SATE KENANGAN

1065 Kata
            “Makan yuk Thal” Ajak Arta kepada Thalia yang berjalan duluan, menuju mobil dengan satu sampel undangan yang resmi mereka pilih untuk undangan pernikahan mereka. Thalia berhenti, berbalik menatap Arta dengan kedua alis yang terangkat.                 “Makan apa?” Tanya Thalia                 “Makan… ada, sate deket sini. Langganan aku” Jawab Arta yang sekarang sudah berdiri, sejajar dengan Thalia. Langganan sate nya bersama Areta. Tiap kali mereka lewat atau main ke daerah sana pasti mereka akan singgah ke Sate Cak Noer . langganan Arta dan Areta dari awal mereka PDKT hingga, minggu kemarin, mereka masih makan di sana.                 Di mobil Thalia tak henti – henti nya memandang undangan pernikahannya bersama Arta. Mencari kekurangan dari undangan terebut agar sesegera mungkin bisa ia revisi, namun untungnya semuanya sudah sempurna sesuai keinginan sepasang calon pengantin tersebut.                 “Yuk, udah sampai” Ucap Arta, Thalia mendongkak menatap sekelilingnya. Ia terlalu sibuk dengan undangan mereka hingga tidak sadar, Arta membawanya kemana.                 “Yuk” Balas Thalia. Ia turun dari mobil, mengekor di belakang Arta yang sedang mencari meja kosong.                 “Mas Arta, udah di tungguin sama mbak Areta di dalam” Ucap salah seorang pramusaji di tempat itu, Arta mengerutkan keningnya tak percaya, selama beberapa detik ia bahkan sempat bertatapan dengan Thalia.                 “Kamu Janjian sama mantan kamu terus ngajakin aku?”  Arta diam, kemudian mencari sosok wanita yang di maksud oleh Pramusaji tersebut. Di ujung sana, terlihat Areta sedang duduk sendirian, di hadapannya ada beberapa tusuk sate yang sering mereka berdua pesan, sate ayam dan sate sapi! Masing – masing setengah porsi dari yang seharusnya. Di saat yang bersamaan Areta menyadari bahwa seseorang menatapnya dari kejauhan.                 “Serius nih kamu ngajakin aku kesini buat ketemu mantan kamu?” Tanya Thalia lagi. Arta diam, dia tidak tau harus berbuat apa. Ini semua diluar ekspektasi nya, dia tidak ada janji dengan Areta hari ini, maka dari itu ia mengajak Thalia kesana. Namun siapa sangka, bahwa Areta juga ada di sana.                 “Eh… Enggak, siapa yang janjian Thal” Jawab Arta, tentu saja dengan jujur. Mata Areta tak bisa lepas dari dua orang tersebut. Rasanya aneh, melihat pria yang selalu bersamanya selama delapan tahun terakhir, tiba – tiba datang ke tempat favorite mereka, bersama dengan wanita lain. Areta berdiri, segera membayar pesanannya yang bahkan belum ia sentuh sedikitpun. Areta berjalan ke arah luar, berhenti di hadapan Arta dan calon istrinya, Thalia.                 “Hai, Arta. Ini calon istrinya ya? Siapa namanya? Thalia ya? Waah Arta sering banget ceritain kamu di kantor. Haloo Thaliaa. Aku Areta” Ucap Areta, ia memilih untuk menyapa Arta dan juga Thalia, agar tidak terlihat sakit hati melihat mereka berdua, agar semuanya terlihat baik – baik saja. Padahal jika boleh jujur, Areta bisa saja menangis di hadapan kedua orang tersebut sembari menceritakan rasa sakit hatinya yang teramat dalam.                 “Halooo Aretaa, iya aku Thalia. Loh kok buru – buru banget pulangnya mau kemana?” Tanya Thalia, perempuan memang paling bisa berpura – pura.                 “Wah iya nih, tiba – tiba di panggil sama orang kantor katanya ada satu laporan yang perlu di koreksi” Jawab Areta sambil tersenyum manis kepada Thalia                 Arta melirik jam kemudian ia sadar bahwa sudah terlalu larut jika Areta kembali ke kantor “Laporan? Jam segini? Siapa yang manggil?” Tanya Arta, Thalia langsung melirik calon suaminya dari samping. Biasa aja kali khawatir nya. Ucap Thalia dalam hati. Areta menyadari bahwa Thalia tidak nyaman dengan pertanyaan yang baru saja Arta lontarkan, maka ia memutuskan untuk buru – buru pamit.                 “Ada, mas Bram minta gue datang. Biasalah. Yaudah have fun yaa. Eh undang gue looh kalau kalian nikahan, oke? See you Arta, Thalia” Ucap Areta, Thalia hanya tersenyum menanggapi Areta yang berlalu di sampingnya. Arta tak bisa membohongi perasaannya sendiri, bagaimana khawatirnya ia terhadap Areta saat ini. Biasanya, dulu, Arta lah yang selalu menemani Areta jika Areta harus diminta lembur di kantor atau setidaknya membantu Areta menyelesaikan pekerjaannya agar kekasihnya itu bisa cepat pulang, sekarang , ia harus melihat Areta sendirian, mengendarai mobilnya yang entah mau kemana.                 “Yuk makan” Ucap Thalia, Arta menghela napas kemudian mengangguk. Rasanya ia ingin sekali menyusul Areta saat ini.                 Mereka berdua akhirnya makan bersama, memesan dua porsi sate, satu porsi sate ayam untuk Arta, satu porsi sate sapi untuk Thalia. Mereka makan dengan keadaan yang hening, tak ada percakapan di antara mereka berdua. Rasanya hampa, benar – benar hampa. Arta yang terbiasa makan ditemani dengan celotehan – celotehan konyol dari Areta membuatnya semakin merasa rindu dengan sosok yang baru saja ia temui beberapa menit yang lalu.                 Thalia dan Areta merupakan dua manusia yang memiliki kepribadian yang sangat berbeda, ibaratnya yang satu putih, yang satu penuh warna. Thalia tipikal gadis yang penuh dengan tata krama, makan nya bak putri raja, santun, omongannya betul – betul di jaga, bahkan ketawa saja, Arta belum pernah melihat Thalia tertawa lepas. Sementara Areta… Areta adalah perempuan yang apa adanya, ia akan berceloteh saat makan, mengomentari makanan di hadapannya, mencari topik pembicaraan yang seru, Areta tidak suka sepi. Arta pun sama. Itulah salah satu alasan mengapa mereka bisa bertahan delapan tahun lamanya.                 “Gak nyaman ya?” Tanya Thalia, Arta mendongkakan kepalanya, kemudian menggeleng pelan.                 “Belum terbiasa aja” Jawab Arta. Thalia mengangguk                 “Beda banget ya sama Areta? We are different person. Wajar kok gak sama. I know that you still love her. Tau banget, tau jelas. Tapi sorry, aku harus egois, aku gak mau menikah dengan laki – laki yang masih punya hubungan dengan orang lain” Ucap Thalia                 “Dan juga… aku mau menikah, aku mau hidup selayaknya orang yang betul – betul menikah” Sambung Thalia. Arta diam beberapa saat, berusaha memahami apa yang calon istrinya maksud. “I won’t touch you… like I touch her Thal, never.”  Ucap Arta dalam hati, ia tidak tau harus merespon apa ucapan dari Thalia barusan                 “Aku udah” Jawab Thalia lagi, Arta menatap piringnya, lagi. Setengah nya pun belum habis. Namun ia mengangguk kemudian menegak segelas es teh yang juga mereka pesan. Setelah itu ia berdiri, berjalan mendahului Thalia, membayar pesanan mereka.                 “Thanks ya buat hari ini” Ucap Thalia, Arta tersenyum kemudian mengangguk                 “Sama – sama” Jawab Arta. Setelah itu ia mengantarkan Thalia pulang hingga di depan rumahnya. Awalnya Thalia bahkan menawarkan Arta untuk masuk dulu, namun Arta menolak, dengan alasan ia masih punya beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum sibuk dengan hari – hari mendekati pernikahan. Padahal tidak, ia hanya beralasan agar bisa menemui Areta sebentar, sebelum ia kembali ke rumah nya.                 Arta membelah kemacetan ibu kota, menempuh jarak kantor yang lumayan memakan waktu dari rumah Thalia. Sedari tadi Arta menghubungi Areta, mencari tahu dimana gadis itu berada.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN