Part 8 : Arti Sahabat

822 Kata
Mulan memandangi foto USG terakhir malaikat kecil dalam rahimnya sebelum malaikat itu pergi selama-lamanya. Mulan menagisi foto itu, lebih tepatnya menangisi bayi kecilnya, yang masih berupa gumpalan kecil, sangat kecil. Gumpalan darah yang bahkan belum ditiupkan nyawa itu kini telah pergi, pergi meninggalkan Mulan untuk selama-lamanya, pergi meninggalkan luka mendalam dihati Mulan. Menyisakan kepedihan yang asanya tak mungkin sembuh, ia hanya manusia biasa, wajar bukan jika ia merasakan kecewa yang sedalam ini? "Sekarang mamah sendiri dek.. Mamah harus apa?" ucap Mulan bermonolog ditengah isak tangisnya yang teredam oleh bekapan tangannya sendiri. "Kamu nggak sendiri," Mulan menghapus air matanya cepat dan menyimpan foto USG itu ke dalam saku dasternya, saat suara bariton Damian masuk ke dalam indra pendengarnya. Damian mendekati Mulan yang berdiri menatap lurus pemandangan hujan yang mengguyur padatnya Kota Jakarta, melalui balkon di kamarnya, kamar yang tentunya lebih layak, dari kamarnya dulu saat pertama kali pindah kemari. Damian berdiri disamping Mulan, matanya ikut memandang lurus "Hujan." Mulan diam, bahkan orang bodoh pun tau bahwa sekarang memang hujan. Lagipula Mulan tidak buta dan tidak tuli untuk merasakan bahwa saat ini hujan turun dengan derasnya. "Ada Arinda dibawah." Ucap Damian, reflek Mulan menoleh menatap Damian yang masih menatap lurus kedepan. "Aku baru saja menjemputnya di bandara, sekalian mengantar mamah ke bandara juga, sore ini beliau berangkat ke Paris bersama tante Sofie." Lanjut Damian, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Mulan segera menemui Arinda. Meninggalkan Damian yang masih setia menatap hujan sama seperti dirinya tadi. "Rin...." lirih Mulan menahan tangisnya kala melihat sang sahabat sedang duduk bersila di sofa sambil bermain ponsel. "Ulann.." Arinda beranjak dan langsung memeluk Mulan yang berdiri di dekatnya, dengan begitu erat dan hangat. "Anak gue..." ucap Mulan, seolah mengadukan kesedihan hatinya pada sang sahabat. Arinda mengangguk, "gue tau.. Gue tau semuanya.." Gadis itu membiarkan kakak ipar sekaligus sahabatnya ini menangis sepuasnya, bahkan tak terasa, air matanya pun ikut menetes, mendengar kepiluan Mulan, membayangkan rasa sakit yang saat ini di rasakan Mulan. "Gue mau pisah.. Rin.. Gue nggak kuat.." Adu Mulan bergetar, menahan tangisnya, sementara Arinda langsung menggeleng kuat. Ia tidak ingin ada kata cerai diantara kakaknya dan Mulan, meski ia tau kakaknya sudah sangat kelewatan. Setelah dirasa tenang, Arinda melepaskan pelukan diantara mereka, dan menatap lekat wajah sahabatnya. "Maafin gue ya.. Gue nggak ada disaat-saat elu butuh gue.. Maafin gue.." lirih Arinda diiringi tetesan air matanya, Mulan langsung menggeleng, "Gue ngerti,". Kedua sahabat itu kembali berpelukan. "Lan.. Lu mau dengerin sesuatu dari gue enggak?" Tanya Arinda yang kini duduk berhadapan dengan Mulan di sofa, gadis itu menggenggam tangan Mulan erat menyalurkan sebuah energi positif pada diri Mulan. Mulan mengangguk, seketika Arinda menarik nafas cukup panjang "Gue tau elu pengen cerai dari Kak Damie, gue pun nggak ada hak buat ngelarang itu, justru gue rasa wajar, dan sebanding sama apa yang udah kak Damie lakuin ke elu. Tapi gue cuma mau ngingetin, Tuhan benci sama perceraian, selagi masih bisa dipertahankan kenapa nggak lu coba?" Arinda mengambil nafas, sambil mengusap pundak Mulan. "Nggak ada salahnya elu ngasih kesempatan kedua buat kak Damie, meskipun itu berat, tapi apa lu nggak bisa liat ketulusan dimata dia? meskipun gue belum pernah ada di posisi elu sekarang, tapi gue enggak serta merta tutup mata sama semua perubahan Kak Damie, bukan karena dia kakak gue, ini pure, gue liat dia beneran berubah dari sorot matanya, dan jangan bohong, elu pun masih cinta kan sama dia?" Mulan menunduk diam, ini semua terasa semakin berat dan rumit, bisa kah ia kembali ke masa lalu? Jika iya, maka ia memilih tidak mengenal Damian. Cinta? Masihkah tersisa rasa itu dihati Mulan untuk suaminya? Suami yang tidak pernah absen menorehkan luka dihatinya (?) Mulan bimbang, ia tak tau harus apa, hatinya masih sangat sakit atas kepergian calon anaknya. "Gue tau elu lebih bijak dan ngerti daripada gue.." ucap Arinda pada Mulan yang nampak melamun, seolah memikirkan hal yang benar-benar berat. "Gue nggak ngerti Rin, gue takut semuanya palsu, gue takut saat nanti gue udah bener-bener jatuh kedalam pelukan Kak Damie, dia akan kembali kaya dulu lagi.. Gue nggak akan sanggup." Ujar Mulan dengan suara bergetar, seolah hatinya tak siap untuk terluka lagi. Arinda menggenggam tangan Mulan, "biar waktu yang akan menjawab.. Gue nggak akan ikut campur terlalu dalam. tapi yang jelas, gue bakalan selalu suport elu." Mulan mengangguk, hatinya terasa sedikit lega, atas apa yang ia bicarakan dengan Arinda. “Gue harap elu bisa bijak dalam mengambil keputusan lo nanti, jangan sampek lu nyesel.” Ujar Arinda memeluk Mulan sekali lagi, ia inngin benar-benar merasa berguna untuk Mulan. Wanita itu hanya seorang diri di dunia ini, dan Arinda tak akan membiarkan dunia berlaku tak adil pada Mulan, termasuk kakaknya. Namun ia pun tak ingin melihat kedua orang yang sama-sama berarti di dalam hidupnya itu berpisah, ia tak ingin nantinya salah satu atau keduanya merasa menyesal dan terluka lebih dalam. Meski Arinda belum berumah tangga, namun ia yakin dengan sepenuhnya bahwa apa yang sedang Mulan dan Damian alami saat ini termasuk badai rumah tangga, biarlah untuk saat ini mereka sama-sama belajar dan saling menerima dengan sepenuh hati satu sama lain. Keyakinan yang selalu dipegang oleh Arinda adalah, bahwa disetiap badai pasti ada pelangi yang menunggu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN