“Enggak boleh!” Aku menolak dengan tegas. Tidak ada keraguan sedikit pun saat aku memberi penolakan. “Bisa-bisanya Mas minta itu di saat obrolan kita bahkan belum selesai? Aku aja belum bilang maafin Mas, lho!” “Beneran enggak boleh, Da?” “Iya. Enggak boleh.” “Kamu tahu apa artinya?” “Dosa? Mas enggak rela dengan penolakanku kali ini?” Mas Hanif tidak menjawab. Yang ada, dia tiba-tiba menjatuhkan dirinya di atasku. Kepalanya dia taruh di atas pundak kiriku. Jujur, badannya agak berat, tetapi tak masalah. “Mas harus nunggu sampai kapan, Da?” lirihnya. “Rasanya pengen nangis.” “Lebay banget, Mas ini.” “Serius, Da.” Aku tahu, ‘nangis’ di sini hanyalah satir. Kata itu dia gunakan untuk mengungkapkan kekecewannya. Lagi pula, random sekali suamiku ini. Tadi dia masih santai membahas te