Aku terbangun kurang lebih pukul lima pagi ketika rasanya luar biasa gerah. Aku melirik samping, Mas Hanif masih terlelap. Dia tidak selimutan, sepertinya dia juga ikut kegerahan. Aku turun dari ranjang, lalu naik ke kursi. Tanganku kuulurkan ke atas dan kukibaskan berulang kali. “Ih, AC-nya rusak! Pantesan panas banget!” Aku turun lagi, lalu membangunkan Mas Hanif. Hanya dalam sekali tepukan, matanya sudah terbuka. “Mas, AC-nya rusak. Pantesan gerah enggak keruan!” aku berlari ke arah jendela, lalu menyibak tirainya. Kubuka pengaitnya, kemudian kudorong pelan. Seketika, udara pagi yang segar menyeruak masuk di sela-sela teralis. Mas Hanif kini sudah duduk dan matanya menyipit menatap arah AC. Dia turun dari ranjang, lalu melakukan hal yang sama seperti yang barusan kulakukan. “Oh, iy