Amelia tersenyum samar, yang hanya muncul sejenak sebelum ia kembali mengangkat gelasnya. 
Tatapannya ke kedua wanita itu bagai kilasan kemenangan kecil di tengah kepahitan hidup yang selama ini menjeratnya. Dia tahu, Monica memimpikan posisi itu—dilirik, dipilih, menjadi calon menantu keluarga Jackson. Tapi kenyataan berkata lain, Kenneth memilih dirinya, bukan si adik tiri.
Ironisnya, Amelia sama sekali tidak menganggap itu sebuah kehormatan. Baginya, Kenneth hanyalah lelaki sombong, kasar, yang sejak awal membuatnya ingin menjauh. Namun di mata Clara dan Monica, lamaran itu adalah tiket emas menuju tahta, pengakuan, dan kekuasaan yang mereka idam-idamkan.
Dan itulah yang membuat senyum samar Amelia semakin nyata.
***
Kota Montreal menyambut Matteo dengan langit kelabu dan suhu yang menusuk tulang. Angin dingin menyapu trotoar basah, mengaburkan pandangan di kaca mobil. 
Matteo turun dari sedan hitam yang membawanya dari bandara, mantel wolnya terangkat sedikit oleh hembusan angin. Wajahnya tampak fokus, seolah hanya ada satu hal di pikirannya—pekerjaan.
Setelah secara resmi memegang posisi CEO The Hayes Enterprises, hari-harinya ia habiskan dengan bekerja dan memimpin rapat. Tumpukan dokumen, proyektor menyala, suara negosiasi dalam bahasa Inggris yang sesekali diselingi Perancis dan Italia—semuanya membentuk rutinitas yang biasanya bisa menghapus semua gangguan dalam pikirannya.
Namun tidak kali ini.
Sekalipun sekarang dia berada di tempat yang cukup jauh dari Chicago, namun di sela pembicaraan serius dengan klien, dia berkali-kali menangkap dirinya menatap kosong ke arah jendela, pikirannya melayang ke malam itu. Ke mata yang berkilat saat menatapnya, ke senyum yang tampak terlalu polos untuk situasi yang mereka hadapi. 
Matteo tidak bisa melupakannya sejak itu.
Malam itu, usai makan malam bisnis yang melelahkan, Matteo memilih berjalan sendiri di pusat kota. Lampu-lampu toko memantul di trotoar basah. Ia masuk ke sebuah bar bergaya vintage—dinding bata merah, kursi kulit gelap, aroma bourbon memenuhi udara. Seorang wanita berambut pirang meliriknya dari sudut bar, senyumnya menggoda. Matteo hanya mengangkat gelasnya sebagai sapaan singkat, lalu memalingkan wajah.
"Bahkan ini tidak menarik lagi, huh?" gumamnya pada diri sendiri, setengah tertawa, setengah kesal. Dulu, ia bisa melupakan siapa pun hanya dengan satu malam bersama seseorang yang baru. Tapi sekarang? Bayangan Amelia seperti noda tinta di kertas putih—tidak bisa dihapus, justru makin melebar setiap kali ia mencoba menutupinya.
Matteo kembali ke hotel dengan pikiran lebih berat dari sebelum dia pergi.
Dia melepaskan dasi dan menjatuhkan diri ke sofa. Ia membuka ponselnya, membuka kembali catatan pertemuan besok—lalu tiba-tiba, jarinya berhenti. Sebuah ide muncul begitu saja, setelah semua urusan Montreal selesai, ia akan mencarinya. Tidak peduli di mana gadis itu bersembunyi, ia Matteo Hayes, dan menemukan seseorang bukan hal sulit baginya.
Ia memejamkan mata, menyandarkan kepala, lalu tersenyum tipis. 
‘Tunggu aku, gadis kecil. Kita belum selesai.’
*
Bandara O’Hare sore itu ramai seperti biasa—aroma kopi dari kios dekat gerbang bercampur dengan suara pengumuman penerbangan yang bergema di udara. Matteo melangkah keluar dari gerbang kedatangan, setelan hitamnya masih rapi meski baru saja menempuh penerbangan panjang dari Montreal.
“Sir, saya sudah dalam perjalanan ke bandara dan akan sampai dalam lima menit. Maaf sedikit terlambat, karena tadi sempat ada sedikit insiden di perjalanan.” Suara Liam terdengar di ponselnya.
Matteo tidak langsung menjawab. Ia menuruni eskalator sambil menyapu pandangan ke arah kerumunan yang menunggu, walaupun sudah tahu tidak ada sosok asistennya di sana.
“Sore ini ada jadwal penandatanganan kontrak dengan Building Company. Saya bisa mengatur ulang kalau Anda masih lelah,”
Suara Liam kembali terdengar, walau dia belum mengucapkan sepatah kata pun.
“Oh.. Ti—“ ucapan Matteo terhenti seketika.
Matanya terpaku di satu titik.
Di antara wajah-wajah asing, ada satu siluet perempuan yang membuat langkahnya terhenti setengah jalan. Rambut hitam yang jatuh di bahu, tubuh ramping dalam balutan mantel krem, dan cara perempuan itu memandang ke arah pintu keluar dengan tatapan gelisah—semuanya menyerupai sosok yang telah menghantuinya selama dua hari terakhir.
Jantung Matteo berdegup kencang. “Itu dia.. Gadis yang terus menggangguku…” gumamnya pelan.
“Sir, apa yang kau katakan barusan? Apakah…”
“Hubungi saya lagi kalau sudah sampai.” Potong Matteo cepat, lalu mematikan ponsel.
Ia mempercepat langkah, menyelip di antara orang-orang yang berjalan lambat. Dia harus mengejar gadis itu sebelum menghilang lagi.
Namun, ketika jaraknya tinggal beberapa meter, perempuan itu menoleh—dan Matteo langsung merasakan hantaman kekecewaan. 
Bukan dia. 
Matanya berbeda, senyumnya asing.
Matteo berhenti, berdiri diam di tengah arus manusia yang mengalir di sekitarnya. Sejenak ia tercengang.
‘Gila! Aku bahkan mencari dia di wajah orang asing,’ gerutu Matteo dalam hati sambil menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menertawakan dirinya sendiri.
Dia masih berdiri di tempatnya, pandangan tetap tertuju ke punggung perempuan dengan mantel krem yang terus berjalan menjauh hingga menghilang di antara orang banyak.
“Sir,” suara Liam terdengar di belakangnya.
Matteo berbalik dan melihat asistennya melangkah mendekat dengan senyum lebar.
“Maaf saya agak terlambat.” Liam membungkuk, lalu tatapan herannya terpaku di wajah sang bos. “Anda terlihat seperti baru saja melihat hantu, Sir.” Komentar Liam, tidak biasanya melihat bosnya kebingungan seperti ini.
Matteo mengangkat alis. “Hantu masih lebih mudah dilupakan daripada dia, Liam,” keluhnya seraya melangkah lebar menuju parkiran.
Liam mengangkat alis, bingung. Namun, sambil terkekeh pelan, ia cepat-cepat menyusul Matteo. 
“Anda bicara tentang perempuan, Sir? Itu baru berita. Biasanya Anda lupa nama mereka sebelum makan malam selesai.”
“Yang ini aku bahkan tidak tahu namanya,” gerutu Matteo, kesal bercampur gemas.
“Oh, mengejutkan..” komentar Liam dramatis. Dia sudah sangat dekat dengan Matteo sejak mereka masih kecil. Orang tua mereka berteman dan mereka sudah seperti keluarga.
Matteo mengabaikan sarkasme asistennya. Dia menyadari satu hal, ini bukan sekadar ketertarikan fisik. Ia ingin tahu siapa gadis itu, dari mana ia berasal, dan mengapa senyum polos itu bisa membuatnya gelisah seperti ini.
Begitu mobil mereka meninggalkan bandara dan melaju di jalan utama, Matteo menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota Chicago mulai menyala, menciptakan pemandangan yang biasanya menenangkan—tapi kini tak mampu mengusir bayangannya.
“Sir, Anda dengar saya bicara?” tanya Liam dari kursi kemudi.
“Hm?” Matteo mengalihkan pandangan ke kaca spion.
“Saya bilang, Anda terlihat… terganggu. Anda tidak pernah seperti ini sebelumnya. Siapa pun dia, kita harus temukan. Kalau tidak, CEO The Hayes Enterprises akan kehilangan akal dalam waktu cepat.” 
Matteo tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Percayalah, itu hanya soal waktu. Chicago bukan kota yang terlalu besar untuk Matteo Hayes.”
Dan di balik ketenangan suaranya, tekad itu sudah mengeras. Gadis itu tidak akan bisa bersembunyi terlalu lama.
***
Restoran itu tidak terlalu ramai siang itu. Aroma kopi dan roti panggang bercampur dengan wangi masakan Italia yang baru keluar dari dapur. 
Amelia duduk di sisi meja dekat jendela besar, menatap keluar seolah pikirannya masih melayang entah ke mana. Ia mengenakan blus sederhana warna baby blue, rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya tampak lelah setelah pesta semalam yang menguras jam tidurnya.
Lucy datang tergesa. Dia terlihat keren dengan blazer hitam yang jatuh sempurna di tubuhnya. Keluarga Lucy cukup kaya, dan gadis itu punya selera berpakaian yang bagus.
Lucy menaruh tasnya di kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan napas panjang. “Astaga, akhirnya jam istirahat. Aku nyaris dikejar deadline tadi,” keluhnya sambil meraih buku menu di atas meja.
Mereka bekerja di perusahaan berbeda. Lucy di The Hayes Enterprises dan Amelia di Cadence Technology. Mereka sama-sama bekerja sebagai Information Security Analyst.
Pelayan datang mengambil pesanan mereka—dua pasta dan segelas jus untuk Amelia, sementara Lucy memesan espresso dobel. 
Begitu pelayan pergi, Lucy langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Amelia, matanya berbinar penuh rahasia.
“Kau tahu tidak?” bisiknya, menunggu efek dramatis sebelum melanjutkan, “Bosku.”
Amelia mengerutkan kening. “Apa? Siapa?”
“Matteo Hayes.” Lucy menekankan namanya seperti menyebut sesuatu yang sakral. “Dia belum menikah.”
Amelia terbelalak, lalu tertawa singkat, tidak percaya arah percakapan itu. “Dan… kenapa kau tiba-tiba memberitahuku mengenai itu?”
Lucy memutar bola matanya, lalu menyandarkan dagu di tangan. “Kenapa kamu tidak tinggalkan si br3ngsek Kenneth dan mengejar bosku saja, Mel? Serius, Matteo Hayes itu jauh lebih pantas. Lajang, tidak punya catatan buruk, jauuuh lebih tampan, lebih berkelas… yang jelas lebih worth it lah daripada si br3ngsek itu.”
Nada suaranya terdengar begitu meyakinkan, seakan ia sedang mempresentasikan sebuah peluang investasi emas. 
Amelia hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Lucy…” Amelia berdesah, suaranya lemah. “Aku tidak bisa ke mana-mana. Nasib nenekku dipertaruhkan di sini.”
Senyum Lucy langsung lenyap. Ia menegakkan tubuh, menatap Amelia dengan mata membelalak marah. “Apa maksudmu?”
Amelia menunduk, memainkan ujung serbet kertas di tangannya. “Ayahku… dia mengancam akan mengusir nenek dari rumah tempat kami tinggal selama ini kalau aku tidak menurutinya. Itu satu-satunya alasan kenapa aku menuruti permintaannya.”
Lucy terperangah. Sesaat ia hanya bisa menatap sahabatnya, lalu tangannya mengepal di atas meja. “Apa?!” suaranya meninggi, membuat pasangan di meja sebelah menoleh. 
Lucy tidak peduli. “Ayahmu menggunakan cara sehina itu? Mengancammu dengan nenekmu sendiri? Dasar ayah si@lan!”
Amelia berusaha meredam, tangannya cepat menyentuh lengan Lucy, memberi kode agar suaranya diturunkan. “Lucy, tolong… jangan keras-keras.”
Tapi Lucy sudah terbakar amarah. “Aku serius, Mel! Laki-laki itu tidak pantas jadi ayahmu! Kalau dia mau menyelamatkan bisnisnya, kenapa tidak sodorkan saja putri kesayangannya itu? Bukankah Monica selalu jadi kebanggaan keluargamu?”
Amelia menarik napas dalam, senyumnya getir. “Kenneth tidak memilih Monica. Itu sudah cukup jadi jawaban.”
“Oh! Tentu saja.” Lucy mengerang dramatis, mengangkat kedua tangannya lalu menjatuhkannya kembali ke meja. “Wanita licik dan penuh drama itu pasti tidak menarik di mata si br3ngsek Kenneth. Ya Tuhan, Mel, tapi bagaimana bisa kau yang harus menanggung semua beban sementara si Monica si@lan itu bebas menjalani hidupnya dan terus menatapmu dengan sombong?”
Mata Amelia meredup. Ada luka lama yang seolah disiram garam setiap kali nama adik tirinya disebut. “Aku sudah terbiasa, Luc. Aku tidak berharap banyak dari mereka. Aku hanya ingin nenekku aman.”
Lucy menggeleng keras, wajahnya merah karena emosi. “Kau terlalu baik, Mel. Terlalu baik sampai mereka seenaknya menjadikanmu tumbal. Kadang ingin sekali membawamu keluar dari keluarga toxic itu dan kabur sejauh-jauhnya.”
Amelia tersenyum samar, menatap sahabatnya penuh terima kasih. “Kau tahu aku tidak bisa. Tidak selagi nenek masih ada.”
Sejenak hening. Pelayan datang membawa pesanan mereka, aroma pasta hangat mengisi udara, tapi nafsu makan Amelia sudah hilang. Ia hanya menatap piring di depannya, sementara Lucy masih berkecamuk dengan amarah.