Mas Kian memang lebih baik dari yang kukira, tetapi bukan berarti aku sudah setuju dijodohkan dengannya. Aku masih enggan menikah. Bahkan setelah kencan pertama selesai, keputusanku masih sama.
Kencan hanya membuat penilaianku pada Mas Kian menjadi lebih baik. Namun, karena penolakanku padanya bukan karena siapa dia, jadi kencan tidak memberi pengaruh apa pun. Harusnya ini tidak mengejutkan mengingat aku sudah memberi clue kalau aku mengiyakan hanya agar tekanan yang kudapat berkurang.
Sepertinya, aku harus sabar. Tiga minggu harusnya tidak lama. Jika itu sudah berhasil kulewati, aku bisa bernapas dengan lega. Baik orang tua maupun Mas Kian tidak boleh lagi ‘menggangguku’.
“Sampai kapan aku harus berakting jadi orang lain, sih?” aku menghela napas panjang. Rasa-rasanya, aku ingin sekali pergi ke tempat yang asing. Di mana orang di sekitarku tidak perlu ikut campur urusanku.
Rasanya sungguh melelahkan harus berakting baik-baik saja di setiap keadaan. Menunjukkan sisi paling baik dari diriku. Membuat orang lain selalu nyaman denganku tanpa mempertimbangkan kenyamananku sendiri.
Kalau casting film, harusnya aku lolos. Aku bisa tertawa sangat lebar di saat hati ingin sekali menangis.
Mila. Satu-satunya orang yang membuatku bisa sedikit terbuka. Itu pun yang dia tahu tentangku masih sangat sedikit. Dia tahunya aku teman yang menyenangkan, padahal mungkin luka yang kupunya tidak lebih sedikit dari lukanya.
“Nafi! Kamu di dalam, kan?”
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar suara Bunda. Aku bangkit dari sofa dan membuka pintu kamar. “Iya, Bun? Kenapa?”
“Bunda boleh masuk atau enggak? Bunda kangen masuk kamarmu.”
“Boleh.” Aku mengangguk. “Mau apa, emang? Kayaknya serius amat, Bun.”
“Enggak ada apa-apa sebenarnya. Bunda beneran cuma kangen masuk kamarmu.”
Aku mundur, mempersilakan Bunda masuk. Beliau duduk di sofa sementara aku naik ke atas ranjang. “Bunda enggak usah pura-pura enggak ada apa-apa. Bunda kalau mau cerita, cerita aja.”
“Hm … itu, sih, Fi. Bunda mau tanya. Gimana hubunganmu sama Kian? Apa ada kenaikan? Udah mau setengah bulan, lho.”
“Kenaikan apanya, Bun? Jelas-jelas jalan di tempat—”
“Bukannya malam minggu lalu kalian kencan, ya? Masa enggak ada kenaikan apa pun?”
“Mas Kian bilang, ya?”
“Jadi bener?”
“Enggak kencan juga, sih, Bun—”
“Terus apa namanya?”
“Ya keluar bareng aja.”
“Namanya kencan, Fi.”
“Iya, deh, iya. Kencan. Di sini aku cuma buka peluang aja, sih. Kalau pada akhirnya enggak cocok, jangan dipaksa lagi. Seenggaknya aku udah mencoba.”
“Kian baik, kan, Fi?” Bunda tersenyum.
“Kalau ngomongin baik … iya, dia baik. Tapi kan baru kulit luar. Dalamnya aku belum tahu. Masih awal banget. Jadi terlalu dini buat nyimpulin.”
“Di kantor apa enggak pernah lihat dia?”
“Kan udah aku jawab waktu itu, Bun. Kalau lihat aja, ya, pasti lihat. Ngobrol juga pernah, cuma seperlunya aja. Tapi mana aku tahu kalau dia mau dijodohin sama aku. Aku heran, deh, Bun. Om Imran kan orang kaya. Pemilik Bumi Tech, kan? Kenapa Mas Kian malah kerja di perusahaan lain?”
“Bunda juga enggak tahu. Suka-suka Kianlah.”
“Apa mungkin karena bosnya itu temannya sendiri?”
Bunda mengedikkan bahu. “Entah. Dia pasti punya alasan, dan alasannya enggak perlu diumbar.”
“Iya, sih.” Aku merebah dan menatap langit-langit kamar. “Bunda …”
“Apa?”
“Aku beneran belum pengen nikah, lho. Ini bukan soal Mas Kian atau bukan. Mau siapa pun orangnya, aku belum pengen. Dibatalkan aja, ya, Bund? Daripada buang-buang waktu.”
“Bunda pengen lihat kamu nikah dulu sebelum Bunda pergi, Fi—”
“Bunda, ih! Apa maksud, coba, ngomong gitu? Mau nakut-nakutin aku? Itu udah ketinggalan zaman, Bun. Ngancem pakai umur itu udah enggak mempan lagi.”
“Kamu enggak mau lihat ini?”
“Hah?” aku bangun. “Ini apa— eh, apa itu?”
Aku melihat Bunda membawa sebuah amplop besar warna putih. Aku lekas melompat dari ranjang dan duduk di sebelah Bunda.
“Apa ini— hah? Rumah sakit? Bunda sakit?”
Bunda tidak menjawab. Aku lekas membaca amplop itu.
“Kamu tahu sendiri, almarhum Eyang Kung yang di Jepara punya penyakit jantung. Bunda kena juga, Fi. Sejauh ini aman, sih. Cuma pemeriksaan tadi siang, dokter bilang kondisi jantung Bunda lagi kurang baik. Memang, akhir-akhir ini Bunda mudah banget cemas.”
“Cemasnya kenapa?”
“Ya kalau-kalau penyakit jantung Bunda mendadak parah dan Bunda pergi saat kamu belum ada yang jagain—”
“Bunda! Enggak lucu, ya, bahas ini sekarang!”
“Bunda kelihatan lagi ngelucukah? Apa bagimu penyakit jantung itu lelucon, Fi?”
“Ya enggak. Maksudku enggak gitu. Penyakit jantung emang enggak bisa sembuh total, tapi kan bisa dikendalikan. Bunda bisa minum obat dan perbaiki gaya hidup.”
“Bunda merasa gaya hidup Bunda udah baik-baik aja. Tapi namanya makin tua itu ada aja lemahnya. Penyakit-penyakit bawaan suka tiba-tiba muncul ke permukaan.”
Aku menghela napas pelan. Bunda ada benarnya. Orang tua memang seringkali ada saja penyakitnya. Ada penyakit bawaan, ada pula yang disebabkan karena pola hidup buruk saat masih muda.
“Enggak tahu kenapa, ya, Fi … Bunda rasanya tenang aja kalau kamu sama Kian. Kalaupun Bunda pergi, Bunda merasa udah selesai tugasnya rawat kamu.”
“Bun, aku beneran enggak suka dengernya. Bunda akan baik-baik aja. Bunda akan panjang umur sampai cucu Bunda gede.”
Sejujurnya, kalimat terakhir ini kuucapkan sebatas di mulut. Bagaimana mungkin aku berani membahas cucu di saat aku masih tidak tertarik menikah? Kalimat ini kulontarkan semata-mata hanya demi membuat Bunda senang dan tenang.
“Umur enggak ada yang tahu, Fi. Kalau boleh minta, ya, maunya panjang umur. Tapi gimana kalau enggak? Bunda takut banget kalau enggak lihat kamu pakai baju pengantin.”
Mengancam soal pernikahan lewat umur memang sudah sangat mainstream dan ketinggalan zaman. Sudah banyak sekali orang tua yang menggunakan trik ini. Aku selalu merasa trik itu harusnya tidak dipakai lagi.
Namun, ketika mengalami sendiri, aku mendadak sangat takut. Bagaimana kalau waktu Bunda tidak lama lagi? Apa aku tidak menyesal seumur hidup karena tidak menuruti permintaan terakhir beliau?
Di satu sisi, memang begitu, tetapi di sisi lain, aku belum siap menggandaikan hidupku pada laki-laki yang belum kukenal baik. Menikah bagi perempuan adalah nasib. Nasib baik atau buruk tergantung suami seperti apa. Salah-salah pilih, akibatnya bisa luar biasa fatal.
“Tapi kalau kamu seenggan itu, Bunda bisa apa?” Bunda tiba-tiba berdiri. “Bunda mau balik kamar, Fi. Bunda bilang ini bukan biar kamu kepikiran, tapi biar kamu mempertimbangkan.”
“Ujung-ujungnya itu. Pada intinya sama aja, Bun.”
“Ya memang itu goal Bunda. Andai Bunda beneran dipanggil, udah ada yang gantian jagain kamu.”
“Bunda, ih—”
“Kamu udah dikasih kesempatan sama Ayah dan Bunda buat kenalin cowok yang kamu mau, tapi kamu enggak bisa. Makanya kami inisiatif ngenalin kamu sama Kian.”
Aku terdiam. Lagi pula, harus membalas apa? Kenyataannya memang begitu. Aku gagal melalui tantangan mereka berdua.
“Udah, sana tidur. Bunda mau turun.”
Begitu Bunda pergi, aku kembali ke ranjang dan merebah di sana. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan otak yang rasanya seperti akan meledak. Aku merasa tersudut kanan dan kiri.
Bagaimana, ini? Harus apa aku setelah ini?
Tiba-tiba saja, ponselku berdering. Aku segera meraihnya. Mas Kian memanggil.
“Ngapain, sih, pakai telepon segala?” meski kesal, aku tetap mengangkatnya. “Hallo? Kenapa telepon? Ada perlu apa?”
“Fi, bisa datang kemari sebentar?”
“Hah? Ke mana? Buat apa?”
“Saya butuh bantuanmu.”
“Bantuan apa dulu?”
“Masih yang waktu itu.”
“Pacar Mas Kian, ya?”
“Iya—”
“Bukan urusan saya. Ah, karena Mas Kian masih punya pacar, saya makin enggak ada alasan buat nerima perjodohan. Saya enggak mau dicap pelakor—”
“Ralat, ralat. Dia bukan pacar saya lagi, Fi. Kami sudah lama putus.”
“Saya enggak peduli.”
“Tolong, Fi. Saya akan kasih imbalan yang setimpal. Kamu tinggal minta, kalau saya mampu, saya kasih.”
“Enggak butuh.”
“Fi, tolong!”
“Emang saya harus ngapain?”
“Cukup datang saja.”
“Ya udah, iya. Cepet share lokasi.”
“Naik gocar aja, pulangnya saya antar. Jangan bawa motor sendiri.”
“Ya.”
Panggilan akhirnya kumatikan. Aku melompat turun dari ranjang, lalu dandan seperlunya agar wajahku tak terlalu mengenaskan. Saat aku cek lokasi tujuan yang baru saja Mas Kian kirim, ternyata tidak terlalu jauh.
Baiklah, akan kuturuti maunya.
***
Lokasi yang harus kudatangi adalah sebuah café. Aku hanya butuh waktu kisaran sepuluh menit perjalanan. Tempatnya masih di area Jakarta Timur. Aku masuk café, dan kulihat Mas Kian sedang duduk berdua dengan perempuan.
Benar, dia adalah perempuan yang waktu itu. Aku ingat karena rambutnya sangat lurus dan panjang.
Siapa namanya? Lisa, bukan?
“Ehm!” aku berdehem pelan. Mas Kian menoleh, dan dia langsung tersenyum.
“Sini, sayang.”
Sayang lagi? Tampaknya aku benar-benar hanya diperalat olehnya.
Aku duduk, lalu tersenyum pada perempuan di depanku. “Kakaknya masih sering nyamperin Mas Kian ternyata, ya? Wih, hebat!”
“Ini kebetulan ketemu aja, kok,” balasnya ketus dan agak sinis. “Saya tadi sama temen, tapi temen udah pulang.”
“Oh …” aku mengangguk. Aku menyenggol pinggang Mas Kian, bingung harus apa.
“Habis ini jadi belanja, kan?” tanya Mas Kian padaku.
“B-belanja? Oh, iya, jadi. Sama beli buku, ya?”
“Oke. Sama katamu butuh beli sepatu olahraga.”
“Iyaaa. Yang lama udah jelek soalnya. Beli dua, ya, Mas? Buat ganti-ganti.”
“Iya, boleh.”
“Ehm!” perempuan di depanku— maksudku Lisa, tiba-tiba berdehem keras. Dia juga mendadak berdiri. “Ya udah, Mas Kian. Aku pulang dulu.”
“Oke.”
Lisa melangkah pergi dengan kaki agak dihentakkan. Terlihat sekali kalau dia sedang menahan kesal.
“Ck, ck, ck! Jadi, saya datang beneran cuma diperalat biar dia pergi?” aku manatap Mas Kian tak terima. “Kenapa enggak Mas Kian aja yang cabut dan ninggalin dia? Kenapa pakai nyusahin saya?”
“Saya mau ketemu teman penting, dia lagi di jalan. Saya enggak bisa pergi sebelum dia datang.”
“Terus saya harus apa di sini?”
“Kamu udah makan?”
“Lagi enggak pengen.”
“Minum?”
“Ada apa?”
“Sukanya apa? Kopi, teh, atau jus?”
“Jus, deh. Alpukat atau mangga.”
“Oke.”
Mas Kian bangkit dan langsung berjalan ke kasir. Dia memesakan minuman untukku.
Tiba-tiba saja, ponsel Mas Kian yang tergeletak di atas meja menyala. Aku langsung salah fokus dengan wallpaper-nya. Itu adalah foto makam yang baru saja ditaburi bunga warna-warni, dominan mawar merah dan putih.
Aku tidak bisa melihat tulisan di batu nisan karena sangat kecil. Mau meraih ponsel itu juga tak mungkin. Aku melirik kasir, Mas Kian sudah kembali. Akhirnya aku segera memalingkan wajah.
Kini, aku mulai merenung.
Dari sekian banyak foto bagus di dunia ini, kenapa Mas Kian harus memilih foto makam untuk dia jadikan wallpaper? Sepenting apa orang itu sampai sudah meninggal pun masih sangat dikenang?
***