Bab 5 Menjadi Tumbal

1160 Kata
Matteo memejamkan mata sebentar, merasa linglung sesaat, namun segera memastikan dia tidak salah dengar. Itulah yang dikatakan asistennya. Tapi.. CEO baru? Hari ini? Bagaimana dia bisa melupakannya? Padahal itulah alasan dia kembali ke kota Chicago ini. Bukan hanya melupakannya, dia bahkan baru saja… ‘Sial!’ Ia memutuskan panggilan tanpa basa-basi, lalu langsung membuka lemari. Pintu lemari bergeser, ada setelan mahal yang sudah tergantung rapi di sana. Dia mendesah lega. Liam benar-benar mengatur segalanya, sudah tahu kebiasaan tuannya. Dengan gerakan cepat, Matteo mengenakan setelan itu. Saat ia hendak mengambil jam tangan di atas nakas, matanya tertumbuk pada sesuatu yang kontras di lantai di ujung ranjang. Sepotong kain renda hitam berbentuk segitiga itu tergeletak, ringan, namun menyimpan jejak malam penuh gelora yang baru saja lewat. Ia mengangkatnya, merasakan teksturnya yang halus di jemarinya, lalu tanpa berpikir panjang, memasukkannya ke saku celana panjangnya. Ini adalah bukti. Bukti bahwa gadis misterius itu nyata, dan mereka telah melewatkan malam penuh hasrat dan peluh bersama. Matanya melirik sekali lagi ke arah ranjang—selimut berantakan, sprei kusut, dan noda merah yang kini menancap kuat di ingatannya. Napas Matteo mengeras. ‘Seorang perawan… siapa kau sebenarnya?’ Ini tidak seperti malam-malam yang pernah dia lewatkan. Matteo terus bertanya-tanya sendiri. Namun, pertanyaan-pertanyaan di kepalanya diinterupsi oleh ingatannya soal agenda pagi ini di perusahaan dan para karyawan yang sudah menunggu. Matteo segera meraih jam tangan, melingkarkannya di pergelangan, dan melirik sekali lagi ke arah pintu suite. Ada rasa aneh di dadanya. Dia terbiasa mengendalikan semua hal dalam hidupnya—termasuk wanita. Tapi pagi ini, seorang gadis yang bahkan tak sempat ia tanyai namanya, pergi meninggalkannya begitu saja. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan langkah panjang, ia keluar dari suite. Lift menuju lobi berdering lembut, pintunya terbuka. Matteo masuk, dan saat pintu tertutup, ia menyadari sesuatu, untuk pertama kalinya, bukan pertemuan bisnis atau kekuasaan yang memenuhi pikirannya di pagi yang krusial ini, melainkan mata gadis itu yang ia lihat dalam remang kamar, dan bagaimana dia menghilang tanpa jejak. *** Kediaman keluarga Davis. Suara dering ponsel yang terus menjerit tanpa henti dan nyaring merenggut Amelia dari mimpi. Adegan semalam kembali terulang dalam mimpinya, dan dia terbangun dengan tubuh berkeringat. Sekitar tiga jam yang lalu, Amelia berhasil masuk ke rumah itu tanpa menarik perhatian siapapun. Dia langsung menyelinap ke kamarnya dan terkapar di ranjang, tertidur pulas. Rasanya dia belum lama tertidur, suara jeritan ponsel itu memaksanya membuka mata, dan berguling ke tepi ranjang. Dia cepat-cepat meraih ponsel di atas nakas, dan menatap layar yang sedang berkedip-kedip. Itu panggilan dari Lucy. “Ya, Lucy... Tolong biarkan aku tidur dulu..” dia berbicara dengan suara serak setelah menggeser jarinya. Dia memejamkan mata rapat-rapat, kembali terseret oleh sisa-sisa kantuk yang direnggut kasar oleh dering ponsel tadi. Namun, suara ribut Lucy memenuhi gendang telinganya. "Mel, bangun! Apa kamu berhasil semalam? Kamu sudah menghilang saat aku kembali ke meja, jadi aku pikir kamu sudah berhasil m3nggoda pria itu. Tapi aku agak khawatir juga, takut kamu kenapa-napa. Apa kamu berhasil mengg0da pria itu?" Suara Lucy terdengar di telinga seperti dentuman keras, seolah membangunkan seluruh sistem syaraf Amelia yang sedang kelelahan. "Ya," jawab Amelia singkat, suaranya serak, sangat mengantuk "Maksudmu… kamu berhasil tidur dengan pria itu? Ngasih ke—" "Iyaa…" Amelia memotong tidak sabar, berguling di atas ranjang sambil memeluk bantal. "Aku sudah melewati momen pertamaku, Lucy. Oke? Sekarang tolong biarkan aku tidur. Bercinta pertama kali itu… agak kurang nyaman dan sangat melelahkan ternyata." Dia bahkan tak membuka mata, berharap Lucy segera mengucap selamat tinggal. Tapi bukan Lucy kalau berhenti di situ. Suara di seberang telepon mendadak berubah tegang. "Mel… laki-laki itu ternyata CEO baru aku. Dia baru saja dikenalkan, namanya Matteo Oliver Hayes." Lucy mengucapkan nama itu perlahan, setiap kata, ingin memastikan Amelia mendengar jelas. "Nama yang cukup bagus." Komentar Amelia acuh tak acuh. Lalu dia kembali tertidur. Mengabaikan gerutuan Lucy di ujung telepon. *** Denting gelas sampanye bercampur dengan alunan musik klasik memenuhi aula megah itu. Lampu kristal di langit-langit berkilau, memantulkan cahaya hangat yang membungkus para tamu dalam kesan elegan. Gaun-gaun mahal berdesir setiap kali pemakainya bergerak, parfum mewah berbaur di udara. Semua itu membentuk harmoni yang mewah—sebuah dunia yang jauh dari kehidupan sehari-hari keluarga Davis. Paul Davis berdiri dengan jas lama yang sudah dipermak agar terlihat baru. Dasi hitamnya sedikit miring, membuatnya tampak lebih gugup. Tangannya sesekali menyentuh lengan istrinya, Clara, seolah mencari pegangan agar tidak tenggelam dalam lautan orang-orang kaya yang berkilauan dengan perhiasan berlian. Di sisi lain, kedua putrinya menjadi pusat perhatian kecil. Amelia, dengan gaun satin putih yang membalut tubuh rampingnya, memancarkan pesona alami. Senyumnya sopan, tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuat beberapa pria menoleh dua kali. Rambut cokelat keemasannya ditata sederhana, namun justru menambah daya tariknya. Di sampingnya, Monica, adik tirinya, mengenakan gaun merah muda. Malam itu, Monica terlihat kagum sekaligus iri dengan kilauan pesta yang jarang ia temui. “Lihat sekelilingmu,” bisik Clara pada suaminya dengan nada campur aduk antara bangga dan cemas. “Kita... kita benar-benar di sini, Paul. Bersama mereka.” Paul tersenyum hambar. “Ya... meski aku yakin mereka bertanya-tanya, apa yang dilakukan keluarga Davis di pesta keluarga Jackson?” Kenyataannya, banyak yang memang bertanya-tanya. Tatapan para tamu wanita, terutama ibu-ibu dari keluarga kaya Chicago, sering berhenti lama pada Amelia. Ada yang penuh penilaian, ada pula yang menyimpan iri. Putri sulung keluarga Davis kini menjadi tunangan Kenneth Jackson, pilihan yang mengejutkan banyak orang. “Dia?” bisik seorang wanita paruh baya dengan kalung mutiara, matanya menyipit ke arah Amelia. “Padahal gadis-gadis dari keluarga Morgan atau Carter jelas lebih pantas.” “Benar,” sahut temannya sambil menyesap sampanye. “Tapi tampaknya Kenneth punya selera berbeda.” Amelia mendengar bisikan itu meski mereka berbicara lirih. Jantungnya berdegup lebih cepat, tapi wajahnya tetap tenang. Tiga hari yang lalu, dia dipaksa pulang hanya untuk mendengar kabar buruk itu. Flashback on… “Kamu akan menikah dengan Kenneth Jackson,” Kata-kata itu menghantam Amelia seperti palu godam. Ia memandang ayahnya, mencari tanda bahwa ini hanya lelucon buruk. “Tidak! Kau tidak serius…” suaranya tercekat. Bagaimana ayahnya bisa mendorongnya untuk menikah dengan pria yang memiliki reputasi tercela di Chicago? Kenneth Jackson adalah gambaran villain yang sempurna dalam cerita-cerita novel. Walapun banyak gadis memimpikan menjadi istrinya karena latar belakang keluarganya, tapi Amelia tidak, bahkan membayangkannya saja tidak pernah. Lalu Amelia mendengar suara berat ayahnya. “Aku sangat serius. Ini satu-satunya jalan. Tanpa itu, kita akan kehilangan segalanya. Rumah ini, perusahaan… bahkan nama keluarga Davis.” Amelia memukul sandaran kursinya dengan telapak tangan. “Aku bukan barang yang bisa kau serahkan untuk menyelamatkan bisnismu!” Nada suaranya pecah, matanya berkilat marah. “Dia.. dia b@jingan, Dad!” Paul terdiam sesaat, lalu mengangkat bahu seolah hal itu tidak penting. “Kenneth tidak sejahat yang kau kira. Ini juga demi masa depanmu.” Amelia berdiri, tangannya mengepal. “Masa depan? Masa depan macam apa yang kau maksud? Hidup bersama pria yang membuatku muak hanya untuk menyelamatkan perusahaanmu?” Amelia menatap ayahnya marah, tidak rela menjadi tumbal kesombongan dan keegoisan ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN