Ryoichi melajukan mobilnya keluar dari area parkir rumah sakit Health and Health, jam kerjanya sudaj selesai bahkan ia pulang lebih lambat dari biasanya karena banyak pasien di IGD tadi.
Jam menunjukkan pukul 7 malam, ini adalah hari terakhir mama Auryn, papa Tian dan Michella ada di Jakarta besok mereka sudah harus kembali ke Malang. Sebenarnya Ryoichi ingin selalu bersama keluarganya, mama, papa dan adiknya tapi apa mau dikata mereka terpisah jarak dan hanya bisa menelpon atau video call saja.
Tapi semua itu tidak bisa dilakukan Ryoichi setiap hari karena kesibukannya, hanya saat weekend atau saat ia merindukan keluarganya itu. Ryoichi melihat seseorang berjalan di trotoar seorang diri, ia seperti mengenal gadis itu.
Ia menginjak rem segera saat ingat siapa gadis itu, itu gadis yang sama, yang ia rawat dengan percobaan bunuh diri. Gadis itu berjalan tanpa arah di trotoar malam malam seperti ini, apakah ia ingin melakukan bunuh diri lagi, batin Ryoichi khawatir.
Ryoichi segera menepikan mobilnya, mematikan mesin mobil dan turun mengejar gadis yang ia kenal.
"Nona Freyza....tunggu..."
Freyza yang berjalan di trotoar mendengar namanya dipanggil menghentikan langkahnya, dengan nekat ia keluar dari rumah dan berjalan tak tentu arah. Entah apa yang ia pikirkan hingga tiba tiba pergi dari rumahnya, walau rumahnya dijaga oleh security tapi entah bagaimana Freyza bisa keluar dengan mudah.
Freyza berbalik dan menatap Ryoichi yang berjalan ke arahnya, ia mengingat ingat pernah bertemu Ryoichi di satu tempat.
"Dokter...."
"Rupanya kamu masih mengingat saya, kenapa kamu berjalan sendirian malam malam begini bahaya. Seharusnya kamu istirahat di rumah, kamu kan sedang sakit." Ryoichi melirik kedua lemgan Freyza yang belum dilepas perbannya.
Freyza menunduk, melihat perban di lengannya, ia juga tidak mengerti kenapa ia berani keluar rumah. Ia ingin seperti dulu, menjadi gadis normal. Freyza yakin jika ia pulang pasti tantenya akan marah besar dan akan mengintimidasi dirinya.
"Biar saya antar pulang," tawar Ryoichi, Freyza masih diam di tempatnya. Jika ia tak pulang akan kemana dirinya pergi, ia tak punya tempat tinggal lain atau juga uang. Semua aset sudah dikuasai tante Ranti dan ia tak berhak pada satupun harta papanya apalagi keadaannya yang sedang tidak baik baik saja.
Ryoichi menarik tangan Freyza menuju mobilnya, sesaat Freyza tersentak saat tangan Ryoichi memegang tangannya, ada desir aneh yang ia rasakan tapi ia tak tahu apakah itu.
Ryoichi membukakan pintu mobil untuk Freyza, dengan ragu Freyza masuk dan duduk di jok penumpang sebelah jok pengemudi. Entah kenapa ia tidak merasakan ketakutan saat bersama Ryoichi, ia malah merasakan ketenangan tersendiri. Tapi kekhawatiran mulai menyusup dihatinya saat memikirkan akan pulang dan bertemu Tante Ranti.
"Rumahnya di daerah mana?"
"Pondok Indah," jawab Freyza perlahan.
Ryoichi mengangguk mengerti, Ryoichi melajukan mobilnya mengikuti petunjuk Freyza dan berhenti di sebuah rumah yang mewah dengan pagar tinggi. Freyza tidak segera turun tapi diam di tempatnya, Ryoichi melihat keraguan di wajah Freyza. Gadis disampingnya tidak seperti gadis yang memiliki gangguan mental seperti apa yang dikatakan tantenya waktu itu, tapi seperti gadis biasa tapi kenapa saat sampai di rumahnya malah ada rasa kekhawatiran dan ketakutan di wajahnya.
"Saya antar ke dalam?" Tawar Ryoichi tapi mendapatkan jawaban gelengan kepala dari Freyza.
"Terimakasih, tidak perlu. Terimakasih juga sudah mengantarkan saya pulang." Freyza menghela nafas dan membuka pintu mobil Ryoichi dan keluat dari mobil, ia kemudian masuk lewat pintu kecil di dekat pos security.
Ryoichi menunggu Freyza masuk, baru ia melajukan mobilnya pergi. Sedangkan Freyza berjalan perlahan melintasi halaman rumahnya yang luas yang dipenuhi mobil mobil milik keluarganya yang kini dipakai oleh Tante Ranti, suami dan anaknya.
Freyza masuk dan melintasi ruang tamu dan akan naik ke kamarnya.
"Frey..!! Tungga!!" Suara Tante Ranti menggelegar dari ruang keluarga, nyali Freyza sudah ciut hanya mendengar suara tantenya itu, Freyza menghentikan langkahnya, wajahnya sudah menunjukkan ketakutan akan kemurkaan Tante Ranti.
"Dari mana saja kamu hah?! Mau pergi dari rumah ini? Silahkan tapi kamu tidak ada hak apapun pada perusahaan dan semua harta mas Frederick."
"Sa... Saya hanya cari udara segar tante," jawab Freyza terbata.
"Kenapa tidak bilang bi Yayah atau art lainnya, kamu mau jadi pembangkang sekarang. Ingat ya, kamu yang menyebabkan mas Frederick dan mbak Atika meninggal dunia jadi kamu tidak berhak atas apapun disini."
Freyza ingin menjawab jika ucapan tantenya tidak benar, tapi ia tidak punya nyali karena wajah tante Ranti yang sudah sangat menakutkan baginya.
"Bi Yayah... Bawa nona kamu ke kamarnya, semua terserah padanya, pergi dari rumah atau tetap disini tanpa memiliki hak apa apa disini."
"Baik nyonya..." Bi Yayah mendekati Freyza dan membawanya naik ke kamar, Freyza menurut. Bi Yayah membuka pintu kamar Freyza dan membawanya masuk. Bi Yayah meminta Freyza mandi dan ia menyiapkan makanan untuk Freyza, entaj bagaimana nonanya itu bisa keluar rumah tanpa security tahu.
~~~
~~~
"Non Freyza kemana saja tadi?" Tanya bi Yayah saat Freyza mulai makan malam. Freyza memang selalu makan malam di kamar sejak kedua orangtuanya meninggal dan rumah dikuasai tante Ranti, Freyza hanya diam mendengar pertanyaan bi Yayah.
"Non..."
"Freyza mau menghirup udara luar bi, bosan di kamar terus dikurung terus," jawab Freyza pelan.
"Kenapa nona tidak melawan nyonya Ranti?"
"Freyza bisa apa bi? Semua sudah diambil alih Tante Ranti dan Freyza tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin nasib Freyza akan selamanya seperti ini, jadi tawanan tante Ranti selamanya." Freyza meletakkan piring di meja, ia hanya memakan setengah piring saja.
Ia memikirkan saran bu Yayah tapi bagaimana ia bisa melawan kekuasaan Tante Ranti, bicara dengannya saja Freyza sudah sangat terintimidasi apalagi melawan, ia takkan sanggup.
"Ya sudah, non istirahat saja." Bi Yayah kemudian keluar membawa nampan makan Freyza sedangkan Freyza berdiri dan menuju ranjang, ia duduk di ujung ranjang dan bersandar di kepala ranjang.
~~~
~~~
Ryoichi berjalan cepat masuk dalam rumah dokter Nagata, dan ternyata kakeknya, mama dan papanya sudaj selesai makan malam dan sedang bersantai di ruang keluarga.
"Kenapa pulangnya sangat terlambat sayang?" Tanya mama Auryn.
"Maaf ma tadi ada urusan yang penting. Mama dan papa jadi pulang besok?" Tanya Ryoichi berjalan mendekati mama Auryn dan duduk disampingnya.
"Iya sayang, kan sudah seminggu disini."
"Papa berharap kamu dan Tian bisa tinggal disini Auryn, bersama Oichi juga Michella," ucap dokter Nagata sendu. Terdengar nada kesedihan disana.
Mama Auryn dan papa Tian saling pandang, sebenarnya tidak tega pada dokter Nagata tapi mereka punya kewajiban di Malang, mama Auryn tidak bisa meninggalkan kliniknya terlalu lama.
"Papa jangan bicara seperti itu dong, Auryn jadi berat meninggalkan papa dan Oichi."
"Kalau berat makanya kalian tinggallah disini," pinta dokter Nagata penuh harap.
"Kalau Chella tinggal disini boleh kek?" Tanya Michella.
"Tentu sayang, rumah ini akan ramai dengan celotehan kamu."
"Memangnya Chella mau tinggal di rumah kakek Nagata sama kak Oichi? Skripsinya bagaimana?" Tanya papa Tian.
"Bukan sekarang pa, tapi nanti setelah wisuda, Chella mau bekerja dan berkarir di Jakarta, boleh kan ma, pa?" Tanya Michella penuh harap.
"Tentu boleh sayang, kamu kejar cita cita kamu nak," jawab papa Tian bijak.
Lynagabrielangga.