"Ehm! Apa yang kalian lakukan?!"
Refleks, Yanti dan Enggar menjauh.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" ulang papa Enggar.
"Ini, Pa. Jari Yanti kena pecahan cangkir. Darahnya mengalir. Terus Enggar sedot," jawab Enggar jujur.
"Apa?! Disedot? Ada hubungan apa kalian?" tanya papa Enggar, merasa apa yang sang putra lakukan sudah di luar batas.
"Nggak ada, Pa! Enggar Cuma refleks."
"Kalau Indah lihat, bagaimana?!"
"Maaf, Pa."
"Jaga jarak darinya! Kalian bukan mahram!" ucap papa Enggar pada akhirnya. Kemudian meninggalkan putranya, kembali ke ruang televisi.
"Iya, Pa."
Sedari tadi Yanti hanya bisa menunduk malu. Bisa-bisanya ia diam saja saat majikannya tadi menyedot darahnya.
"Maafkan aku," ucap Enggar.
"Saya yang seharusnya minta maaf, Pak."
"Silakan lanjutkan lagi. Hati-hati, tidak usah buru-buru."
"Iya, Pak."
***
Enggar menghampiri sang papa di ruang keluarga. Papanya masih menampilkan wajah tidak sukanya.
"Papa tidak suka dengan sikap kamu," ungkap papa Enggar.
"Maaf, Pa ...."
"Kamu harus ingat, dia itu babysitter anak kamu. Kita nggak lagi ngomong masalah status sosial, ya. Kita lagi ngomongin status kamu yang suami orang. Jangan bersikap berlebihan pada wanita lain. Jangan membuat kami malu. Kami yang meminta Indah menikah denganmu. Jangan kamu sakiti dia!"
"Iya, Pa."
"Jangan iya-iya saja. Tapi tunjukkan dengan sikap."
Untung saja Indah mau diajak bersandiwara. Kalau sampai papanya tahu tentang sikap Enggar selama ini, pasti malam ini sang papa akan menghabisinya.
Yanti membawa kopi buatannya ke ruang keluarga. Ditaruhnya nampan itu di meja.
"Silakan kamu pergi tidur. Sudah malam," ucap papa Enggar pada Yanti.
"Iya, Pak."
***
Enggar masuk ke kamar. Abi sudah tidur di tengah ranjang. Sedangkan Indah tidur di samping kiri Abi dengan badan menghadap bayi itu.
Diam-diam, Enggar memperhatikan Indah yang terpejam. Ia selami perasaannya. Dua bulan sudah mereka menikah, empat bulan dia ditinggal Intan. Perasaannya pada wanita yang dulu berstatus sebagai adik iparnya, masih sama. Belum ada getaran aneh di hatinya saat menatap wanita itu. Namun, mengapa saat tadi menatap Yanti, gadis berusia 21 tahun itu seperti menjerat dengan matanya. Mungkinkah ia sudah jatuh cinta pada gadis itu?
Lamunan Enggar buyar saat Indah memanggilnya.
"Mas Enggar mau tidur di ranjang?" tanya Indah.
"Oh ... nggak. Nggak usah. Biar aku tidur di sofa."
"Baiklah."
Indah kembali memejamkan mata.
***
Enam bulan sudah usia pernikahan Rnggar dan Indah. Sampai sekarang, tidak ada perubahan yang berarti pada hubungan mereka.
Malam ini, Enggar merasa ada yang mengganjal hatinya. Sudah beberapa hari ini, pikirannya selalu tertuju pada Yanti. Harapannya, ia ingin selalu setia pada mendiang istrinya. Namun, kenyataannya hatinya mulai terusik dengan sosok Yanti. Usianya yang masih sangat muda, tetapi pemikirannya begitu dewasa, itulah yang menjadi daya tarik tersendiri gadis itu.
Ingin menghilangakan kegalauan hatinya, pria itu menghubungi temannya. Ia bukan tergolong pria yang suka dunia malam. Namun, kali ini ia ingin mencicipinya.
Masuk ke sebuah kelab, Enggar memesan minuman kepada bartender. Satu gelas rasanya tidak cukup untuk menghilangkan semua kegundahannya. Hingga tanpa sadar, ia mampu menghabiskan beberapa gelas. Tubuhnya terasa melayang. Ia mabuk. Akhirnya, temannya mengantar pria itu pulang.
Sampai di rumah Enggar, Indah yang membukakan pintu.
"Mas Enggar?!"
"Indah, ya?" Orang itu memang tahu segalanya tentang Enggar. Termasuk pernikahan terpaksanya dengan Indah, juga apa yang saat ini Enggar rasakan.
Indah mengangguk.
"Aku Andre. Temen Enggar. Dia mabuk. Jadi, aku mengantarnya pulang."
"Makasih, Mas."
"Sama-sama. Buruan, gih, kamu bawa dia ke dalem. Kalau bisa, bawa dia ke kamar mandi. Siapa tahu, nanti dia muntah."
"Iya, Mas."
"Ya, udah. Aku pulang, ya."
Indah mengangguk lagi. Setelah itu Andre pergi.
Dengan susah payah Indah membawa Enggar masuk ke kamar. Setelah berada di dalam kamar, entah karena apa Enggar mencengkeram siku Indah. Wanita itu terkejut.
"Kenapa, Mas? Ada apa?"
Enggar menatap mata Indah intens. Ada bayang wanita lain dalam sosok Indah yang membuat Enggar ingin sekali mencium wanita itu.
Tanpa bisa dicegah, Enggar menempelkan bibirnya di bibir Indah. Bau alkohol begitu menyengat. Namun, Indah mencoba memejamkan mata. Untuk pertama kali dalam hidupnya, bibirnya terjamah seorang pria.
Indah tidak menolak. Ia berpikir, mungkin memang sudah saatnya mereka berperan sebagai suami-istri yang sesungguhnya.
Enggar terus menciumi bibir Indah. Dahaganya selama ini, rasanya terobati. Tangannya pun tidak tinggal diam. Tubuh Indah dibelainya. Wanita itu pun hanya bisa mengikuti nalurinya sebagai wanita dewasa.
Keduanya saling mencumbu. Hingga akhirnya, pertahanan Indah jebol.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melakukannya. Ia telah menyerahkan harta paling berharga yang dimilikinya pada Enggar. Pada suaminya. Namun, hal yang paling menyakitkan adalah saat Enggar berbisik di telinganya.
"I love you, Yan...."
oOo