Paul juga berdiri, jarak mereka kini begitu dekat. “Kau akan menikah dengannya, Amelia,” katanya tegas, suaranya nyaris seperti geraman. “Suka atau tidak suka. Karena ini bukan hanya tentangmu, tapi juga tentang harga diri keluarga kita.”
“Bukan!” bantah Amelia. Dia menggeleng tegas. Sambil menatap ayahnya tajam, dia melanjutkan dengan suara bergetar namun penuh keteguhan. “Ini hanya tentang ambisi dan harga diri konyolmu, Dad. Dan aku tidak akan menjadi korban dari ambisi dan kesalahanmu.”
Paul menatapnya lama, namun di balik tatapan itu tak ada rasa bersalah. Hanya kalkulasi dingin.
“Kalau begitu kamu lebih memilih menjadi gelandangan bersama nenekmu. Aku akan menjual rumah itu dan menghentikan sokongan biaya hidup yang selama ini rutin kuberikan,” ujar Paul Davis, lalu berbalik menuju meja kerjanya, mengakhiri percakapan sepihak itu.
Amelia berdiri terpaku, napasnya memburu, merasakan campuran marah, takut, dan jijik memenuhi dadanya. Tapi dia tidak punya pilihan lain.
Flashback off…
Dan di sinilah dia sekarang. Berdiri di tengah pesta keluarga kalangan atas, di bawah tatapan iri orang-orang, sebagai tunangan Kenneth Jackson.
Di sisi lain ruangan, Kenneth Jackson berdiri dengan penuh percaya diri. Setelan hitam khusus yang dikenakannya membalut tubuh tinggi atletisnya. Senyumnya congkak, dan setiap langkahnya memancarkan kesombongan seorang pria yang tahu betul bahwa semua mata memperhatikannya.
“Amelia Davis,” katanya lantang begitu ia mendekati keluarga Davis, membuat percakapan di sekitarnya seketika terhenti. “Malam ini, kau terlihat... sempurna.”
Amelia tersenyum sopan, meski hatinya dingin. “Terima kasih, Kenneth.”
Kenneth menatapnya lama, matanya menyapu wajahnya seakan Amelia adalah trofi berharga. Dia tidak peduli dengan Paul maupun Clara, bahkan Monica yang berdiri tepat di samping kakaknya hanya mendapat tatapan singkat. Semua fokusnya tertuju pada Amelia—gadis yang ia pilih tanpa peduli pada status keluarganya.
“Kau tahu, Amelia,” bisik Kenneth sambil menunduk mendekat, “malam ini semua orang iri padamu. Dan itu seharusnya membuatmu bangga.”
Amelia menahan diri untuk tidak menatapnya tajam. Dia tahu kata-kata Kenneth bukanlah sanjungan, melainkan pernyataan penuh kesombongan.
Paul, meski tidak nyaman dengan sikap Kenneth, tetap menundukkan kepala. Dia tidak bisa menyinggung keluarga Jackson. Perusahaannya sudah di ujung tanduk, utang menumpuk, dan satu-satunya jalan keluar yang bisa ia lihat adalah pernikahan putrinya dengan Kenneth.
Sementara itu, Monica, adik tiri Amelia berdiri di sampingnya dengan tatapan iri.
‘Sialan! Semua orang menatapnya, Kenneth juga. Apa sih kelebihan anak kampungan ini?’
Amelia tersenyum samar. Dia sudah mengetahui sikap ibu tiri dan adik tirinya ini sejak awal. Mereka iri dan bernafsu merebut tempatnya malam ini. Namun, tatapan Kenneth sama sekali tidak pernah tertuju pada mereka. Jelas sekali dia mengabaikan mereka.
Walaupun Amelia sangat tidak menyukai Kenneth, namun, malam ini sikap pria itu menjadi kemenangan baginya. Diam-diam merasa puas melihat rasa iri yang kian membara di mata kedua orang yang telah membuatnya terusir dari rumahnya sendiri bertahun-tahun yang lalu.
Sorotan malam itu sepenuhnya untuk keluarga Davis. Dari keluarga yang sering diremehkan, kini mereka berjalan sejajar dengan keluarga yang cukup berkuasa di Chicago. Semua mata tertuju pada mereka—sebagian penuh iri, sebagian penuh ejekan terselubung.
Di panggung utama, patriark keluarga Jackson, Edward Jackson, berdiri. Sosoknya tegap meski sudah berusia lanjut, dengan sorot mata tajam yang menandakan kekuasaan. Suaranya berat, bergema di seluruh ballroom.
“Malam ini kita menyambut keluarga Davis,” katanya, disambut tepuk tangan yang sopan namun dingin. “Putra bungsuku, Kenneth, telah memilih Amelia Davis sebagai pendamping hidupnya. Sebuah pilihan yang menegaskan bahwa keluarga Jackson tidak hanya melihat kekayaan atau status, tapi juga... kualitas yang berbeda.”
Kata-kata itu, meski terdengar manis, membawa nada sindiran halus. Semua orang tahu bahwa keluarga Davis sedang bangkrut. “Kualitas berbeda” hanyalah cara halus untuk mengatakan bahwa Amelia dipilih karena alasan pribadi Kenneth, bukan karena keluarganya layak berdiri di sana.
Clara tersenyum kaku, sementara Paul menundukkan kepala dalam-dalam. Amelia tetap berdiri tegak, meski dalam hati ia tahu, pesta ini hanyalah panggung besar untuk memperlihatkan betapa kecilnya keluarga Davis di antara para raksasa.
Dan meski ia dikelilingi cahaya gemerlap, Amelia merasa seakan dirinya terjebak di dalam kurungan emas. Dia berjalan menjauh, mencari kenyamanan untuk dirinya sendiri, walaupun rasanya mustahil ada kenyamanan lagi baginya mulai malam ini.
Amelia berdiri di sudut ballroom yang berkilau dengan lampu kristal, gaun mewah membalut tubuhnya, sementara musik klasik mengalun mengisi udara. Senyum lega terlukis di wajahnya. Walau hatinya jauh dari bahagia, setidaknya dia sudah melakukan apa yang dia mau, dan hidupnya selanjutnya terserah takdir membawanya. Dan yang terpenting, neneknya bisa hidup aman di rumah mungil mereka.
Kenneth Jackson sedang sibuk membalas sapaan teman-temannya. Namun, tatapannya terus melekat pada Amelia sejak tadi, membuat dadanya terasa sesak. Pria itu, dengan penuh percaya diri yang selalu melebihi batas, berjalan dengan langkah seolah dunia ada di bawah kakinya.
Sejak pertemuan pertama mereka yang tidak sengaja di perayaan ulang tahun sekolahnya, Amelia sudah tidak menyukai Kenneth. Rupanya pria itu pernah juga bersekolah di sekolah Amelia bertahun-tahun sebelumnya, alasan yang membuatnya bisa hadir di acara itu.
Amelia merasakan kehadiran pria itu di sisinya, namun dia berusaha mengabaikan, seolah dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak menyadari kehadirannya.
"Aku akan menjadi suami terbaik untukmu, Amelia. Kau akan belajar mencintaiku nanti," Kenneth pernah berkata dengan nada penuh kesombongan.
Amelia bungkam, tidak ada niat membantah. Biarlah Kenneth dengan segala pikirannya, dengan segala kekuasaan dan sifat congkaknya, dia tidak akan pernah mendapatkan kehormatan dirinya.
Pikiran itu membuat bibir Amelia melengkung samar, senyum yang nyaris tidak terlihat. Kenneth mungkin menganggap dirinya pemenang hanya karena telah memilih Amelia di antara banyak gadis kaya lainnya, tapi dia tidak pernah tahu—dia bukanlah pria pertama yang masuk ke dalam dunia Amelia yang paling pribadi.
Sekilas, pikirannya melayang pada malam penuh gairah yang telah dia lewati bersama pria yang dia pilih di bar. Malam yang sama sekali berbeda dari segala mimpi buruk bersama Kenneth. Malam di mana Matteo Oliver Hayes menatapnya bukan sebagai trofi, melainkan sebagai seorang wanita. Tatapan pria itu penuh dengan api, mengiris pertahanannya yang selama ini kokoh. Ia masih bisa merasakan hangatnya genggaman tangan Matteo di pinggangnya, desah napas mereka yang saling berpadu, dan bagaimana dunia seolah runtuh ketika tubuh mereka menyatu.
Amelia merasakan pipinya memanas. Kenangan itu datang begitu saja, liar, menabrak kesadarannya. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak mengingatnya, tapi justru semakin ia menolak, semakin kenangan itu menancap dalam. Matteo telah menandainya—mencuri sesuatu yang tak seorang pun bisa ambil kembali, bahkan Kenneth sekalipun.
Di tengah kerumunan pesta, di bawah lampu gantung yang berkilau, Amelia menyadari satu hal yang memberi keteguhan dalam dirinya, Kenneth mungkin bisa memilikinya, statusnya, bahkan tubuhnya jika keadaan memaksanya. Tapi dia tidak akan pernah bisa memiliki hatinya. Dan lebih dari itu—dia tidak akan pernah menjadi yang pertama.
Amelia mengangkat dagunya sedikit, menyamarkan getir dalam matanya dengan keanggunan yang selalu diajarkan ibunya. Di depan semua orang yang iri, dia berdiri tegak, tampak seperti calon pengantin yang bahagia. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia sedang mengukir janji dalam diam—bahwa ia tidak akan pernah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Kenneth Jackson.
“Kenneth..”
Seseorang memanggil pria itu sebelum kesabarannya habis.
Amelia sempat melihat rahangnya yang mengeras. Tentu saja, kesombongannya terhina karena Amelia mengabaikannya. Tapi syukurlah pria itu telah melangkah cepat menjauh darinya.
Amelia mengangkat gelas sampanyenya, meski hanya disentuh bibirnya tanpa benar-benar diminum. Matanya tertuju pada Clara dan Monica. Keduanya tengah berbincang dengan seorang wanita yang tampak terpikat oleh aura mereka.
Pemandangan itu membuat Amelia terdiam sejenak. Masih jelas di ingatannya, hari ketika Clara datang ke rumah keluarga Davis untuk pertama kalinya. Ia tidak datang sendiri—ada Monica di sampingnya, bocah perempuan dengan wajah mirip sekali dengan Paul, ayah Amelia. Saat itu, rumah mereka masih diliputi duka, karena ibunya baru saja berpulang setelah bertahun-tahun melawan kanker.
Amelia yang baru beranjak remaja langsung memahami satu hal, Clara bukanlah orang asing bagi ayahnya. Perempuan itu sudah lama ada, bersembunyi di balik bayangan, menunggu saat yang tepat. Dan Monica… Monica adalah bukti paling nyata dari pengkhianatan yang diam-diam hidup di dalam keluarga mereka. Gadis kecil itu hanya dua tahun lebih muda darinya.
Ingatannya terasa begitu hidup—tatapan Paul yang tidak pernah benar-benar menyesal, seakan kehadiran Clara hanyalah kepastian yang tak perlu diperdebatkan. Sementara Clara, dengan senyum lembut yang palsu, segera mengambil alih rumah itu, dan Monica tumbuh menjadi bayangan yang terus menempel di langkah Amelia.
Di pesta malam ini, mereka berdua telah berusaha tampil sebaik mungkin. Clara memakai gaun biru safir dengan permata berkilau di telinganya, sikapnya penuh percaya diri seperti wanita bangsawan. Monica, dengan gaun pink berpose di sisi ibunya, pura-pura ramah, pura-pura manis. Senyum mereka tampak begitu hangat bagi tamu-tamu yang diajak berbincang, tetapi Amelia tahu benar apa yang tersembunyi di balik topeng itu.
Perlakuan dingin, sindiran tajam, dan tatapan merendahkan—semua pernah Amelia terima dari mereka. Bertahun-tahun. Sampai akhirnya dia menyerah, memilih tinggal bersama neneknya agar bisa bernapas tanpa merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Kini, ironinya, Clara dan Monica tampil sebagai wajah resmi keluarga Davis dalam pesta keluarga Jackson. Mereka yang sibuk membangun hubungan, menjual citra keluarga kecil mereka seolah sama sederajat dengan keluarga-keluarga berkuasa di Chicago.
Amelia menyadari tatapan Monica sesekali mengarah padanya. Ada sesuatu yang muncul dari balik mata adik tirinya itu, sesuatu yang tidak bisa benar-benar ditutupi meski wajahnya tetap dihiasi senyum hangat. Iri. Tatapan itu menyelip, menusuk, seperti ingin berkata, 'Mengapa kamu yang dipilih Kenneth, bukan aku?'