Menit berlalu.
Amelia masih duduk di sana, sementara Lucy sudah turun ke lantai dansa. Beberapa orang pria menghampiri, namun, Amelia menolak dengan halus. Matanya tetap waspada ke arah pintu bilik VIP yang masih tertutup rapat.
Musik terus berganti.
Amelia sudah menghabiskan dua gelas wine dan tangannya sekarang memegang gelas ketiga. Dari sudut matanya, tiba-tiba dia melihat pintu bilik terbuka dan pria yang sejak tadi menjadi fokus perhatiannya berjalan keluar dengan langkah lebar.
Ia sedang menerima telepon, langkahnya menuju lorong sepi di sisi kiri ruangan.
Kesempatan itu tak akan datang dua kali. Amelia meneguk sedikit wine lalu melangkah, hak tingginya mengetuk lantai dalam ritme pasti.
Amelia memegang gelas winenya dengan jari-jari yang tampak lentik di bawah cahaya lampu temaram. Cairan merah di dalamnya bergoyang, hampir tumpah, saat ia melangkah gontai.
Lorong itu sepi, sama-samar Amelia mendengar suara rendah pria itu berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Sepertinya bahasa Italia.
Amelia menarik napas, lalu mulai menjalankan rencananya. Ia berjalan agak sempoyongan, seolah-olah efek alkohol sudah menguasai tubuh dan pikirannya. Sesekali ia memejamkan mata lama-lama, lalu membukanya lagi sambil tersenyum samar.
Hingga….
Bug!
Bahunya menabrak tubuh kokoh menjulang pria itu.
“Oh… maaf…” suaranya sengaja dibuat serak, nyaris berbisik, sambil tangannya menyentuh lengan pria itu untuk menjaga keseimbangan.
Pria itu menunduk sedikit, memandangi Amelia dari ujung kaki hingga ke wajahnya.
“Kamu baik-baik saja?” suaranya dalam, sedikit berat, namun ada nada waspada di dalamnya.
Amelia tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya condong sedikit lebih dekat.
“Aku… sepertinya… terlalu banyak minum,” ujarnya, lalu tertawa kecil, ringan, namun cukup untuk membuat pria itu memperhatikan bibirnya.
Dengan sengaja, ia membiarkan jemarinya tetap berada di lengan pria itu, menelusuri sedikit otot yang terasa kencang di balik kemejanya.
“Kamu… tinggi sekali. Susah untuk berdiri tegak kalau ada pria setinggi ini di depanku.”
Pria itu mengangkat satu alis, seperti sedang mencoba membaca niat Amelia.
“Dan kamu… sepertinya bukan tipe yang mudah mabuk,” katanya datar.
D@da Amelia berdebar, pria ini bukan hanya sangat tampan dan memiliki tubuh yang bagus, tapi pengamatannya juga cukup tajam. Tapi justru itu yang membuatnya semakin tertantang.
Ia menatap pria itu lebih dalam, menampilkan senyum misterius yang ia tahu bisa membuat pria kehilangan kewaspadaan.
“Kalau begitu… mungkin aku mabuk karena alasan lain.” Amelia terkekeh pelan sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.
Ia memutar tubuhnya pelan, membelakangi Matteo, lalu melangkah dengan langkah goyah yang sengaja dibuatnya. Beberapa langkah, tubuhnya kembali terhuyung, kali ini nyaris menabrak seorang pria berjas rapi yang baru saja keluar dari ruang VIP. Pria itu spontan mengangkat tangan, tapi Amelia sudah memutar badan sedikit dan terus berjalan, seperti tak peduli.
Pria itu, masih berdiri di tempatnya beberapa langkah di belakang, menggeleng pelan. Entah mengapa, matanya enggan berpaling dari sosok gadis itu. Kilatan cahaya sebentar tadi memperlihatkan wajahnya—wajah muda, dengan kecantikan polos yang cukup menggoda.
Detik berikutnya, tubuh Amelia condong ke depan, dan kali ini benar-benar kehilangan keseimbangan. Tanpa pikir panjang, pria itu bergerak cepat, langkahnya panjang dan pasti. Tangannya meraih pinggang ramping gadis itu sebelum punggungnya menyentuh lantai dingin.
Pada saat bersamaan, dalam hati Matteo Hayes terjadi perang antara dua sisi dirinya. Sisi dirinya yang satu menolak tindakan ini, namun sisi lainnya begitu kuat mendorongnya untuk menyelamatkan sang gadis muda dari hal yang tidak diinginkan. Dan sisi dirinya yang menolak akhirnya kalah telak, karena Matteo merasakan tubuhnya juga sepenuhnya bereaksi atas kehadiran sang gadis yang sekarang sedang bersandar di tubuhnya, sementara kedua lengannya memeluk pinggangnya erat.
Tubuhnya terasa lembut di pelukan Matteo, aroma samar parfum manis berpadu dengan wangi minuman. Ada sesuatu yang aneh—dorongan naluriah yang bangkit dalam diri Matteo.
Dengan gerakan mantap, Matteo membungkuk, mengangkat tubuhnya dengan kedua lengan kekarnya.
Amelia terkejut, merasakan tubuhnya melayang dan sedikit pusing. Namun, dia buru-buru menyembunyikannya, dan menyandarkan kepala di bahu lebar pria itu. Matanya setengah terpejam, seolah dia benar-benar mabuk berat.
Pria itu menggendongnya seolah dia hanya seringan kapas.
‘Oh, dia memiliki kedua lengan yang kuat, melengkapi tubuh kokoh dan wajah tampannya. Memuaskan.’ Nilai Amelia dalam hati, merasa puas dengan pilihannya.
“Sedang bersenang-senang, Matteo?”
Seorang pengunjung bar rupanya menegur pria itu, karena Amelia mendengar geraman pelannya.
‘Jadi namanya Matteo.’
Amelia menulis nama itu dalam ingatannya.
‘Nama yang sempurna untuk titisan dewa Yunani ini.’ pikir Amelia, dalam hati bersorak karena berhasil menemukan pria ini di antara sekian banyak pria di bar.
Lorong menuju pintu keluar menjadi lebih sepi ketika Matteo berjalan ke sana. Dentuman musik perlahan memudar di belakang mereka, digantikan oleh suara langkahnya yang berat namun teratur.
Beberapa orang menoleh, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lainnya hanya sekilas.
Matteo tidak peduli. Ia hanya tahu satu hal—sesuatu dalam dirinya telah bangkit. Gadis ini… dia tidak tahu siapa, tapi dia tidak akan membiarkannya tergeletak begitu saja di tempat seperti itu.
Matteo mengerjap. Dia tahu mabuk sungguhan seperti apa—mata kosong, koordinasi buyar, bicara melantur. Gadis ini berbeda. Sedikit goyah, tapi sorot matanya masih fokus.
‘Dia sedang memainkan peran,’ pikir Matteo. Dan entah kenapa, itu justru menyalakan alarm sekaligus sesuatu yang jauh lebih berbahaya di dalam dirinya.
“Aku rasa kau baik-baik saja,” katanya pelan, mencoba membiarkan gadis itu berdiri di lantai saat mereka sampai di depan lift. Dia melepas pegangannya.
Amelia tersenyum tipis, melangkah mundur setengah langkah, dan hampir terjerembab lagi. Kali ini Matteo kembali meraih pinggangnya, dan saat jemarinya menyentuh kulitnya yang terbuka di bagian belakang gaun, napas Matteo semakin berat.
Dia harusnya kembali ke teman-temannya. Dia baru pulang dari Napoli, dan malam ini seharusnya untuk bersulang, merayakan kepulangannya bersama teman-temannya, bukan…
‘Bukan untuk ini… tapi sial, dia membuatku ingin mengubah rencana.’