Sudah hampir dua minggu Rendra dan Mawar tinggal di apartemen yang sama. Dan selama itu pula tidak ada yang berubah di antara mereka. Rendra yang sibuk dengan pekerjaan kantornya, pergi pagi pulang malam. Dan Mawar? Gadis itu saat ini sedang disibukkan dengan orderan desert-nya.
Gadis itu membuat desert, untuk menambah uang jajan. Meski pada kenyataannya Rendra pun memberikan uang bulanan, tapi tidak ia pakai. Uang yang diberikan oleh Rendra khusus ia gunakan untuk kebutuhan dapur.
Iya, dapur. Setidaknya gadis itu mau memasak untuk suaminya. Keduanya hanya bertemu di pagi hari saja, saat waktu sarapan. Dan itu pun tidak ada acara tegur sapa!
Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan, Rendra sendiri tidak tau jika istrinya diam-diam membuat desert untuk dijual.
Seperti pagi ini. Rendra sudah rapih dengan pakaian kantornya, tangan kirinya menjinjing tas kerja dan tangan kanannya memegang jas yang belum ia pakai.
Laki-laki itu menarik kursi, lalu duduk di sana. Seperti biasa, Mawar langsung mengambilkan nasi untuk suaminya, lalu menyodorkannya.
Tanpa sepatah kata pun, Rendra langsung melahap masakan istrinya. Dia mengunyah setiap makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Menikmati rasanya dalam setiap kunyahan.
Tanpa dipungkiri, Rendra menyukai masakan Mawar. Menurutnya masakan Mawar sesuai dengan sesuai seleranya, orang yang sedikit pemilih dalam soal makanan.
Setelah sarapan, Rendra langsung mengambil tas kerjanya dan memakai jas-nya.
"Aku pergi," pamit laki-laki itu sambil berjalan menuju pintu, dan membukanya. Lalu tubuh tegap laki-laki itu hilang dibalik pintu.
Seperti itulah kehidupan pernikahan yang dijalani oleh Rendra dan Mawar. Tak ada yang spesial, datar-datar saja. Hal ini pun sudah didengar oleh kedua orang tua mereka.
Setelah membereskan bekas sarapan suaminya, Mawar langsung bersiap-siap untuk membuat desert milik seseorang. Akhir-akhir ini dia cukup keteteran dengan jumlah orderan yang ia terima.
Setiap harinya, ada seseorang yang selalu memesan 60 box desert. Dengan alasan untuk dijual lagi di kafe miliknya. Dengan senang hati Mawar menerima orderan itu. Lumayan katanya, bisa menambah uang sakunya. Meski tidak seberapa.
*********
Mobil milik Rendra sudah terparkir di basement perusahaan. Laki-laki itu berjalan menuju lobby, dan menekan lift khusus untuk para petinggi. Saat dirinya sedang menunggu lift, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
"Hoi!"
Rendra melirik sekilas, kemudian matanya kembali menatap angka lift. Tanpa menggubris kehadiran sahabatnya, Max.
"Kenapa, sih? Pagi-pagi udah sepet gitu mukanya?" Max membuka percakapan di antara mereka.
"Ga usah so'kenal, deh!"
"Aw aw aw, pengantin baru ko galak banget, sih? Semalem nggak dapet jatah, ya? Makanya jadi gini?" goda Max sambil menoel-noel lengan sahabatnya.
Rendra hanya diam. Menutup mata rapat-rapat, dan juga telinga. Bahaya jika dirinya meladeni pertanyaan dari sahabatnya. Bisa-bisa tingkat kewarasan dirinya ikutan turun, seperti Max.
Pintu lift terbuka, Rendra buru-buru masuk. Dan kembali menutup pintu lift, dengan maksud agar bos-nya itu tidak ikut bersama dirinya. Tapi percuma, Max langsung menahan pintu itu lalu masuk ke dalam.
"Gimana Mawar? Dia baik, kan?" tanya Max pada sahabatnya.
"Baik."
Max hanya mengangguk-angguk. Dia sebenarnya merindukan Mawar. Sudah lama dirinya tak melihat wajah cantik istri sahabatnya itu. Tapi tidak pernah kesampaian.
"Ajak gue makan malem di rumah Lo, dong!" pinta Max pada sahabatnya, agar mengundang dirinya untuk makan malam di rumah Rendra.
Entah ini permintaan yang keberapa. Setiap Max bertemu dengan Rendra, laki-laki itu selalu meminta agar dirinya diundang untuk makan malam di rumah sahabatnya. Dengan maksud agar dirinya bisa bertemu dengan Mawar. Wanita yang akhir-akhir ini selalu mengusik pikirannya.
"Nggak!" tolak Rendra.
Entah ini penolakan keberapa yang diberikan oleh Rendra untuk sahabatnya. Jujur saja, Rendra sedikit risih karena permintaan sahabatnya Max. Yang selalu minta diundang untuk makan malam di rumahnya.
"Pelit banget! Nanti bahan makanan dari gue, deh! Gue cuma numpang masak aja di rumah Lo!"
"Masak aja di rumah Lo sendiri!"
"Beda! Gue pengen makan bareng pengantin baru!"
"Nggak pokonya!" tolak Rendra sambil terus menatap angka lift, yang terasa sangat lama.
"Gue janji, jam 9 udah pulang! Ga akan ganggu waktu Lo buat skidipapap sawadikap biskuit ahoy, deh!"
Hah ... selalu saja, kata pengantin baru selalu tertangkap oleh indera pendengarannya. Pengantin baru apanya? Jangankan skidipapap sawadikap biskuit ahoy, tidur saja mereka di kamar yang berbeda!
Padahal, dua manusia itu sudah diburu-buru untuk memproduksi cucu-cucu yang lucu untuk orang tua mereka. Jangankan memproduksi cucu yang lucu, jika gawangnya saja belum di bobol, kapan mereka akan memproduksinya?
Ting
Pintu lift terbuka. Buru-buru Rendra keluar, dan berjalan menuju ruang kerjanya. Sedangkan Max, laki-laki itu masih tetap berada di dalam lift yang akan membawa dirinya ke ruangannya.
Hingga akhirnya lift yang ia gunakan sudah berada di puncak gedung, di lantai paling atas gedung pencakar langit. Laki-laki itu masuk ke dalam ruangnya yang bernuansa biru. Ya, laki-laki itu menyukai warna biru.
Max duduk di kursi kebesarannya, lalu menatap desert yang sudah tersaji d atas meja kerjanya. Senyuman terukir di wajahnya yang tampan. Buru-buru dia memakan desert itu, menikmati perpaduan yang cukup memanjakan lidahnya.
Teksturnya yang lembut, rasa manisnya pas untuk ukuran dirinya yang tidak terlalu menyukai makanan manis. Max menghabiskan desert itu dengan cepat.
Hingga pintu ruang kerjanya diketuk seseorang dari luar.
"Masuk!"
Lalu masuklah seorang wanita yang berpakaian cukup seksi, sambil membawa dua buah desert di tangannya.
"Ini, Pak." Mesya - asisten pribadi Max - menaruh dua buah desert di atas meja kerja bos-nya.
"Iya, terimakasih," kata Max sambil tersenyum ke arah Mesya, lalu menarik desert itu ke dalam pelukannya.
Sudah beberapa hari ini Max membeli desert dari seseorang. Entahlah bagaimana ceritanya, Max yang anti dengan makanan manis, mampu menghabiskan tiga kotak desert dalam sehari!
Entah doyan, memang beneran suka, atau memang dia jatuh cinta pada penjualnya? Iya, desert yang dia makan memang buatan Mawar. Max menyuruh Mesya untuk selalu pesan desert 60 kotak setiap harinya.
Yang mampu dimakan oleh dirinya hanya tiga kotak saja. Lalu, kemanakah sisanya? Tentu saja, Mesya dan Yudhi lah yang menjadi korban. Setiap hari mereka selalu membawa banyak desert ke rumah. Setelah itu, mereka pun membagikannya pada tetangga dan kerabat mereka.
Bukan hal yang sulit bagi Max untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh Mawar. Ah ... sepertinya rasa sukanya pada Mawar sudah membuat laki-laki itu menjadi sinting.
**********
Di sebuah ruang tamu, dua orang wanita paruh baya sedang duduk bersama sambil ditemani dengan secangkir teh dan beberapa cemilan.
"Aduh, hubungan Rendra sama Mawar ga ada kemajuan sama sekali, Des!" keluh Mirna pada besannya.
"Masa?"
"Iya!"
Lalu keduanya terdiam, memikirkan nasib pernikahan anak mereka. Apakah menikahkan mereka secara paksa adalah hal yang salah? Atau memang benar, hanya saja butuh waktu?
"Mungkin mereka masih dalam tahap perkenalan, Mir."
"Nggak, Des! Mereka aja tidur di kamer terpisah! Kalo gini terus, kapan kita bakal gendong cucu?" lirih Mirna, sambil memasang wajah sedihnya.
"Masa? Ko kamu tau?" tanya Desri heran.
"Ah, biasa. Aku sih banyak channel-nya. Dan juga, kamu tau, kan? Kalo cewek udah kepo, detektif juga kalah."
Oke, untuk yang satu ini Desri setuju. Jika wanita sudah penasaran, maka mereka akan terus menggali, mengorek informasi. Seperti dirinya, yang terus mencari informasi tentang sikap mantan suaminya - Bima, yang sedikit berubah. Ternyata, setelah dia selidiki ....
Seperti dugaannya, Bima berselingkuh dengan sekretarisnya, Melinda. Dan parahnya, wanita ular itu dibawa ke rumah mereka, dab tinggal di sana bersama.
Dua manusia mengumbar kemesraan mereka secara terang-terangan di depan Desri dan Mawar. Setelah itu, Desri ditendang dari rumah itu. Saat malam hari, saat bumi sedang diguyur oleh derasnya hujan.
Desri yang saat itu tidak punya apa-apa, hanya berjalan mengurusi jalanan, sambil memeluk tubuh Mawar yang terasa sangat dingin.
Ah ... bagaimana pun juga, itu adalah kenangan pahit dalam hidupnya. Dia yang gagal mempertahankan rumah tangganya, dia juga gagal dalam menjaga suaminya dari gangguan para w*************a.
*******
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hari ini pun Rendra lembur lagi. Laki-laki itu membereskan barang-barangnya, dan meninggalkan Wijaya Group.
Selama dalam perjalanan pulang, pikiran Rendra dipenuhi oleh Michelle. Itulah alasannya, kenapa dia selalu menghabiskan waktunya di dalam ruang kerjanya.
Karena saat dirinya disibukkan dengan dokumen-dokumennya, dia tidak akan terlalu memikirkan Michelle. Laki-laki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kaca jendelanya ia turunkan, membiarkan angin malam menerpa wajahnya.
Setelah menempuh waktu hampir satu jam, mobil yanh digunakan oleh Rendra sudah memasuki area apartemen. Melajukan mobilnya menuju basement, lalu masuk ke dalam lift.
Tubuh pria itu disandarkan pada dinding. Lelah, iya. Laki-laki itu sedang dilanda rasa lelah. Baik itu fisik maupun batin. Fisiknya lelah karena seharian ini dia bekerja. Batinnya lelah, karena selama ini dia merindukan Michelle.
********
High Five — Tokyo
Seorang wanita cantik sedang menuangkan sebotol minuman pada gelas yang digunakan oleh tuannya. Tubuhnya ia tempelkan pada tubuh laki-laki yang menjadi pelanggannya.
"Tuan, apakah malam ini Anda membutuhkan pijatan khusus?" tanya wanita itu sambil berbisik dengan menggoda di telinga si lelaki. Tangannya berselancar di d**a bidang laki-laki itu.
"Tidak!" tolak laki-laki itu dengan sorot mata membunuh.
Michelle, gadis itu menelan ludahnya dengan kasar. Saat melihat tatapan mata milik Kenzo Erlangga, laki-laki yang memiliki darah campuran Indonesia - Jepang itu. Michelle sendiri harus menuruti apa yang diperintahkan oleh Kenzo.
Karena pada dasarnya wanita itu adalah penebus hutang orang tuanya, dengan kurun waktu selama tujuh tahun. Selama itu, mau tak mau harus menuruti apa yang dikatakan oleh Kenzo. Sayang seribu sayang, Michelle yang memiliki cita-cita untuk melanjutkan pendidikannya di Jerman. Kini malah terdampar di Jepang. Sebagai pelayan dari si tuan muda yang kejam.
"Berhenti menatapku seperti itu!" bentak Kenzo sambil menarik rambut milik Michelle.
Wanita itu hanya meringis kesakitan. Air matanya keluar dari pelupuk matanya, dan suaranya tertahan di tenggorokan. Itulah yang selalu dia lakukan saat Kenzo sedang menyiksa dirinya.
Dia memilih untuk diam, tidak menjerit, tidak menolak, dan tidak meronta. Jika dia melakukan hal itu, setidaknya siksaan yang dia terima tidak akan terlalu berat.
Setelah itu Kenzo membungkukkan tubuh Michelle, menyibakkan dress yang dipakai oleh gadis itu. Lalu tanpa melakukan foreplay terlebih dahulu, Kenzo langsung menghujamkan miliknya ke dalam milik Michelle.
"Ahh!" pekik wanita itu saat miliknya tiba-tiba dimasuki oleh milik Kenzo.
Suara desahan kenikmatan memenuhi ruangan VVIP yang digunakan oleh Kenzo. Tubuh Michelle bergetar dengan hebat, saat dirinya mencapai k*****s. Peluh bercucuran di wajahnya.
Belum juga puas, Kenzo mendudukkan dirinya di atas sofa. Mengerti dengan apa yang diinginkan oleh tuannya, Michelle pun mendudukkan dirinya di atas tubuh Kenzo. Memasukkan tongkat keadilan milik tuannya itu ke dalam miliknya.
"Ah ...." desah wanita itu, saat milik Kenzo sudah sepenuhnya masuk ke dalam lubangnya.
Michelle, gadis itu mulai menaik-turunkan tubuhnya, maju dan mundur. Menikmati milik Kenzo yang bergerak di dalam lubang kenikmatan miliknya.
Michelle mempercepat gerakannya, saat dirinya sudah ingin keluar. Dan ....
"Ahh!!"
Kenzo pun menyemburkan benihnya di dalam rahim milik Michelle. Hingga cairan putih kental itu merembes keluar. Michelle pun terkulai lemas. Masih dalam posisi milik Kenzo menancap di dalam lubangnya.