Luna duduk di kursi belakang taksi online, tangannya refleks mengelus perutnya yang sudah membesar. Matanya masih basah, tapi dia berusaha menenangkan diri. Keputusan ini memang berat, tapi dia harus melakukannya. Sopir taksi meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Ibu mau langsung ke alamat yang dituju?" tanyanya ramah. Luna mengangguk pelan. "Iya, Pak." Perjalanan terasa begitu panjang, padahal jaraknya tak seberapa jauh. Pikirannya masih berkecamuk. Dia meninggalkan rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyamannya, pria yang seharusnya menjadi sandaran hidupnya. Tangannya menggenggam erat ponselnya. Berkali-kali layar menyala, nama Permana terus muncul di sana. Tapi Luna tak punya kekuatan untuk mengangkatnya. Dia tahu jika dia mengangkat telepon itu, hatinya bisa goyah. Air mata