dan Rendi itu.
Kontrakan kecil itu terasa panas meski hari mulai sore. Udara di dalam ruangan menegang, seakan ikut menyerap ketegangan yang memuncak. Dewi duduk diatas karpet, wajahnya pucat tapi matanya teguh. Roro duduk dengan tangan bersedekap, sementara Saroh yang duduk di samping Roro menunjuk-nunjuk ke arah Dewi dengan sorot mata menyala.
"Rendi itu anak saya!" ulang Saroh dengan suara tinggi. "Apapun yang dia belikan buat saya, buat Roro, buat siapapun dari keluarga ini, kamu nggak boleh ikut campur, Dewi! Dia bukan milik kamu seorang!"
Dewi mengangguk pelan. Ia menatap Saroh lurus-lurus, lalu menarik napas panjang.
"Ibu benar," katanya dengan tenang. "Rendi memang anak Ibu. Tapi saya juga istri sahnya. Dan kalau Ibu mau tahu… selama ini, kontrakan ini saya yang bayar. Makan kami? Dari gaji saya sendiri. Saya kerja tiap hari, pulang malam, biar dapur tetap ngebul. Sementara uang gaji Rendi—"
Ia menoleh ke arah Roro, suaranya mulai bergetar namun tetap terkontrol.
"—semuanya dikirim ke Mbak Roro. Buat bayar cicilan rumah. Saya sudah tahu semuanya kok, Bu."
Saroh tampak sedikit terkejut, melihat keberanian Dewi bicara seperti itu. Padahal selama ini ia menilai jika menantunya itu pendiam, lemah lembut tak pernah bicara dengan nada tinggi pada Rendi, juga pada dirinya. Tetapi belum sempat bicara, Dewi melanjutkan.
"Saya juga sebenarnya sudah pergi dari kontrakan ini. Saya nggak mau lagi tinggal serumah sama orang yang cuma bisa bohong. Bilangnya nabung buat bangun rumah sendiri… nyatanya malah belikan rumah buat Mbaknya."
Wajah Roro memerah.
"Kamu nuduh aku, Dew?!"
"Saya nggak nuduh. Saya ngomong berdasarkan fakta. Saya diam bukan berarti saya nggak tahu."
Saroh terdiam sesaat, lalu berseru keras.
"Kamu tetap nggak punya hak melarang Rendi! Dia anak saya!"
Pandangan Dewi beralih dari Saroh ke Roro, lalu kembali ke ibu mertuanya.