MKI-6

879 Kata
Enggar sedang menggarap pekerjaannya di ruang keluarga. Di sudut lain, ada Indah yang sedang memangku Abi sambil mengajaknya bermain. "Ehm, Yan!" panggil Enggar saat melihat Yanti melintas. "Ya, Pak?" "Tolong ambilkan berkas di tas kerjaku. Ada di sofa kamar." "Baik, Pak." Mendapat perintah demikian dari sang majikan, Yanti segera mengerjakannya. "Sepertinya, sudah tidak ada lagi privasi antara kamu dan Yanti, ya, Mas?!" ujar Indah. "Maksud kamu?" "Yanti siapa? Dan sebelum Mbak Intan meninggal, adakah orang lain yang bisa dengan bebas keluar masuk ruangan di rumah ini selain kalian?" "Jangan mulai lagi, Indah! Kamu siapa? Kenapa sekarang sikap kamu sangat berlebihan?! Ini rumahku. Hakku untuk melakukan apa pun dan memberikan wewenang kepada siapa pun di rumah ini. Kalau karena sikapku, kamu menjadi tidak betah, tidak ada yang melarangmu kalau kamu ingin keluar dari rumah ini!" bentak Indah. "Mas mengusirku?" Indah tak habis pikir. "Sikap kamu yang membuatku bersikap seperti itu. Berhentilah untuk bersikap seperti nyonya di rumah ini!" Indah lelah. Baru dua bulan menjadi istri Enggar, nyatanya ia ragu. Apakah pernikahannya akan berjalan lama? *** Akhir pekan, orang tua Enggar datang ke rumah. Tidak seperti biasanya, kali ini mereka memutuskan untuk menginap. Semua panik dibuatnya. Baik orang tua Enggar maupun orang tua Indah, tidak ada yang mengetahui jika putra-putri mereka masih tidur terpisah. Rumah Enggar hanya ada empat kamar. Satu kamar Enggar, satu kamar Ayesa, satu kamar Abi yang ditempati Yanti, dan satu lagi kamar tamu yang ditempati Indah dan Abi. "Bagaimana, Mas? Bagaimana kalau Mama-Papa tahu, kita pisah kamar?" tanya Indah dengan berbisik saat mereka berada di dapur. Sedangkan orang tua Enggar berada di ruang keluarga bersama cucu-cucunya. "Kamu beresin barang-barang kamu, masukin lemari, setelah itu kunci lemari itu. Malam ini, kamu tidur di kamarku. Aku bisa tidur di sofa." "Kalau nanti mereka mau pakai lemarinya, gimana?" "Bilang aja lemari di kamarku penuh. Kamu jadi pinjam lemari di kamar tamu." "Bener, nggak akan apa-apa?" "Udah, sih, kalau ada masalah, nanti dipikirkan lagi. Buruan siapkan makan malam. Jangan sampai kami telat makan!" titah Enggar. "Mas beneran mau makan masakanku?" "Apa boleh buat. Terpaksa. Khusus malam ini." "Oke, suamiku. Tunggu, ya, aku akan buatkan makan malam sepesial untuk kalian." Enggar hanya menggeleng melihat tingkah Indah. Untuk malam ini, mereka memang harus bekerja sama menjadi pasangan suami-istri yang harmonis. Agar orang tuanya senang melihatnya. Makan malam siap. Semua sudah berada di meja makan. Kecuali Yanti. Ia harus menjaga Abi yang memang belum tidur. Sesuai perjanjian, malam ini Indah bersikap layaknya istri yang baik. Ia melayani Enggar. Dari mengambilkan nasi, lauk, sampai air minum. Mereka juga duduk bersisian. Sampai makan malam selesai, tidak ada hal yang mencurigakan. *** Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Indah sedang menidurkan Abi, sedangkan Ayesa ditemani oleh Yanti. Mama Enggar ikut berada di kamar Enggar, menemani Indah. "Ndah, kalian baik-baik saja, kan?" "Maksud Mama?" Indah memang sudah membiasakan diri memanggil mama Enggar dengan panggilan Mama, bukan lagi Tante. "Ya, kamu sama Enggar. Bagaimana sikap Enggar ke kamu?" "Ehm, Mas Enggar baik, kok, Ma." "Apa dia sudah mau melupakan Intan?" "Kalau untuk melupakan, Indah rasa nggak akan bisa, Ma. Lagipula, Indah juga nggak mau menggantikan posisi Mbak Intan, kok, Ma. Kalau pada akhirnya Mas Enggar mencintai Indah, bukan berarti Indah sudah menggantikan posisi Mbak Intan. Selamanya, kami akan berbeda tempat di hati Mas Enggar, Ma." "Anak Mama nggak pernah menyakiti kamu, Sayang?" "Enggak, Ma ... Mama tenang saja." Mama Enggar lega. Itulah yang ia harapkan. Sang putra bisa menerima adik iparnya menjadi istrinya. "Tadi, Mama ngobrol sama Ayesa." "Ngobrol apa, Ma?" tanya Indah. "Katanya, dia masih manggil kamu tante, ya?" Indah tersenyum. "Iya, Ma. Nggak apa-apa kalau soal itu. Toh, panggilan tante juga nggak salah." "Tapi, nantinya dia juga harus manggil kamu bunda. Ya, terserah, lah, mau manggil mama, mami, ibu atau apa pun. Tapi jangan tante." "Butuh waktu, Ma." "Iya, makanya tadi Mama nyuruh Yesa untuk mulai membiasakan diri." *** Di ruang keluarga, Enggar sedang menonton acara sepak bola bersama sang papa. "Bagaimana keluarga kalian? Baik-baik saja, kan?" tanya papa Enggar. "Baik, kok, Pa. Seperti yang tadi Papa lihat." "Baguslah, bukan pencitraan, kan?!" Wajah Enggar menegang sesaat. "Ya, bukan, lah, Pa. Pencitraan buat apa?" "Baguslah. Jangan sampai kamu menyakiti anak orang." Enggar hanya tersenyum tipis. "Papa mau kopi?" "Boleh." "Baiklah, Enggar buatkan dulu." Enggar berdiri, kemudian berjalan menuju dapur. Di dapur ada Yanti yang sedang mengambil air putih. "Belum tidur, Yan?" "Belum, Pak. Bapak mau apa?" "Mau buat kopi." "Biar saya buatkan, Pak." "Baiklah. Dua, ya!" "Iya, Pak." Enggar menunggu di meja makan. Sedangkan yanti mulai memasak air untuk membuat kopi. Air mendidih. Yanti menuangkan air di cangkir. Namun, cangkir jatuh dan pecah. "Ada apa, Yan?" tanya Enggar yang langsung masuk ke dapur. "Nggak apa-apa, Pak. Ini, cangkirnya nggak kuat panasnya." "Oh ... hati-hati." "Iya, Pak." Enggar kembali ke ruang makan. Baru saja pria itu duduk, ia mendengar Yanti berteriak. Ia berdiri kembali dan menghampiri gadis itu. "Kenapa lagi?" "Ini, Pak ... kena pecahan cangkir." Pandangan Enggar tertuju ke jari Yanti. Darah segar mengalir. Enggar langsung mendekati Yanti. Diraihnya tangan gadis itu. Tanpa ragu, Enggar membawa jari Yanti ke mulutnya. Disedotnya darah yang mengalir. Mendapat perlakuan demikian, darah Yanti berdesir. Begitu juga dengan Enggar. Mata mereka saling tatap. "Ehm! Apa yang kalian lakukan?!" oOo Jangan lupa like, komen, dan share ke temen, ya ... ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN