Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut lewat tirai putih kamar mereka. Udara Yogyakarta masih sejuk, dan aroma kopi baru saja diseduh dari dapur. Leo sudah lebih dulu bangun—dengan kemeja santai dan celana training abu—sementara Naya masih meringkuk di balik selimut, setengah sadar, setengah malas. “Sayang…” suara Leo pelan, tapi cukup bikin Naya menggeliat. “Hm?” gumamnya dari balik bantal. “Kopi kamu udah siap. Tapi kalau nggak bangun sekarang, aku minum dua-duanya.” Mata Naya terbuka setengah. “Kejam banget, Le. Kamu tuh bukan suami idaman, kamu ancaman berkafein.” Leo terkekeh kecil. “Ayo, Madam Gudeg. Matahari udah nunggu disapa.” Naya menarik selimut ke wajah. “Kamu duluan aja yang sapa. Aku nyusul, mungkin siang.” Lima menit kemudian, aroma kopi dan roti panggang berhasil

