“Hanif ternyata enggak sependiam itu, ya, Da, kalau udah kenal?” ucap Ibu malam itu ketika aku dan beliau duduk berdua di ruang tengah. Ada TV yang menyala di depan kami, tetapi kami tidak betul-betul menontonnya. Biasa, TV di rumahku seringnya hanya jadi pajangan dan pengusir keheningan. “Emang. Apalagi sama aku, Bu. Bisa dibilang cerewet.” “Masa, sih? Kalau cerewet, Ibu enggak bisa bayangin. Tadi Ibu cuma batin aja waktu ngajak dia belanja, ternyata dia cukup banyak bicaranya. Ya kadang kasih pendapat juga soal belanjaan. Seenggaknya enggak kaya awal-awal kalian nikah. Jujur aja, Ibu sempet takut banget kalau kalian komunikasinya jelek. Soalnya, komunikasi bagus atau enggak itu kuncinya di laki-laki.” Soal komunikasi jelek, sebetulnya tidak salah. Namun, komunikasiku dan Mas Hanif jel