Kurasa, Mas Hanif betulan marah padaku. Sejak dia keluar, dia tidak masuk kamar lagi. Dia bahkan tidak ada di rumah. Titipanku dia biarkan begitu saja tergeletak di atas meja makan. Mobilnya juga tidak ada, itu artinya dia pergi meninggalkan rumah entah ke mana. Musim hujan harusnya sudah mulai berganti menjadi musim kemarau. Namun, sore ini Semarang tiba-tiba diguyur hujan dengan begitu lebatnya. Petir sampai menyambar berkali-kali, membuatku takut dan hanya meringkuk di sofa sembari selimutan. “Mas Hanif ke mana, sih?!” Aku melirik jam dinding, saat ini sudah pukul delapan lebih dua puluh menit. Sebentar lagi setengah sembilan, tetapi Mas Hanif belum ada tanda-tanda akan pulang. Padahal, saat dia keluar, matahari bahkan belum tenggelam. Sejak tadi aku belum makan nasi, tetapi titipan