Pukul sepuluh pagi, aku dan Mas Dhika sudah on the way rumah Mas Dipta. Ini karena ada telepon mendadak dari Mbak Karin kalau Neyfan sudah menanyakan Mas Dhika sejak pagi. Bahkan beberapa saat yang lalu, anak itu sudah menangis karena Mas Dhika tak kunjung datang. Anggap saja, Neyfan sudah mengikuti jejak Mama dan Mas Davka. Dia sudah masuk tim yang memberi restu. Tidak seperti Papinya yang sulit. “Mas deg-degan atau enggak?” tanyaku di tengah-tengah perjalanan. Tadi Mas Dhika datang ke rumah lagi untuk menjemputku. Tentu, dia izin Mama lebih dulu. “Biasa aja. Enggak setegang ketika mau bicara berdua dengan Papamu.” “Tapi kemarin Mas kelihatan santai, lho, btw. Aku enggak nangkep ada ketegangan.” “Masa, sih?” “Iya.” “Itu cuma kelihatannya, Sya. Aslinya tetap deg-degan. Aura Papamu i