“Aku minta maaf, Nif. Aku benar-benar minta maaf.” Mas Hanif tampak tak menyangka saat mendengar kalimat itulah yang pertama kali keluar dari mulut Tito. Saat ini, kami bertiga duduk satu meja di kedai kopi yang letaknya hanya di samping indomaret. Tadi Tito diantar orang tuanya, dan mereka menunggu di luar. “Tapi kayaknya aku enggak pantas dapat maaf darimu, ya?” lanjut Tito kemudian. “Udah terlambat juga rasanya. Harusnya aku minta maaf jauh lebih awal.” Mas Hanif di sampingku masih diam. Aku terus mengapit lengannya, persis seperti saat kami menemui Niko di penjara. “Tiba-tiba banget minta maaf. Maaf untuk yang mana?” balas Mas Hanif akhirnya. “Saking banyaknya kesalahanku, aku sampai enggak sanggup menyebutkannya satu per satu. Yang jelas, aku minta maaf untuk semuanya—” “Aku ing