Senja mengajak Davian ke tenda buatan yang telah ibunya buat sebelumnya bersama tukang becak yang mengantar makanan. Disana banyak sekali pedagang makanan yang lain, mereka saling menjajakan makanannya untuk para peserta jalan sehat yang sudah banyak berdatangan.
"Kalian jualan disini?" tanya Davian melihat sekelilingnya yang terlihat sesak.
"Iya, kamu duduk saja. Aku mau bantu ibu," sahut Senja mengiyakan saja.
Senja dengan cekatan membantu ibunya menata makanan dagangan mereka. Ternyata ibunya sudah punya banyak langganan, jadi melihat ibunya ada disana beberapa orang sudah mengantri didepan tenda dan memesan makanan.
"Bu Dina jualan disini toh, wah enak ini bisa sarapan nasi gudek kesayangan," ucap salah satu orang ibu-ibu sosialita dengan penampilan yang cukup modis.
"Senja udah lama nggak kelihatan, masih bekerja di rumah sakit itu ya?" tanyanya lagi.
"Iya masih, ibu pesan berapa?" Senja menanggapinya sekedarnya karena pengunjung semakin ramai.
"Bungkus aja 20, sebentar lagi acaranya mau dimulai," sahutnya. "Terus itu siapa?" tunjuk Bu Lurah pada sosok Davian yang berdiri diam di belakang Senja.
Senja menoleh hingga terkejut saat melihat Davian berdiri tepat di belakangnya.
"Kenapa disini?" tanya Senja.
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" Davian menanggapinya dengan cuek.
"Duduklah, kamu bisa lelah nanti," tukas Senja kembali sibuk dengan makanannya.
"Kalau aku tidak mau?" Davian justru terlihat menantang membuat Senja meliriknya kembali, wanita itu menghela napas panjang.
"Terserah kamu saja," sergah Senja tidak ingin menambah beban pikirannya.
"Senja, ditanya kok nggak dijawab sih? Ini siapa? Keluarga jauh kamu? Kenapa saya tidak pernah lihat? Saya Bu Lurah disini, Mas." Bu Lurah tadi ternyata masih kepo dengan keberadaan sosok Davian.
Senja hanya tersenyum simpul, bingung harus menjawab bagaimana.
"Saya suaminya Senja," jawab Davian tanpa tendeng aling-aling membuat semua orang terkejut, termasuk Senja sendiri.
"Apa dia bilang? Dia menyebut suamiku? Dia mengakuinya? Ya Tuhan, benarkah Davian mengatakannya?" batin Senja menjerit mendengar pengakuan Davian.
"Loh, Senja sudah menikah toh Bu Dina?" Bu Lurah itu kembali bertanya kepada Ibu Senja.
"Tentu saja sudah, aku kan sudah bilang suaminya. Gimana sih," cetus Davian dengan nada kesal.
Senja kembali dibuat kaget, ia langsung menarik tangan Davian. "Kenapa bersikap seperti itu?" tegurnya dengan suara pelan.
"Dia sepertinya meremehkanku, aku memang suamimu 'kan?" sahut Davian merasa kesal karena ucapannya seolah tidak percaya.
"Bukan meragukan, Mas. Senja ini jarang kelihatan, tahu-tahu sudah menikah aja, ya kita kaget," celetuk Bu Lurah.
"Karena tidak semua hal yang ada di dunia ini perlu Anda ketahui," sergah Davian masih saja ilfiel.
"Maaf Bu, suami saya memang agak sensitif orangnya. Ini pesanannya sudah siap," ujar Senja buru-buru mengakhiri debat itu belum semuanya memanas.
"Berapa semuanya?" tanya Bu Lurah dengan nada dongkol, mereka Davian itu terlalu arogan dan tak punya sopan santun.
"Semuanya jadi 300rb, Bu."
Senja hanya menghela napas panjang setelah kepergian rombongan para ibu-ibu sosialita itu. Ia melirik Davian yang memasang tampang biasa saja, datar dan dingin.
"Apa? Aku mengatakan yang sebenarnya 'kan?" Davian mengangkat alisnya.
"Ya, kalau kamu memang selalu benar, Tuan Muda." Senja menjawab dengan malas, baru tahu jika Davian punya sifat yang menyebalkan sekali.
Davian hanya diam saja, ia tidak merasa bersalah sama sekali. Lagipula ia benci dengan orang yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain seperti Bu Lurah itu.
Beberapa saat kemudian warung makan Ibunya Senja didatangi banyak sekali pelanggan yang membuat Dina dan Senja cukup kewalahan. Ada yang meminta makan disana, ada juga yang minta dibungkus.
"Tadi gimana? 8 Pakai Ayam sama 5 enggak pakai Ayam, ya? Semuanya dibungkus 'kan?" Senja dengan cekatan membungkus pesanan para pelanggan, ia dulunya juga sering membantu Ibunya saat libur bekerja, tadi dia sudah terbiasa.
Acara pagi itu sangat meriah, apalagi menjelang siang. Panas dan gerah tidak menyurutkan pada peserta yang berdatangan. Davian yang awalnya hanya diam saja sedikit terganggu saat melihat Senja yang sampai berkeringat melayani pelanggan. Ia mendekati wanita itu dan mengambil sebuah kardus bekas kali mengipasinya.
"Davian?" Senja tentu sangat terkejut, ia sampai tidak fokus dengan makanannya.
"Panas banget ya? Kamu sampai berkeringat seperti ini," kata Davian secara reflek mengusap keringat Senja yang membasahi dahi wanita itu.
"Aku-"
"Lanjutkan saja pekerjaanmu, aku akan membantumu agar tidak kepanasan," tukas Davian begitu datar namun membuat Senja terdiam dan tidak bisa bergerak.
Pemandangan itu nyatanya menyita para pembeli, tak jarang ada yang berseloroh dan memotret kejadian yang menurut mereka sangat romantis itu. Siapa sih yang tidak baper melihat pria tampan yang begitu perhatian dengan wanita secantik Senja?
Sedangkan Senja justru semakin kepanasan, rasanya ia ingin pingsan mendapatkan perlakukan manis yang membuat jantungnya ingin meledak.
"Tuhan, jika ini memang mimpi, biarkan aku tertidur selamanya dalam mimpi ini," batin Senja rasanya ingin menjerit saat itu juga.
"Ini semua jadi berapa, Kak?" tanya seorang pelanggan yang ingin membayar.
"Tadi nasi gudeg dua sama telur dadar satu, sama Ayam ya? Nasinya 15rb, tambah telur 3rb sama ayam 7rb totalnya ... " Senja buru-buru mengambil ponselnya, terlalu senang dalam euforia perhatian Davian malah membuat Senja tidak fokus.
"15 tambah 15, tambah 3, tambah 7 ...."
"40 ribu," bisik Davian tepat ditelinga Senja yang terlihat kebingungan menghitung.
"40 ribu, benar!" seru Senja dengan wajah berbinar, ia seketika menoleh hingga berhadapan langsung dengan wajah tampan Davian.
Davian tersenyum tipis, tidak tahu apa alasannya, tapi ia merasa sangat bahagia sekali melihat Senja bisa tersenyum selepas itu. Tangannya bahkan terulur untuk merapikan rambut Senja yang menutupi dahi.
"Cantik banget istri aku," ucap Davian secara spontan.
Senja terpana, ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Jelas, ia mendengar jelas semuanya. Davian memujinya cantik?
"Senja, itu ada pembeli!"
Namun, pandangan penuh cinta itu harus buyar tatkala suara Dina memanggil Senja. Keduanya langsung mengalihkan pandangan kearah lain dan menormalkan detak jantung masing-masing. Terasa sangat aneh, tapi nyatanya ada hati yang telah bersemi.
***
Pukul 10 pagi dagangan Ibu Senja telah habis semuanya. Mereka sudah berkemas dan bersiap untuk pulang. Sejak tadi Davian juga membantu meskipun tidak terlalu membantu, mengerti maksudnya 'kan?
"Capek?" tanya Davian mendekati Senja yang duduk dibawah pohon yang rindang.
"Enggak, kerja ginian doang. Kamu kali capek, Tuan muda 'kan biasanya kerja ditempat ber AC," celetuk Senja.
"Ya, untuk itulah aku bekerja keras agar tidak kepanasan seperti ini," sahut Davian kembali ke mode awal, arogan.
"Jika boleh memilih, semua orang pasti tidak ingin dilahirkan menjadi orang miskin, Davian."
"Aku memang tidak berkata seperti itu, ini hanya sebuah kehidupan yang realistis. Kamu tidak bekerja, kamu tidak makan. Kamu kaya kamu dihargai, so simple," kata Davian lagi.
"Hah, tapi bagiku hidup bukan sekedar mencari sesuatu yang bisa kita banggakan. Tapi juga mencari ketenangan dalam hati, untuk apa punya segalanya jika hati kita tidak tenang? Toh harta tidak dibawa mati," ucap Senja.
Davian terkekeh-kekeh kecil. "Harta tidak dibawa mati? Tapi jika kamu mati, tetap butuh harta untuk mengurus segalanya," ucap Davian.
Senja tersenyum tipis mendengar hal itu, ia kemudian menyandarkan kepalanya diatas lutut lalu menatap Davian yang duduk di sampingnya.
"Jika memang aku harus mati, aku tidak butuh untuk dikuburkan dengan layak, aku sudah merasa tenang karena setidaknya aku sudah punya kesempatan satu kali untuk hidup bersamamu, Davi."
Davian mengerutkan dahinya, ia langsung menoleh saat mendengar perkataan Senja. Terdengar pelan tapi kenapa membuat ia merasa tidak nyaman seperti itu?
"Kita ini bicara apa? Sudahlah, kepalamu pasti sedang tidak baik-baik saja karena kepanasan. Ayo pulang, jangan membuatku repot," kata Davian buru-buru bangkit dari duduknya.
Senja masih tersenyum manis, wanita itu segera bangkit lalu meraih tangan Davian dan menggenggamnya.
"Kamu benar, untuk apa berbicara hal yang tidak penting. Hari ini mataharinya sangat cerah, mau mengajakku jalan-jalan Tuan muda?" goda Senja.
"Mengajakmu jalan-jalan? Tidak, aku tidak punya tenaga untuk itu," tukas Davian dengan sikap cool-nya.
"Baiklah kalau kamu tidak mau, aku yang akan mengajakmu jalan-jalan. Welcome to adventure with Senja, Tuan muda Davian!" Senja berseru riang dan tiba-tiba saja menarik tangan Davian lalu mengajaknya berlari.
"Senja!" Davian juga berteriak kaget, tapi ia mengikuti saja apa yang Senja lakukan itu.
"Hahaha, kamu tidak bisa menolak. Kalau menolak, artinya kamu mencintaiku," teriak Senja dengan tawa manis.
"Hei, peraturan darimana itu?" protes Davian.
"Ingat ya, menolak itu tanda cinta," ucap Senja terus saja menggoda.
"Arghhh menyebalkan! Awas saja kau!" Davian yang merasa tidak terima berlari dengan cepat lalu mengejar Senja.
"Eh, eh, Davian arghhhhhhhh!" Senja mencoba menghindar namun ia kalah cepat karena Davian sudah meraih pinggangnya lalu menggendong dan memutar tubuhnya dengan semangat.
"Davian lepaskan aku!" Senja berteriak kecil dan meronta.
"Tidak akan pernah, bilang ampun tidak?" Davian tidak menghiraukannya, ia terus memutar tubuh Senja membuat wanita itu berteriak-teriak dan tertawa. Davian pun entah kenapa ikut tertular akan tawa manis itu, benar-benar hal yang sangat manis dan sangat berkesan.
Bersambung.