-Kita Pisah Saja-

1324 Kata
"Saya nggak pernah larang Rendi bantu keluarganya, Bu. Tapi saya juga manusia. Saya juga istri. Saya punya hak untuk merasa dikhianati. Dan kali ini, saya cukupkan. Saya capek terus-menerus disisihkan." Roro menggertakkan gigi. "Kamu pikir kamu siapa sih, Dew?!" Dewi hanya menatapnya tanpa emosi. "Saya cuma istri yang mulai sadar bahwa dia sudah terlalu lama dimanfaatkan." Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di luar. Rendi masuk dengan napas sedikit tersengal, tas selempang kerjanya masih tergantung di bahu. Ia tertegun begitu melihat siapa yang ada di ruang tengah. “Ibu? Mbak Roro?” serunya bingung. Matanya mencari Dewi yang juga duduk di sana. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. Namun Dewi dengan halus menggeser tubuhnya menjauh, menjaga jarak. Rendi langsung merasakan ketegangan yang tak biasa. “Kenapa ibu dan mbak ke sini?” tanyanya, mencoba tetap tenang. Roro mendengus dan menoleh ke ibunya. “Lihat sendiri, Bu! Rendi malah tanya-tanya begitu. Sudah pasti dipengaruhi sama Dewi, kan?” Saroh mengangguk dan berkata dengan nada tegas, “Ibu ke sini cuma mau mengingatkan Dewi, jangan halang-halangi kamu kasih uang ke ibu! Ibu ini orang tua kamu, bukan orang lain.” Rendi membuka mulut, hendak menjawab, tapi Dewi lebih dulu angkat bicara. Suaranya tenang, tapi nadanya tajam dan penuh ketegasan. “Apa wajar minta semua uang Mas Rendi, Bu? Coba pikir, saya memang kerja, iya. Tapi saya ini istrinya, bukan kepala rumah tangga. Saya nggak punya kewajiban ngasih nafkah ke suami saya. Mas Rendi yang punya kewajiban menafkahi saya.” Saroh memutar bola mata, tapi Dewi belum selesai. “Kalau Ibu terus berpikir kalau anak laki-laki ibu itu milik ibu selamanya, ya sudah… biarkan saya pergi. Saya nggak mau terus-terusan didzolimi seperti ini.” Tanpa menunggu reaksi, Dewi berdiri. Ia tak menatap siapa pun, hanya berjalan lurus ke arah kamar dan menutup pintu perlahan di belakangnya. Keheningan menyelimuti ruang tamu. Rendi menunduk, kepalanya terasa berat. Ia menghela napas dalam, lalu memandang ibunya dan kakaknya. “Bu, Mbak… saya mohon, pulanglah dulu. Ini rumah tangga saya. Saya mau selesaikan baik-baik.” Roro langsung menyahut dengan suara keras. “Kalau gitu transfer dulu sisa gaji kamu! Jangan bikin susah!” Rendi menatap kakaknya, matanya lelah. “Nggak bisa, Mbak…” katanya lirih. “Ayolah, Mbak… Mbak kan juga punya suami. Minta ke suami Mbak. Jangan semua dibebankan ke aku.” Roro mendecak dan berdiri kesal. “Ya udah! Tapi jangan salahin Mbak kalau tiap hari Mbak datang ke sini!” Saroh menatap Rendi dalam diam, lalu ikut berdiri. “Ibu cuma mau yang terbaik…” Rendi tak menjawab. Ia hanya menunduk, menahan beban yang makin hari makin menggerogoti dirinya. Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Rendi menoleh ke arah kamar. Ia tahu… ini bukan sekadar kunjungan keluarga. Ini adalah peringatan keras. Dan mungkin, titik balik dari semua kebisuan yang selama ini ia biarkan terjadi. Rendi berdiri di depan pintu kamar yang tertutup. Ia mengangkat tangan, ragu-ragu mengetuk dua kali. Tak ada jawaban. Pelan-pelan Rendi membuka pintu, mendapati Dewi sedang duduk di tepi ranjang, menunduk, kedua tangannya bertaut di pangkuan. Rendi masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. Suara engsel pintu yang berdecit terdengar seperti menggema di antara kesunyian kamar yang tegang. “Wi…” ucap Rendi pelan, hampir seperti bisikan. Ia mendekat, berdiri beberapa langkah dari istrinya. "Maafin aku ya. Aku nggak bermaksud bikin kamu kecewa." Dewi masih diam, namun akhirnya berkata dengan suara pelan yang getir, "Tapi kenyataannya kamu tetap transfer uang ke Mbak Roro. Kamu bilang nggak bakal kasih lagi, tapi tetap kamu kasih." Rendi menghela napas panjang. Ia menatap lantai sejenak sebelum membuka suara. "Iya, aku memang transfer. Tapi bukan buat dia, Wi. Mbak Roro sekarang lagi ada masalah keuangan sama suaminya. Aku kasihan. Dan uang yang aku kirim sebenarnya buat Ibu. Mbak cuma perantara. Lagipula..." Ia menoleh menatap Dewi dengan ragu. "Kalau kamu nggak mau aku transfer ke Roro, kamu harus terima Ibu tinggal di sini, di kontrakan ini, bareng kita." Dewi spontan menoleh. Senyuman tipis muncul di sudut bibirnya, namun bukan senyum hangat. Lebih seperti senyum pahit yang menyimpan banyak luka. "Ga akan bener, Mas," ucapnya lirih. "Ibumu itu nggak pernah suka aku. Bahkan sejak awal." Rendi menunduk. Ia tahu itu benar. Ia tak bisa membantah. "Mas... sepertinya memang lebih baik kita pisah aja," lanjut Dewi dengan suara yang terdengar tenang, meski matanya mulai berkaca-kaca. "Jangan tahan-tahan aku pergi. Atau... kamu yang pergi aja dari sini. Kontrakan ini aku yang bayar. Dari awal." Rendi terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam. Ia tahu Dewi benar. Ia tahu semua ini salahnya. Tapi mendengar Dewi mengucapkan kata 'pisah' membuat hatinya seperti dirobek. "Wi... jangan bilang gitu. Aku..." suaranya tercekat. "Aku nggak bisa kehilangan kamu." Dewi mengalihkan pandangannya ke jendela, menahan air mata yang hendak tumpah. "Kadang yang paling menyakitkan itu bukan kehilangan, Mas. Tapi terus bertahan dalam hubungan yang nggak adil." Hening menyelimuti kamar. Tak ada lagi yang bisa diucapkan Rendi malam itu. Ia hanya bisa duduk di samping perempuan yang telah menjadi istrinya, merasakan jarak di antara mereka yang semakin jauh... meski hanya dipisahkan oleh beberapa jengkal ruang. Dewi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali, menatap Rendi dengan sorot letih. "Mas..." ucapnya pelan namun tegas,"Aku capek. Aku mau istirahat." Rendi menatap wajah istrinya yang terlihat begitu lelah—bukan sekadar lelah fisik, tapi lelah hati. Ia membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, namun tak satupun kata keluar. Ia hanya mengangguk pelan. "Iya, Wi..." gumamnya akhirnya. Ia berdiri perlahan, matanya masih memandangi Dewi dengan rasa bersalah yang sulit dibendung. Tanpa menambah kata, Rendi berjalan menuju pintu. Suara langkahnya pelan, seolah tak ingin mengganggu suasana yang sudah rapuh. Tangannya menyentuh gagang pintu, lalu membukanya. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi, berharap Dewi akan memanggilnya kembali, atau setidaknya memberinya satu senyum kecil. Namun Dewi hanya membalikkan badan, membelakangi Rendi. Ia sudah membenamkan diri ke atas kasur, membiarkan keheningan menelan semuanya. Pintu kamar tertutup pelan. Rendi berdiri sejenak di depan pintu yang kini memisahkan mereka. Lalu, dengan langkah berat, ia menjauh, membawa perasaan yang menggantung di d**a dan kenyataan bahwa hubungan mereka mungkin sedang berada di ujung tebing. Begitu pintu tertutup, Dewi masih membelakangi ruangan. Punggungnya terasa berat seolah memikul semua beban yang tak pernah ia bagi. Ia menggenggam ujung bantal dengan erat, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. Air matanya mulai mengalir, perlahan, tanpa suara. Ia menangis dalam diam. Tak ada isak, tak ada keluh. Hanya air mata yang jatuh satu per satu, membasahi pipinya dan bantal yang menampung segala keluh kesah yang tak pernah sempat diucapkan. "Aku capek..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, "Tapi aku harus kuat. Siapa lagi kalau bukan aku?" Dewi tak punya tempat mengadu. Ia tahu, jika ia menelepon ibunya, suara sedihnya akan langsung terbaca. Dan ia tak ingin membebani perempuan tua itu, yang sudah cukup lelah berjuang membesarkannya dulu. Pada kakaknya? Tidak. Kakak laki-lakinya kini punya keluarga sendiri. Ia tak ingin menyusupkan luka hatinya ke rumah tangga orang lain. Dewi menggigit bibir bawahnya, menahan suara yang hampir pecah. Matanya menatap langit-langit kamar kontrakan yang sempit, mencari penghiburan yang tak ada. Ia merasa sendiri. Sendiri dalam pernikahannya, sendiri menghadapi keluarga suaminya, dan kini, sendiri pula menanggung keputusan yang entah akan membawanya ke mana. Pelan-pelan, tubuhnya meringkuk. Ia memeluk bantalnya seolah bantal itu satu-satunya tempat ia bisa berlindung dari kerasnya kenyataan. Dalam hening malam yang mulai turun, Dewi terus menangis. Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli. Tapi ia tahu satu hal: ia harus tetap hidup. Harus tetap kuat. Meskipun hatinya perlahan-lahan mulai retak. Malam telah larut. Hening menyelimuti kontrakan kecil itu. Lampu kamar sudah dimatikan sejak beberapa jam lalu, tapi mata Dewi belum juga mau terpejam. Tubuhnya rebah di atas kasur, namun pikirannya terus berputar—penuh dengan bayangan percakapan terakhirnya dengan Rendi dan keputusan yang belum bulat. Tiba-tiba, di antara senyap malam, telinganya menangkap suara samar dari ruang tengah. Suara yang sangat dikenalnya—Rendi. Awalnya hanya desau pelan, tapi ketika Dewi menajamkan pendengarannya, ia bisa mulai menangkap potongan kalimat yang keluar dari mulut suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN