“Yes. Absolutely, yes.” Aku menjawab itu tanpa keraguan sedikit pun. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan air mataku mulai merembes keluar. Dasarnya aku ini cengeng. Sedih, menangis, bahagia pun menangis. Kali ini aku menangis karena hati rasanya campur aduk. Ya kaget, tak menyangka, terharu, bahagia, semuanya jadi satu. Aku masih speechless, bahkan saat kalung cantik itu kini sudah bertengger di leherku. Aku menunduk dan merabanya. Sungguh, aku menyukainya. Mas Hanif memang sangat pandai memilih. Seleranya sangat bagus. “Gimana, Da, kamu suka?” tanyanya begitu sudah berdiri di depanku. Aku mendongak, lalu mengangguk berulang kali. Berikutnya, segera kupeluk Mas Hanif erat. Benar-benar erat. Aku bahkan menggelamkan wajahku di dadanya. “Aku suka banget sama kalungnya. M-makasih banyak,