10. Antara Manis dan Menggelikan

2002 Kata
Teman yang dimaksud Mas Kian adalah orang Korea, Namanya Choi Hyunmin. Orang itu di Indonesia dalam rangka kerja dan besok harus kembali. Pantas saja Mas Kian rela menunggu dan membiarkan mantannya menganggu sampai aku datang. Selama Mas Kian dan temannya ngobrol, aku hanya diam dan menjawab seperlunya. Pasalnya, mereka ngobrol dengan Bahasa Korea mix Bahasa Inggris. Kalau Bahasa Inggris, aku masih paham. Kalau Bahasa Korea, aku benar-benar tidak mengerti. Yang kutahu tentang Bahasa Korea hanyalah sapaan awal saat bertemu, terima kasih, minta maaf, lalu aku cinta kamu. Ya, kurang lebih kalimat semacam itulah. Itu pun kutahu karena dulu sering menonton drama Korea. Kalau tidak, mungkin aku tidak tahu sama sekali. “Ngomong-ngomong, dia itu teman apa, Mas?” tanyaku saat aku ikut mengantar Mas Kian ke parkiran. Temannya baru saja pergi. “Hyunmin itu teman kuliah.” “Hah? Dia kuliah di Indo? Eh, tapi kok dia enggak bisa Bahasa Indo?” “Bukan dia yang kuliah di Indo, tapi saya yang kuliah di Korea. Saya pernah ikut pertukaran mahasiswa setahun di Korea. Kami cukup dekat saat itu.” “Ah … gitu.” “Saya banyak belajar Bahasa Korea dari dia, meski sampai setahun berakhir tetap enggak lancar juga. Cuma bisa yang mudah-mudah. Makanya tadi mix. Saya ngerti dia ngomong apa, tapi mau mempraktekkan rasanya susah.” “Paham, paham. Soal bahasa itu emang mau enggak mau harus dipakai tiap hari biar lancar.” “Betul. Dan dia baru saja menikah, jadi enggak bisa lama-lama di Jakarta. Padahal kamu tahu sendiri, orang Korea biasanya menikah telat. Kami seumuran.” “Terus?” aku mencibir. “Apa info itu penting buat saya?” “Dia janji akan datang ke Indo kalau saya menikah. Kalau bisa, mau bawa istri juga.” “Menikah tinggal menikah, Mas. Asal enggak sama saya.” Mas Kian menoleh, aku pun menoleh. Dia menatapku lurus, jadi kutatap balik dengan tatapan yang tak kalah lurus. “Enggak usah coba mengintimidasi saya, Mas. Saya enggak mudah diintimidasi.” “Siapa juga yang mau mengintimidasimu?” “Ya kenapa tiba-tiba natap saya kaya gitu?” “Tiga hari lagi kencan kedua.” “Oh, ya ampun!” aku cemberut. “Beneran perlu, apa? Ini kencan pertama enggak kasih pengaruh, lho. Saya ngerasa kencan kedua dan ketiga pun akan sama aja.” “Itu urusan lain. Yang penting, kamu sudah setuju kencan tiga kali. Jangan ingkar janji—” “Tapi ingat, kalau setelah kencan ketiga saya masih enggak mau, jangan bahas soal perjodohan lagi. Mas Kian juga udah janji. Enggak boleh ingkar!” “Iya. Saya ingat itu.” “Ya udah. Buruan, anterin saya pulang. Saya mau istirahat.” Aku melirik jam. “Udah jam sepuluh juga. Besok kerja.” “Oke. Itu mobil saya di ujung.” Akhirnya, aku dan Mas Kian jalan beriringan menuju mobil. Kami hanya diam, tidak bicara satu patah kata pun. “Mas …” panggilku saat mobil sudah keluar dari halaman café. “Apa?” “Saya mau tanya sesuatu. Agak pribadi, tapi.” “Kalau agak pribadi, berarti kamu sudah siap tahu saya lebih dalam?” “Enggak usah lebay, deh. Saya serius, ini. Saya penasaran sama sesuatu.” “Soal apa?” “Mas Kian kenapa milih kerja di kantor Pak Rivan di saat Ayah sendiri ada kantor yang enggak kalah besar? Ya … katakan sebelas dua belaslah.” “Oh, soal itu. Memangnya enggak boleh?” “Bukan enggak boleh. Jelas bolehlah. Bebas. Di sini saya bertanya-tanya aja, sih.” “Itu sudah diberikan ke Mas Ari, Fi.” “Mas Ari itu kakak Mas Kian?” Mas Kian mengangguk pelan. “Iya.” “Beda berapa tahun, kalau boleh tahu?” “Lima tahun lebih. Anaknya udah dua, udah besar juga. Dia udah menikah dua kali.” “Hah?” “Istri pertama meninggal saat melahirkan, jadi menikah lagi. Sama istri baru, punya satu anak. Jadi total ada dua. Nah, yang anak kedua ini, sangat dekat dengan saya.” “Ah … jadi gitu.” “Saya oversharing, ya?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, kok. Mas Kian pasti ada alasan, kan, ngomong itu?” “Agar lain kali kalau kamu bertemu mereka berdua, maksudnya keponakan saya, kamu enggak bertanya-tanya kenapa mereka sangat beda. Mereka beda Ibu.” “Cewek atau cowok?” “Anak pertama cewek, namanya Mia. Anak kedua cowok, namanya Alan. Yang Alan ini dekat dengan saya.” Aku manggut-manggut. “Senengnya punya ponakan. Saya anak tunggal mana relate.” Mas Kian hanya tersenyum sembari menatap fokus pada jalanan di depan. “Kembali ke topik awal soal Mas Kian yang malah kerja di perusahaan orang lain. Sekalipun udah dikasih ke Kakak, tapi kan tetap aja milik keluarga sendiri.” “Saya lebih nyaman kerja dengan Rivan. Lebih santai aja bawaannya.” “Masuk akal, sih. Tapi soal perusahaan ini, Mas Kian enggak iri-kah?” “Pertanyaan macam apa itu, Fi? Kamu ini kalau nanya juga jangan terlalu terus terang.” Aku nyengir. “Berarti bener, karena iri?” “Sama sekali enggak. Kenapa saya harus iri? Background saya bukan IT, sedangkan itu perusahaan yang bergerak di bidang IT. Kedepannya akan terus melebar di area itu. Andai perusahaan itu dikasih ke saya juga gimana saya ngelola? Terlalu jauh bidangnya.” “Iya, sih. Psikologi ke IT. Jauh banget, emang. IPS ke IPA.” “Dan sejak awal perusaan Ayah memang mau diwariskan ke Mas Ari. Itu sepenuhnya milik dia.” Aku menoleh. “Kenapa, gitu? Kan sama-sama anak laki-laki. Harus Adil, dong.” “Ada alasan yang sangat bisa kamu pahami, tapi saya enggak bisa bilang karena kamu orang lain. Kalau kamu udah jadi istri saya, mungkin suatu saat kamu akan saya kasih tahu.” “Ya udahlah, enggak tahu juga enggak papa.” “Wah … ternyata sulit sekali meluluhkanmu.” “Karena saya tahu kalau Mas Kian melakukan ini ada unsur terpaksa keadaan. Well, hidup emang kadang lucu. Tapi sebelum perjodohan ini ada, hidup saya udah lucu. Saya enggak mau lebih lucu lagi.” Mas Kian menoleh, tetapi aku pura-pura tak menyadarinya. “Selucu-lucunya hidupmu, lebih lucu hidup saya, Fi.” Kini giliran aku yang menoleh. Mobil berhenti di lampu merah. “Mas Kian tahu, dong, lucu di sini hanya kiasan?” “Iya, saya tahu. Bahkan sangat tahu. Mungkin lucu versi kita sedikit berbeda, tapi ya … begitulah. Saya nggak bisa menjelaskan lebih lanjut.” “Enggak masalah. Lagian saya juga enggak kepo-kepo amat sama hidup Mas Kian. Cuma soal tadi saya beraniin buat nanya. Soalnya agak bikin heran.” Bahkan soal foto makam, aku tidak berniat menanyakannya. Itu tidak ada urusannya denganku. Mobil akhirnya jalan lagi. Berselang lima menitan, mobil kembali berhenti. Tujuan sudah sampai. “Selamat malam, Mas. Makasih atas tumpangan—” “Saya yang makasih. Maaf karena mengganggu waktumu.” “Alhamdulillah, sadar. Lain kali jangan ngerepotin lagi, ya—” “Tunggu, Fi.” Aku yang tadinya sudah membuka pintu, akhirnya menutup lagi dan menoleh. “Ada apa?” “Enggak bisakah kamu sedikit ramah ke saya?” Aku langsung terdiam. “R-ramah? Emang selama ini enggak?” “Saya tahu, orang Indonesia banyak basa-basi. Sedikit-sedikit terima kasih dan sedikit-sedikit minta maaf. Enggak bisakah kamu memperlakukan saya seperti orang pada umumnya? Kamu harusnya berbasa-basi juga ke saya.” Kini aku tertegun. “Siapa pun tahu, saya baru saja mengganggu waktumu dan merepotkanmu. Tapi enggak bisakah kamu membalas sewajarnya saja? Enggak perlu terlalu jujur seperti itu.” “Mas Kian baper?” “Kamu sebut ini baper? Bukankah barusan kamu agak keterlaluan?” “Hah? E-ee … maaf.” Kenapa aku mendadak merasa bersalah? Bagian manakah yang keterlaluan? “Sudah, sana turun. Sekali lagi terima kasih. Segera kirim pesan ke saya soal permintaanmu. Ini balasan untuk kesediaanmu tadi. Saya akan kabulkan selagi saya bisa. Kalau enggak, kamu bisa menggantinya dengan permintaan lain.” “E-enggak perlu.” “Saya sudah janji. Tinggal pikirkan, lalu kasih tahu saya.” Akhirnya, aku mengangguk. “B-baiklah.” Berikutnya, aku turun dari mobil. Aku sengaja berdiri di depan gerbang dan menunggu sampai mobil Mas Kian mengecil. Setelah tak terlihat, aku segera masuk dan berlari menuju kamarku yang ada di lantai dua. Setibanya di kamar, aku langsung merebah di ranjang dan merenung. “Kenapa aku nangkep ada yang aneh sama Mas Kian?” aku menggumam pelan. “Kalimat Pak Rivan itu kurang pedes apa, coba? Kadang kalau ngomong tanpa filter. Agak nyakitin karena bener-bener ngena. Kalau Mas Kian baperan, enggak mungkin pertemanan mereka awet banget. Tapi kenapa aku ngomong kaya tadi, dia langsung protes?” Aku terdiam lagi. Seberapa banyak aku memikirkan, aku tetap merasa ada yang aneh. Kalimat atau kata yang manakah yang paling membuatnya ke-trigger? “Ah, bodoamatlah! Jangan dipikirin lagi!” *** Ternyata, aku tetap kepikiran. Seberapa besar aku mencoba untuk tidak memikirkan apa salahku pada Mas Kian, usahaku tetap gagal. Aku masih saja merasa bersalah tanpa tahu kata atau kalimat mana yang paling membuat Mas Kian sampai protes seperti tadi. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas, dan aku masih saja terjaga. Aku terus kepikiran hal yang sama. “Pasti ada sesuatu, nih!” Aku mengambil ponselku, lalu melihat kolom chat Mas Kian. “Apa aku minta maaf aja, ya?” Daripada terus merasa bersalah, akhirnya aku mengirim pesan. ‘Mas, saya minta maaf kalau kalimat saya tadi terlalu menyinggung. Saya akan lebih berhati-hati lagi setelah ini.’ Setelah mengirim itu, aku memeluk ponselku. Aku harap Mas Kian sudah tidur dan dibalas besok. Namun, jeda satu menitan, ponselku malah bergetar panjang. Mas Kian menelepon. “Hallo?” sapaku setelah panggilan terhubung. “Kenapa jam segini belum tidur?” “Pertanyaan ini agak menggelikan, jujur. Tolong langsung ke inti permasalahan aja. Mas Kian telepon karena chat dari saya, kan?” “Kenapa tiba-tiba minta maaf?” “Ya saya kepikiran aja. Barangkali saya memang keterlaluan.” “Kamu merasa itu atau enggak?” “Jujur, antara iya dan enggak.” “Kalau enggak, enggak perlu minta maaf. Jangan minta maaf untuk sesuatu yang kamu sendiri masih bingung.” “Ngerasa, ding, ngerasa. Kayaknya emang saya jahat banget, deh.” “Anggap saja, sayanya juga baperan—” “Enggak. Saya merasa Mas Kian pasti ada alasan. Dan saya enggak akan tanya banyak hal. Saya cuma mau minta maaf aja. Kadang saya emang suka nyeplos enggak pakai mikir. Udah bagus langsung ditegur.” “Dimaafin, Fi.” Suara Mas Kian merendah, dan aku pun langsung tersenyum. “Oke. Ya udah, saya matiin teleponnya. Saya mau tidur—” “Sebentar, Fi.” “Ada apa?” “Kamu belum kirim pesan soal imbalan yang kamu inginkan—” “Enggak usah. Anggap aja impas!” balasku cepat. “Dari awal saya udah bilang engak usah.” “Jangan gitu—” “Lain kali, deh. Saya belum kepikiran.” “Ya sudah.” “Saya tutup, ya!” “Tunggu, Fi. Satu lagi!” “Apa lagi, sih?” “Tadi saat saya pesan minum buat kamu, saya tahu kamu lihat hape saya.” Wow! Ternyata Mas Kian menyadari itu. “Oh, itu. Enggak sengaja lirik aja, orang tiba-tiba nyala.” “Kamu kelihatan kaget dan heran.” “Dikit.” “Kamu enggak ingin bertanya tentang itu, Fi?” “Kita belum sedekat itu, kan, Mas, buat tanya hal-hal yang agak privasi? Again, kecuali tadi. Dan again, saya yakin pasti ada alasan kuat. Saya menghargai privasi Mas Kian.” “Kamu benar, memang selalu ada alasan dibalik orang melakukan ini ada itu. Dan ini berhubungan dengan rahasia yang kemarin saya singgung.” “Saya enggak tertarik.” “Oke, saya ditolak lagi.” “Ya memang. Sejak kapan saya tertarik menerima? Udahlah, Mas! Saya mau tidur.” “Sleep tight, Fi. Dream sweetly!” “Hah?” Panggilan tiba-tiba mati. Aku bangun, mataku pun mengerjap kaget. “A-apa katanya? Dream sweetly? Aku enggak salah denger? Udah gila, Mas Kian ini! Makin berani aja lama-lama!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN