“Bunda bisa enggak, berhenti ngeledek? Ngeselin banget, ih!” Ini sudah kali kesekian aku menegur Bunda. Pasalnya, Bunda tak kunjung mengindahkan teguranku. Beliau masih saja tersenyum penuh ledekan. Sudah pasti, ini masih tentang aksiku yang tadi. Bagaimanapun juga, yang tadi bisa dibilang jauh lebih parah daripada yang dulu. Jadi jelas, aku juga jauh lebih malu. “Bun—” “Iya, iya, ini Bunda berhenti. Lagian kamu, Fi. Kamu yang berulah, Bunda yang malu.” “Kenapa, kok, malu? Kan Mas Kian suamiku. Kalau Mas Kian suami orang lain, baru malu-maluin!” “Iya, iya, yang suamikuuuu.” Bunda menekan kata terakhir. Nada suara beliau juga sengaja dibuat berlebihan. “Kaaan! Bunda ngeledek lagi!” Bunda malah tertawa puas. “Habisnya Bunda selalu ingat saat-saat kamu nolak Kian, Fi. Membekas banget