Aku turun dari mobil, membuka pintu rumah , kemudian ku dapati kakak ku sedang berdiskusi dengan salah satu perwakilan pihak catering makanan yang di pilih untuk menyajikan makanan di hari pernikahanku nanti bersama Thalia. Kakak ku, Natasya langsung bangkit. Menarik tanganku untuk segera duduk bersama perwakilan dari pihak catering.
“Lo mau makanan yang mana?” Tanya Natasya sembari menunjukan buku menu yang berada di depanku
“Apa aja, terserah” Jawabku santai, aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa, kemudian memejamkan mataku pelan. Sedetik kemudian aku merasakan sebuah cubitan kecil di pahaku yang sakit nya tak main – main. Aku langsung membuka mata kemudian duduk tegap sembari mengelus pahaku yang Natasya cubit.
“KAK!” Ucapku sembari mengelus paha
“PILIH BURUAN ATAU GUE CUBIT PAHA LO PAKE GUNTING RUMPUT” Aku segera bangun , kemudian mengambil daftar menu yang akan ku pilih untuk acara resepsi pernikahanku dengan Thalia. Aku melihat – lihat makanannya, di sana ada capcay goreng, kesukaan Areta tentunya. Aku pilih, ada juga baso – basoan , dan acar dan beberapa hidangan lain yang merupakan gabungan kesukaan ku dengan Areta. Bagaimana dengan Thalia? Aku tidak tahu apa yang ia suka, kalau saja semisal ia tidak menyukai apa yang aku pilih, yasudah. Tinggal di ganti saja.
“Oke mas, mbak , nanti food testing nya hari sabtu ya” Ucap perempuan yang duduk di hadapanku, aku tersenyum kemudian mengangguk, lalu setelah nya aku pamit. Ingin naik ke kamarku yang sebentar lagi akan menjadi kamar Thalia juga.
Aku melewati mama yang lagi duduk di tangga, sambil ngobrol sama tante Erin, tetangga sebelah yang juga merupakan kakak dari ibu nya Thalia, alias tante nya Thalia. Aku tidak bergabung dengan mereka, aku melewatinya dengan senyum tipis dan sedikit membungkuk. Tante Erin melambaikan tangan kemudian membalas senyumku, sementara mama sedikit berteriak bilang…
“MANDI ATUH ADEK, CALON PENGANTIN KENAPA BALIK KERJA GAK MANDI SIIH” Oke, Mama ku. Mama Nieke. Si wanita karir yang masih ambis sampai umur yang udah setahun lebih melewati kepala lima. Mama masih muda, katanya mama sama papa nikah pas papa seumuran sama aku, dan mama seumuran sama Thalia. Makanya, pas Thalia ulang tahun yang ke dua puluh dua, Juni lalu. Mama udah sibuk banget maksa – maksa buat aku segera bilang iya dengan permintaannya mengenai perjodohan dengan Thalia.
Mama juga masih manggil aku dengan sebutan ‘Adek’ , dan manggil Natasya dengan sebutan ‘Kakak’ gak tau motivasi nya apa, padahal aku dan mbak Natasya udah sama – sama lewat dari kepala dua.
“Iya maa” Jawabku sambil terus menaiki satu per satu anak tangga
Aku memasuki kamar, memandangi sudut demi sudut ruangan yang dulu, penuh dengan foto atau kenangan lain bersama Areta. Delapan tahun bukan waktu yang singkat untuk mengakhiri hubungan yang lama , lalu menggantinya dengan hubungan yang baru, banyak sih orang yang begitu. But, iya mungkin kalau mereka udah gak sayang sama pasangan yang sebelum nya. Mungkin ya mereka bisa – bisa aja. Tapi aku dan Areta beda. Kami bahkan masih saling cinta sampai detik ini. Dan Areta tau, kalau aku bakalan di jodohkan sama Thalia. Dia udah mau mundur waktu itu, tapi… aku yang nahan dia. Aku minta Areta nunggu aku selama enam bulan. Dia setuju, dia mau.
*****
Arta membuka lemari pelan – pelan kemudian melihat beberapa baju nya yang merupakan baju dari Areta, ada beberapa baju yang sama, dan ada beberapa juga yang sengaja Areta belikan untuk Arta untuk hari – hari spesial mereka. Arta tersenyum miris, kemudian kembali menutup pintu lemarinya. Tidak jadi mengganti baju hanya karena melihat beberapa baju yang merupakan barang dari Areta.
Ponsel Arta bergetar, sebuah pesan masuk dari Thalia.
Arta, kayaknya undangannya harus Aprrove hari ini deh.
Arta membalas
Emang hari ini Thaliaa, jadi gimana? Aku jemput ya? Kamu dimana?
Thalia
Boleh, masih di kantor.
Arta yang tadinya gak jadi mandi, malah buru – buru mandi terus ganti baju pakai baju santai doang, dia ngelirik jam udah jam tujuh lewat sepuluh artinya percetakan udah hampir tutup satu setengah jam lagi, mana belum jemput Thalia. Arta buru – buru ngambil kunci mobil. Weist bag, dan udah berangkat. Padahal rambutnya masih basah.
Di jalan menuju kantor nya Thalia, lancar – lancar aja gak macet, Cuma beberapa kali Arta ngumpat kesel karena harus terjebak di traffict light , dua kali. Arta memasuki sebuah gedung tinggi, menunggu Thalia di parkiran. Tak lama setelahnya dari jauh terlihat seorang gadis dengan seragam kantor yang masih melekat, berjalan dan sesekali berlari menghampiri mobil Arta.
“Maaf ya lamaa” Ucap Thalia setelah duduk manis di samping Arta, Arta Cuma tersenyum menanggapi calon istrinya yang bahkan masih memegang beberapa dokumen di tangan kanannya.
“Mau lembur ya buk? Duit nikahannya kurang? Hahahah” Arta meledek Thalia , yang di ledek hanya tertawa kemudian mencubit lengan Arta gemas
“hahah di kejar ini pak, laporan – laporan buat client masih banyak” Jawab Thalia, ia menyandarkan tubuh nya , kemudian memejamkan matanya perlahan ia tertidur. Arta melirik ke arah Thalia, menatapnya sepersekian detik , kemudian Arta mengulum senyum nya. Ia sadar bahwa ia baru saja terpesona dengan Areta. Arta tersenyum karena mengangumi wajah cantik Thalia. Arta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Apa – apaan dia, kenapa bisa kagum dengan wajah cantik Thalia padahal kemarin, ia baru saja meminta Areta untuk menunggunya.
“Jangan sampai jatuh cinta sama Thalia, Areta nungguin lu” Ucap Arta dalam hati kepada dirinya sendiri, tiga puluh menit ia habiskan di jalan untuk menuju ke tempat dimana mereka memesan percetakan.
Mobil dalam keadaan hening, yang sesekali terdengar hanya suara hembusan napas Thalia, dia yang sedari tadi sudah larut kedalam mimpinya, Arta memberhentikan mobilnya di depan gedung percetakan langganan keluarganya. Ia menunggu lima menit, berharap Thalia sadar bahwa mereka sudah sampai. Namun Thalia tak kunjung bangun, Arta jadi bingung sendiri, bagaimana caranya membangunkan Thalia.
“Thal…” Panggil Arta, Thalia tak bergeming sedikitpun
“Thalia… sudah sampai” Ucap Arta, kali ini ia menggerak – gerakan tubuh Thalia tentu saja dengan cara yang sangat pelan.
Thalia tersadar, ia mengerjapkan matanya kemudian menutup mulut dengan tangan karena menguap, Arta yang melihatnya hanya terkekeh pelan. Kemudian mengelus pucuk kepala Thalia gemas.
Thalia diam, menenangkan jantung nya yang tiba – tiba berdetak tidak karuan. Thalia menghela napas, kemudian menatap Arta sambil tersenyum.
“Yuk” Ucap Thalia, ia melangkah duluan, keluar dari mobil. Arta mengikutinya dari belakang. Mereka jalan berdua masuk ke dalam ruang tunggu gedung percetakan, bertemu dengan orang yang mengurus undangan mereka.
*****
“Makan yuk Thal” Ajak Arta kepada Thalia yang berjalan duluan, menuju mobil dengan satu sampel undangan yang resmi mereka pilih untuk undangan pernikahan mereka. Thalia berhenti, berbalik menatap Arta dengan kedua alis yang terangkat.
“Makan apa?” Tanya Thalia
“Makan… ada, sate deket sini. Langganan aku” Jawab Arta yang sekarang sudah berdiri, sejajar dengan Thalia. Langganan sate nya bersama Areta. Tiap kali mereka lewat atau main ke daerah sana pasti mereka akan singgah ke Sate Cak Noer . langganan Arta dan Areta dari awal mereka PDKT hingga, minggu kemarin, mereka masih makan di sana.
Di mobil Thalia tak henti – henti nya memandang undangan pernikahannya bersama Arta. Mencari kekurangan dari undangan terebut agar sesegera mungkin bisa ia revisi, namun untungnya semuanya sudah sempurna sesuai keinginan sepasang calon pengantin tersebut.
“Yuk, udah sampai” Ucap Arta, Thalia mendongkak menatap sekelilingnya. Ia terlalu sibuk dengan undangan mereka hingga tidak sadar, Arta membawanya kemana.
“Yuk” Balas Thalia. Ia turun dari mobil, mengekor di belakang Arta yang sedang mencari meja kosong.
“Mas Arta, udah di tungguin sama mbak Areta di dalam” Ucap salah seorang pramusaji di tempat itu, Arta mengerutkan keningnya tak percaya, selama beberapa detik ia bahkan sempat bertatapan dengan Thalia.
“Kamu Janjian sama mantan kamu terus ngajakin aku?”