“Aduuuh! Gimana, ini? Gimana, ini?” Sudah lima belas menit lebih aku hanya berguling di atas tempat tidur. Aku tidak berani keluar, padahal sudah saatnya aku berangkat ke rumah sakit. Waktu yang kupunya tidak banyak lagi. Jujur, saat ini aku tidak berani menampakkan wajah di depan Mas Hanif. Meski semalam masih cenderung pasif, tetapi aku sempat membalas ciumannya. Itu gerak refleks saja, respon alami atas apa yang kurasakan. Mungkin juga, aku hanya mengikuti insting. Kini, aku benar-benar malu. Aku tidak tahu harus bagaimana jika bertemu Mas Hanif. Apa aku harus pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa? Atau aku harus menampakkan kecanggunganku? “Aaaak!” aku menjerit tertahan. Aku bangun, lalu kutatap diriku di pantulan cermin.“Gimanapun juga, Mas Hanif itu suamimu, Da. Dia berhak atas