Bab 11. Bekal Makan Siang

1352 Kata
Pagi itu Senja sedang memasak sarapan untuk suaminya. Kembali ke rutinitas menjadi istri yang baik untuk Davian sebelum ia berangkat ke rumah sakit nanti. Oh ya, ngomong-ngomong tentang suami. Sikap Davian sudah lebih baik sekarang ini meski terkadang masih sering melontarkan kata-kata pedas yang membuat Senja sakit hati. Pria itu masih dingin, tapi Senja merasa Davian sudah lebih hangat dari biasanya. "Davian?" panggil Senja tatkala melihat suaminya turun dari lantai atas. Senja memandang tak jemu pada pria itu, yap! Selalu tampan dan sempurna seperti biasa. Siapapun yang melihatnya tidak akan mengatakan kalau suaminya itu tidak tampan. "Aku buru-buru," sahut Davian singkat, pria Itu begitu sibuk dengan ponselnya. "Nggak sarapan dulu?" tanya Senja cukup menyayangkan jika suaminya tidak makan di rumah. "Aku tidak punya waktu," sergah Davian tidak menghiraukan sama sekali. Pria itu tetap berjalan dengan cepat karena hari ini ada meeting dengan klien pentingnya. "Davian tunggu!" teriak Senja namun tetap tak digubris oleh pria itu. "Dia selalu lupa dengan sarapan, bagaimana kalau dia sakit? Aku akan membawakannya bekal saja," ucap Senja bergegas mengambil kotak makanan dan menata makanan untuk Davian disana. Ia tidak mau jika nantinya Davian malah sakit karena selalu lupa sarapan pagi. Setelah semuanya siap, Senja segera membawanya pergi dengan berlari menyusul Davian. Pria itu nyatanya sudah naik ke dalam mobil membuat ia mempercepat langkahnya. "Davian, tunggu Davian!" Davian yang tadinya sibuk menelepon teralihkan tatkala mendengar suara Senja. Pria itu awalnya tidak peduli tapi Senja justru menghentikan mobilnya dengan berdiri didepan sana. "Apa-apaan kamu ini? Kamu ingin mati!" hardik Davian dengan penuh emosi. "Maaf, aku ingin memberikan ini padamu. Bawa ke kantor, nanti kamu bisa memakannya," kata Senja dengan napas yang tersengal-sengal. "Tidak penting! Menyingkirlah!" Davian menatap kotak makanan itu dengan kesal, ia benar-benar tak punya waktu untuk meladeni wanita didepannya ini. "Davian, Davian!" Senja masih kekeh, ia menahan saat Davian ingin menutup kaca mobilnya kembali. "Aku tahu kamu tidak menyukaiku, tapi bawalah makanan ini. Aku memasaknya dengan uangmu, jadi daripada uangmu terbuang sia-sia, lebih baik bawa ya. Jika tidak demi aku, lakukan demi uangmu," ucap Senja mencari akal agar Davian mau membawa makanan itu. Davian mengertakkan giginya, wanita ini kenapa bisa seperti ini? "Kamu memang wanita licik, kamu pikir bisa membodohiku?" sergah Davian tidak ingin menanggapi Senja, ia melajukan mobilnya perlahan namun Senja ternyata masih belum menyerah. "Senja!" bentak Davian. "Kalau kamu menolak kamu berarti mencintaiku," kata Senja dengan cepat. "Kau-" "Ingat jika menolak kamu mencintaiku," tukas Senja dengan wajah penuh harap. Davian mendengus kesal, ia melirik kotak bekal di tangan Senja lalu merampasnya dengan kasar. "Menyingkirlah sekarang!" serunya dengan nada yang dongkol. Senja tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum, wanita itu bergegas mundur dan memberikan jalan untuk suaminya. Davian sendiri segera melajukan mobilnya karena hari sudah siang. "Terima kasih banyak, hati-hati di jalan, ya. Semoga harimu menyenangkan dan jangan lupa habiskan makanannya!" teriak Senja yang penuh semangat. Davian melirik Senja dari balik spion mobilnya, ia melihat wanita itu tampak sangat bahagia sekali. Apakah memang sesederhana itu membuat dia bahagia? "Wanita bodoh, jangan harap aku akan mengikuti permainannya. Lihat saja, aku tidak akan memakan makanan ini," ucap Davian seraya melirik kotak bekal yang dibawakan Senja padanya. *** Menjadi perawat di sebuah rumah sakit umum membuat Senja lebih sibuk dari biasanya. Apalagi rumah sakit itu juga termasuk rumah sakit terbesar di kota Jakarta, jadi banyak sekali warga yang harus ditangani. "Sepertinya akan ada pergantian kepala rumah sakit," ujar Mila, salah satu teman perawat Senja. "Siapa?" Senja menanggapinya. "Pastinya masih keluarga Pak Siswoyo, kamu 'kan tahu rumah sakit ini sahamnya sebagian besar milik keluarga beliau," ucap Mila. Senja mengangguk mengerti, pastinya tidak ada hal yang khusus atau baru jika ada pergantian kepala rumah sakit, mengingat orang yang akan menggantikannya pasti dari keluarga kepala rumah sakit yang sebelumnya. Entah itu saudara, anak atau keluarga yang lainnya. . "Muka kamu pucat banget, sakit?" tanya Mila yang sejak tadi memperhatikan raut wajah temannya. "Benarkah? Aku sepertinya kelelahan," kata Senja memegang pipinya sendiri yang cukup dingin. Belakangan ini istirahatnya memang kurang karena ia harus bangun lebih pagi dari biasanya dan tidur lebih lambat. Tentu saja alasannya karena Davian selalu mengajaknya bermain kuda-kudaan setiap malam sehingga ia kurang tidur. "Katanya kamu udah nikah? Suami kamu orang kaya, kenapa masih bekerja?" tanya Mila penasaran. "Aku bekerja karena hobiku, Mila. Sudah jangan banyak bertanya, lebih sedikit yang kamu tahu akan semakin tenang hidupmu, ayo kita bekerja," ujar Senja mengulas senyum tipisnya, tak ingin membicarakan tentang rumah tangganya kepada orang yang menurutnya cukup asing. . Senja segera keluar dari ruang ganti setelah semua siap. Ia berniat untuk mengecek pasien-pasien yang masih dirawat disana. Namun, saat ia melangkah, kakinya tiba-tiba terasa nyeri bersamaan dengan kepalanya yang sakit. Ia berhenti sejenak dan memejamkan matanya. "Pusing sekali," lirihnya seraya memegangi kepalanya yang cukup nyut-nyutan. Senja berusaha untuk mengabaikan rasa sakit itu, ia kembali melangkahkan kakinya. Akan tetapi baru beberapa langkah kakinya langsung lemas dan pandangannya sangat gelap. Tubuhnya begitu lemas sehingga ia tidak mampu menahannya lagi dan terjatuh begitu saja. Senja pikir ia akan langsung menghantam lantai, tapi ternyata ada seseorang yang tiba-tiba datang dan meraih pinggangnya. "Senja, ada apa denganmu?" Senja membuka matanya yang berkunang, sekilas ia melihat wajah Arsen meskipun tidak begitu jelas. "Kak Arsen?" "Darah? Senja, apa kamu baik-baik saja?" Sepersekian detik Senja masih mendengar suara Arsen yang begitu panik, tapi matanya tidak sanggup lagi untuk terbuka dan tubuhnya langsung lunglai begitu saja, ia tidak mengingat apapun lagi. *** "Tuan, Anda benar-benar hebat. Klien itu akhirnya akan berinvestasi besar di perusahaan kita." Davian tersenyum kecil mendengar pujian dari Roy, asistennya di kantor. Keduanya baru kembali dari meeting dan Davian berhasil meyakinkan kliennya untuk berinvestasi di perusahaan mereka. Tentu hal itu sangat membanggakan. "Ya, hari ini katakan pada semua karyawan, mereka bisa pulang lebih cepat dari biasanya," titah Davian benar-benar sangat baik mood-nya. "Tuan Anda serius?" Roy asisten Davian sampai melotot tak percaya. "Jangan membuat aku berubah pikiran, Roy. Pergilah dan ajak kekasihmu itu makan siang," tukas Davian melirik kesal pada asistennya. "Hahaha, Anda bercanda, Tuan. Saya tidak punya kekasih, justru Anda yang harus merayakannya dengan makan siang bersama istri, Anda. Atau mungkin Anda ingin memakan bekal Anda sekarang?" ujar Roy menunjukkan kotak bekal yang dibawakan Senja tadi kepada Davian. "Hei, kenapa kamu membawa kotak itu? Siapa yang menyuruhmu?" Davian melotot marah, terkejut juga kenapa kotak bekal itu ada ditangan asistennya? "Kotak ini ada di mobil, Anda. Saya pikir semua yang ada di mobil Anda itu penting, jadi saya membawanya kesini," jelas Roy dengan polosnya. "Bodoh kau, Roy! Cepat singkirkan kotak makanan itu, aku tidak suka melihatnya," sembur Davian. "Disingkirkan, Tuan? Bukannya Anda akan memakannya?" tanya Roy. "Kamu mengerti maksudku bukan? Cepat singkirkan kotak itu!" seru Davian kian meradang. "Baiklah, baiklah, saya akan menyingkirkannya. Anda benar-benar tidak mau memakannya, Tuan?" tanya Roy sekali lagi. "Pergi atau kubunuh kau!" sergah Davian mulai tak sabar. "Ya, ya, Tuan. Saya akan membawanya pergi, jika memang Anda tidak mau memakannya, biarkan saya saja yang makan, Tuan. Sayang sekali, istri Anda pasti sudah capek memasak ini, saya bawa ya, Tuan?" ucap Roy mengulas senyum tipisnya, merasa mendapatkan Jackpot karena bisa berhemat makan siang itu. Davian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja hatinya tidak rela melihat kotak bekal itu dibawa Roy. Apalagi ia mendengar pria itu akan memakan masakan Senja. Memangnya siapa dia? "Kembalikan Roy," ujar Davian sebelum asistennya itu keluar ruangan. "Ya, Tuan?" Roy menatap bosnya dengan bingung. Davian berdehem pelan seraya membenarkan dasinya. "Letakan kotak jelek itu di mejaku, jangan menyentuhnya ataupun berusaha memakannya," kata Davian. "Anda ingin memakan bekal ini?" tanya Roy jelas cari mati. "Jangan banyak bertanya, Roy. Letakan bekal makanan yang dibawakan istriku dimeja sekarang," sergah Davian dengan penuh emosi, lirikan matanya sangat tajam seolah bisa membelah tubuh Roy. "Baik, Tuan." Roy segera berlari meletakkan kotak bekal itu di meja kerja Davian daripada nyawanya harus melayang sia-sia. Davian ini tidak suka mengancam apalagi berbasa-basi, bisa jadi ucapannya itu bisa benar-benar dilakukan. "Enak saja mau memakan bekal yang dibuat istriku," ucap Davian mendengus kesal, ia melihat kotak bekal itu lalu mengambilnya. Ia melihat isi kotak bekal yang dibawakan Senja dengan tatapan yang sulit diartikan. "Eh? Apa tadi aku bilang?" Sesaat kemudian Davian terkejut menyadari jika ia baru saja menyebut Senja sebagai istrinya. "Si*lan!" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN