Mawar sudah rapih, dengan pakaian kasual-nya. Dia sedang berdiri di depan cermin, menatap dirinya, rambutnya ia ikat ekor kuda. Lalu seulas senyuman mengembang di wajah cantiknya.
Dia pun berbalik, lalu mengambil tas yang sudah tergeletak di atas kasur, dan keluar dari kamar lalu menuju meja makan.
Gadis itu melihat mamanya sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya. Mawar menarik kursi, lalu duduk di cantik di atas sana.
"Selamat pagi, Ma," sapa gadis itu.
"Iya, selamat pagi," balas Desri.
Mereka berdua pun menyantap sarapan mereka. Keduanya saling diam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Hingga akhirnya Mawar selesai lebih dulu. Dia pun meneguk air dalam gelas yang sudah ia isi sebelumnya. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, pertanda ada pesan masuk.
Dia pun mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam tasnya. Dan membaca isi pesan itu. Tapi sedetik kemudian air yang masih dalam mulutnya kembali menyembur keluar, sampai membuat Desri terkejut.
"Astaga, Mawar! Kenapa kamu, Nak?" tanya Desri heran.
Mawar masih belum menjawab pertanyaan mamanya. Matanya masih menatap tajam pada ponsel yang sedang ia genggam.
"Dasar si Setan! Mau ngapain sih dia?" gumam Mawar dengan mulut yang masih komat-kamit, mengeluarkan beberapa u*****n untuk orang yang sudah mengirimkan pesan padanya.
Desri, wanita paruh baya itu hanya menatap heran ke arah anaknya, Mawar.
"Aku berangkat dulu, Ma!" pamit Mawar dengan kesal.
"Lho, ini sarapannya masih belum selesai," kata Desri sambil menunjuk piring Mawar yang masih penuh.
"Nggak, udah nggak nafsu, Ma," tolak Mawar.
Setelah berpamitan, Mawar pun langsung melajukan motornya. Selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya dia mengumpat. Dia kesal saat mendapatkan pesan dari nomor asing. Terlebih, saat si pengirim pesan itu mengaku sebagai Rendra!
Jujur saja, kali ini Mawar akan menerima perjodohan yang dilakukan oleh mamanya, dan tidak akan menolak. Tapi, jika laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu ternyata adalah Rendra, boleh tidak sih dia menolak?
Akhirnya motornya tiba di sebuah kafe Artha. Kafe yang bernuansa hitam dan abu-abu ini terlihat sangat nyaman, dan pastinya sering menjadi tempat tongkrongan para muda-mudi.
Gadis itu berjalan masuk ke dalam kafe. Matanya menjelajah pada setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah memanggilnya.
"Di sini!" seru Rendra, pria yang sudah memanggil Mawar untuk bertemu dengan dirinya.
Dengan penuh rasa kesal, Mawar berjalan menuju meja tempat di mana Rendra sudah menunggunya.
"Ada apa?" tanya wanita itu to the point.
Rendra malah tak menjawab pertanyaan Mawar. Pria itu malah menyesap kopi miliknya.
"Aku sibuk! Ada apa?" Mawar kembali bertanya.
"Ayo tolak perjodohan ini!" tegas Rendra sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Hah?" Mawar terkejut.
"Iya, ayo kita batalin perjodohan ini! Atau ... Lo mau nerima? Iya tau, gue ngerti ko. Lo pasti mau nerima perjodohan ini, kan? Secara, gue itu ganteng nggak ketulungan."
Jawaban yang diberikan oleh Rendra, mampu membuat Mawar ingin mengeluarkan kembali sarapan yang ia makan tadi pagi.
"Sorry, ya! Aku masih waras! Lagian siapa juga mau dijodohin sama setan kayak kamu!" umpat Mawar dengan menggebu-gebu.
Rendra tersenyum sinis, mata elangnya menatap Mawar. Hingga membuat orang yang ditatapnya sedikit salah tingkah.
"Ya ampun, masih banyak ko yang mau dijodohin sama gue dengan suka rela. Nggak kayak Lo! Jadi cewek ko bar-bar? Nggak ada anggun-anggunnya sama sekali!"
Mawar tersenyum, punggungnya ia sandarkan pada kursi yang sedang ia duduki. Lalu tangannya menyilang di depan d**a, dan menatap ke arah Rendra.
"Oke, karena kita sama-sama nggak mau nikah, kita batalin aja! Apa susahnya? Lagian, nggak ada untungnya juga aku nikah sama setan modelan kamu!" cibir Mawar.
Rendra tak membalas ucapan Mawar. Pria itu malah menghabiskan kopi yang ia pesan tadi. Setelah sepakat untuk membatalkan perjodohan, dua manusia itu kembali ke tempatnya masing-masing. Mawar pergi ke restoran, sedangkan Rendra pulang ke rumah.
**********
"Iya, Max, tante minta kasih cuti beberapa hari untuk Rendra, ya? Iya, iya, do'a kan saja, semoga nanti mereka diberikan anak yang lucu-lucu. Iya, iya, yaudah, tante tutup, ya? Iya, makasih ya, Max!" Mirna pun menutup telepon, dan membalikkan tubuhnya.
"Astaga!" pekik wanita itu, saat melihat Rendra - anaknya sudah berdiri di belakangnya.
"Aduh, lebay banget deh, Ma! Kayak gitu aja sampe kaget!" cibir Rendra sambil menuju lemari pendingin, dan mengambil sebotol air mineral dari sana lalu meneguknya.
"Mama abis nelpon Max?" tanya Rendra setelah dia selesai minum.
"Iya, mama abis minta cuti buat kamu. Mama baik, kan? Udah nyariin calon yang cantik buat kamu, terus mintain cuti juga buat kamu. Astaga, mama emang yang paling baik di dunia ini deh!" Mirna memuji dirinya sendiri.
Rendra duduk di sofa, lalu dia menyadarkan punggungnya, dan matanya menatap langit-langit rumahnya.
"Ma, aku nolak perjodohan kali ini, boleh?" tanya Rendra dengan suara pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Mirna.
"Nggak! Kamu selalu aja kayak gitu! Tiap ada perjodohan, kamu selalu menolak dengan berbagai alasan, ini dan itu! Udah cukup mama mengalah sama kamu, Ren!" Mama Mirna melenggang pergi, meninggalkan Rendra yang masih duduk di sofa.
"Tapi, Ma ... cewek itu nggak ada mirip-miripnya sama Michelle! Bahkan seujung kuku juga nggak ada! Dia cewek yang bar-bar, cewek yang kasar!" Rendra mengeluarkan rasa keberatannya atas perjodohan ini.
Mirna mengehentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya, menatap anaknya.
"Nggak ada, Ren. Setiap orang itu beda-beda. Jangan pernah banding-bandingin antara Mawar dan Michelle. Udah jelas mereka itu berbeda. Kalo kamu terus nolak perjodohan ini, dengan alasan dia nggak ada mirip-miripnya sama Michelle, ini dan itu. Kamu bakal selamnya melajang, menjadi pria tua yang kesepian, tanpa ada wanita di sampingnya, tanpa ada wanita yang menemani hari tuanya nanti."
"Rendra yakin, Michelle bakalan kembali." Rendra masih tetap keukeuh dengan kemauannya.
"Kamu yakin dia bakal pulang? Serius? Tau dari mana? Kamu dukun? Bisa liat masa Depan? Hem?" cecar Mirna.
"Bukan gitu, Ma. Tapi -"
"Pokonya nggak ada tapi-tapian! Mama mau kamu nerima perjodohan ini. Dan mama nggak menerima penolakan!" tegas Mama Mirna, lalu masuk ke dalam kamar. Untuk bersiap-siap pergi ke acara reuni.
Rendra menyandarkan kepalanya pada sofa, dia memijit pangkal hidungnya. Sepertinya, mau menolak pun percuma. Haruskah dia menerima perjodohan kali ini? Dengan wanita bar-bar? Wanita yang tak miliki kemiripan sama sekali dengan Michelle? Haruskah?
*********
Sedangkan Mawar, gadis itu sedang bersiap-siap untuk pulang. Dia pulang lebih awal karena ingin membantu mamanya untuk bersiap-siap pergi ke acara reuni.
Gadis itu keluar dari ruangannya sambil membawa tasnya, dan pergi ke tempat para karyawannya yang sedang beristirahat.
"Sella!" panggil Mawar pada karyawannya.
"Iya, Teh Mawar?" Gadis itu bangkit dari duduknya, dan langsung bergegas menghampiri Mawar.
"Hari ini aku pulang cepet, ya? Mau bantuin mama siap-siap pergi ke acara reuni. Aku titip restoran, ya?" kata Mawar sambil tersenyum, dan diangguki oleh Sella.
Setelah menitipkan restorannya, gadis itu langsung mengambil motornya dan melajukannya menuju rumahnya. Hari ini, dia harus membuat mamanyy menjadi wanita yang sangat bersinar. Agar ayahnya - Bima, menyesal.
Tak perlu waktu lama, motor milik Mawar sudah terparkir di halaman rumahnya. Dia buru-buru masuk ke dalam, dan mendapati namanya sedang sibuk menonton sinetron.
"Lho, udah pulang, Nak?" tanya Desri.
"Ayo, Ma!" ajak Mawar pada mamanya yang sedang asik menonton film India kesukaannya.
"Mau kemana? Ini lagi seru-serunya, nanti nunggu iklan dong," tolak Desri.
"Kita siap-siap buat nanti ke acara reuni, Ma!" Mawar mengingatkan.
Desri melihat jam dinding, lalu menghela napas. "Masih lama acaranya juga, kenapa harus siap-siap sekarang?"
"Ih, Mama! Biar sempurna, dong! Mama mau nanti diledek sama nenek lampir itu?" tanya Mawar.
Nenek lampir yang dia maksud adalah Melinda, wanita cantik yang sudah merebut suami Desri, Bima. Wanita yang sudah merusak rumah tangga, dan merebut kebahagiaan milik Mawar, hingga gadis itu tak merasakan kasih sayang seorang ayah.
"Ya udah, ayok! Kita siap-siap!"
Lalu Desri pun masuk ke dalam kamarnya sambil diikuti oleh anaknya. Setelah itu, mereka berdua bersiap-siap.
Saat Mawar sedang menyisir rambut mamanya, dia pun memberanikan diri untuk membahas perjodohan.
"Ma ...."
"Hem? Kenapa?" sahut Desri.
"Mama ...." Gadis itu kembali memanggil namanya.
"Apaan sih ya ampun! Kayak anak kecil aja mumah mamah mumah mamah aja!" protes Desri
Mawar jadi ragu, nyalinya menciut duluan. Apakah dia harus mengatakannya? Atau ... dia harus benar-benar menerima perjodohan itu dengan suka rela?