Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara pelan dari alat medis yang terus memantau kondisi Luna. Permana duduk di kursi di samping ranjang Luna, wajahnya penuh penyesalan. Dia menatap Luna yang terbaring lemah, dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Untuk pertama kalinya, Permana mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Luna yang dingin dan tak bergerak. Sentuhan itu membuatnya tersentak, seolah menyadarkan dirinya akan betapa rapuh Luna di saat ini. Air mata perlahan mengalir di pipinya. "Luna...," bisiknya pelan, suaranya terdengar serak karena menahan emosi. "Aku tahu aku bukan suami yang baik untukmu. Aku tahu aku telah banyak menyakitimu. Tapi, tolong dengarkan aku... meskipun mungkin kau tak bisa mendengar sekarang." Permana menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan k