Bab 8.

1191 Kata
“Dasar anak sialan kau Arbela! Aku benci kau, aku menyesal telah menghidupi seorang anak sepertimu dan gara-gara kau hidupku hancur.” Teriak Lilian. Lilian melemparkan semua barang yang ada di depannya. Semua pelayan yang melihat nyonya besarnya mengamuk hanya bisa diam dan melihat. Mereka takut jika jadi bahan pelampiasan dari nyonyanya. Lilian mondar-mandir menelepon Bianca, dia sangat bingung karena sejak kabur dari pernikahannya waktu itu Bianca tidak ada kabar sama sekali. “Kemana sih kau Bianca! Dasar anak gak tahu diri, hanya bisa menyusahkan saja. Argh!” *** Sedangkan di mansion Arbela sudah berada dalam pelukan bunda Evelyn dan Clara. “Kak Bela gak apa-apa kan?” tanya Clara sambil menatap mata sembab kakak iparnya. Clara yang sangat menginginkan seorang kakak perempuan membuatnya sangat menyayangi Arbela, sedangkan bunda Evelyn menatap tajam pada Elang. Elang hanya bisa diam karena dia tahu arti tatapan bundanya. Elang berniat membela diri, tapi belum sempat Elang membuka mulut bundanya lebih dulu memukul kepala Elang dengan keras. “Aw, sakit Bun!” ringis Elang sambil mengelus kepalanya yang di pukul oleh sang bunda. “Kamu itu menjaga istrimu saja tidak becus, Elang!” teriak bunda Evelyn sambil menjewer telinga Elang. Bunda Evelyn sangat geram dengan sang anak yang telah teledor menjaga istrinya. Setelah tidur dan istirahat, Arbela bangun mandi membersihkan diri dan ke dapur membuat makan malam bersama mertuanya dan di bantu beberapa pelayan di mansion Pramudia. Di mansion Pramudia memiliki banyak pelayan, tapi untuk makanan bunda Evelyn biasa memasak sendiri karena permintaan sang suami dan Elang. “Maaf Bun, Bela ketiduran.” “Tidak apa-apa Sayang, sini bantu Bunda.” Arbela mendekat dan membantu Evelyn menata makan malam karena makan malam telas selesai di buat Evelyn. Arbela malu sebab tidak membantu mertuanya, namun bagaimana lagi setelah kejadian di mall tadi Arbela ketiduran karena lelah menangis. “Bela, tolong panggil Elang di ruang kerjanya ya.” “Iya Bun.” Arbela berjalan ke atas ke ruangan kerja Elang, namun saat akan mengetuk pintu ruang kerja Elang, Arbela mendengar percakapan Elang dari cela pintu yang tidak tertutup rapat. “Gimana Rey, apa ada kabar tentang Bianca?” “Belum Lang, jejak Bianca seperti di sembunyikan oleh seseorang. Dan aku yakin orang yang bersama Bianca adalah orang yang berkuasa,” jawab Reyhan di seberang sana. Setelah mematikan sambungan telepon dari Reyhan, Elang memutar kursinya menghadap jendela ruang kerjanya. “Kemana kamu Bi?” monolog Elang yang di dengar jelas Arbela. Sakit dan kecewa itulah yang dirasakan Arbela, rasa cinta itu tumbuh begitu saja tanpa bisa Arbela cegah. Dia tahu jika dia mencintai Elang maka dia harus siap menanggung resiko sakit hati. Karena Elang sangat mencintai Bianca, tapi rasa sakit ini sangat tidak disangka oleh Arbela. Perlahan air bening mengalir di pipi mulus Arbela. Tiga tahun hubungan mereka, mustahil rasa cinta itu bisa hilang dalam sekejap. Arbela hanya bisa menahan sesak dan sakitnya. “Bela, kamu tenang saja. Sebentar lagi Elang akan mencintaimu dan hanya kamu yang bisa menjadi menantu keluarga Pramudia.” Batin seseorang yang melihat yang melihat Arbela menangis di depan pintu ruang kerja Elang. Di ruang makan Arbela terlihat lesu dan tidak selera makam. “Apa aku gak pantas bahagia ya? Apa aku dilahirkan hanya untuk dihina, disakiti dan di injak-injak? Aku lelah Tuhan,” batin Arbela. “Kak Bela!” Arbela terjingkat kaget saat Clara memegang bahunya sambil memanggil namanya. “Kamu kenapa Bel?” “Gak apa-apa kok Bun, aku hanya gak selera makan aja,” kata Arbela sambil tersenyum lembut. “Apa kamu hamil Bel?” Sontak saja Elang dan Arbela tersedak mendengar pertanyaan sang bunda. “Bunda!” “Kenapa? Kalian kan sudah nikah, jadi kalau Bela hamil kan wajar saja. Bunda sama Ayah bisa cepat dapat cucu,” kata Evelyn sambil menatap sinis Elang karena masih kesal dengan anaknya. “Iya Bun, doakan saja secepatnya.” Sambung Jordy sang ayah sambil memakan makanannya dengan lahap. “Bagaimana mau hamil, orang Mas Elang gak pernah menyentuh aku kok,” batin Arbela sendu. Elang melirik Arbela yang terlihat lesu dan sedih. “Kenapa sama Bela?” Heran Elang masih sekali-kali melirik Arbela. Selesai makan Arbela tiduran di ranjang sambil bermain ponselnya. Sedangkan Elang masih berkutat dengan laptopnya di sofa. Elang melirik Arbela yang sibuk dengan benda pipinya. “Kemana kamu Kak, aku rindu ingin cerita. Ingin tertawa bareng keliling taman bareng. Maaf aku gak bisa menunggu Kakak pulang, aku sudah menikah,” batin Arbela sambil sekali-kali melihat pesan dari seseorang yang tidak pernah dibalas. *** Di pesawat seorang laki-laki tampan sedang duduk manis sambil tersenyum menatap foto gadis cantik. “Sayang, Kakak pulang, Kakak akan menjemput kamu seperti janji Kakak waktu itu.” Arkana Wijaya, baru menyelesaikan S2-nya di luar negeri. Sekarang Arkana resmi menggantikan sang papa di sebuah perusahaan besar. Arkana tersenyum manis sesekali mencium foto gadis cantik itu. Sedangkan seseorang menatap sendu Arkana. “Sespesial itukah gadis itu di mata kamu Arkana, sampai aku yang selalu ada di sisi kamu tidak pernah kamu lihat sedikit pun. Kamu gadis yang beruntung mendapatkan cinta dari Arkana,” monolog sendu sang gadis. Pesawat mendarat dengan selamat, Arkana dan sekretaris sudah di tunggu oleh Tuan Wijaya dan Nyonya Yuni. Dari jauh Nyonya Yuni dan Tuan Wijaya sudah melihat sang anak yang tampan dengan tubuh tinggi berotot di tambah lesung pipi yang menghiasi wajah tampannya. Di sampingnya diikuti seorang wanita cantik. Maya, seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai, tapi masih kalah tinggi dari Arkana. Maya selalu menemani Arkana dan dia adalah teman kuliah Arkana. “Sayang!” Nyonya Yuni berlari, Arkana merentangkan tangannya dia kira sang mama ingin memeluknya, tapi sang mama melewatinya Arkana mengernyitkan dahinya. Arkana melihat sang mama memeluk Maya dengan bahagia. Tuan Wijaya melihat sang anak kesal sebab sang mama lebih dulu memeluk Maya teman sekaligus sekretarisnya. “Sini peluk Papa, Ka!” kata sang papa sambil memeluk Arkana. Arkana sangat dekat dengan sang papa dan mama karena dia anak satu-satunya dan mereka mendapatkan Arkana sangat lama, sepuluh tahun pernikahan barulah Yuni hamil dan itu yang membuat Arkana sangat berharga bagi mereka. Maya tersenyum mengejek ke arah Arkana sang mama lebih dulu memeluk dirinya. Maya memang dekat dengan keluarga Arkana karena Maya satu kuliah dan apartemen mereka juga dekat jika Nyonya Yuni dan Tuan Wijaya menjenguk Arkana maka Maya akan selalu berkunjung di apartemen Arkana. Jadi tidak heran nyonya Yuni sangat dekat dengan Maya. Tuan wijaya memeluk bahu sang anak yang tingginya sudah menyamai tinggi dirinya. Dua laki-laki beda usia itu masih melihat sang mama yang menciumi Maya dengan gemas. “Mama, anakmu disini loh,” kata Arkana malas, sang mama jika sudah bersama maya maka dia akan tersingkirkan. Nyonya Yuni berbalik menatap sang anak yang memanggil dirinya “Hehe.. anak kesayangan mama.” Arkana mulai jengah jika sang mama sudah dalam mode memanja kan dirinya. “Mama Arkana sudah dewasa, malu ih!” kata Arkana sambil menghampiri sang mama memeluk dan mencium sang mama. “Bagi Mama kamu tetap Arkana kecilnya Mama,” kata Yuni menatap lekat wajah tampan anaknya. “Ingat janji Mama di mansion tadi, jangan menangis.” Papa wijaya mendekat dan menghapus air mata sang istri. “Iya Pa,” jawab Yuni. “Tunggu Kakak Sayang!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN