SAH. Satu kata sakral itu akhirnya benar-benar terucap, tepatnya saat jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Akad dilaksanakan di kamar hotel dengan saksi yang sangat terbatas. Bicara saksi, ada orang tua Mas Kian, Bunda, Kakak Mas Kian dan istri serta anak, juga satu orang lagi, aku tidak tahu. Dia laki-laki, sepertinya tokoh agama. Yang jelas, semuanya masih kerabat Mas Kian. Kerabatku tidak ada karena memang di Jakarta tidak punya kerabat. Kerabat Ayah di Jogja, sedangkan kerabat Bunda di Jepara. Kami ini orang perantauan yang akhirnya menetap di Ibu Kota. Dengan persiapan yang sangat kilat, semuanya tergolong lancar dan tanpa hambatan. Saat akad dilaksanakan, aku menangis. Aku merasa sedih sekaligus bahagia di saat bersamaan. Sedih karena aku harus menikah dengan cara