Part 5-a

1130 Kata
Freyza masuk dalam ruang rawat VVIP dimana Rania dirawat, ia melihat Rania sedang duduk di ujung brankar. Freyza mendekat dan duduk di kursi yang ada disamping brankar. "Bagaimana keadaan kamu Ran? sudah tidak sesak lagi?" Tanya Freyza dengan wajah khawatir. "Aku sudah baik baik saja Frey, jangan khawatir." "Kamu tuh ya, sudah tahu alergi makanan tidak hati hati memilih makanan untuk makan siang." Rania hanya tertawa kecil melihat kekhawatiran saudara sepupunya itu, walau rumah dan perusahaan Freyza sudah dikuasai oleh papa dan mamanya tapi sikap Freyza masih sama seperti dulu, perhatian dan baik hati. Walau memang tidak hanya padanya saja, Freyza juga bersikap baik pada semua orang bahkan yang sudah jahat pada dirinya. "Aku sudah menghubungi Tante Ranti dan om Alex, mungkin sebentar lagi mereka akan datang," ucap Freyza. Tiba-tiba pintu ruang rawat terbuka dan menampakkan sosok Tante Ranti masuk dengan wajah murka. "Apa yang kamu lakukan pada anakku? kamu sengaja kan membuat alerginya kambuh dengan memberikan makanan dengan kandungan kacang," murka tante Ranti menatap tajam pada Freyza, Freyza merasakan tubuhnya gemetar, kemurkaan tante Ranti kembali ia rasakan dan membuat pikirannya kembali ke masa dimana ia ditindas oleh Tante Ranti dan membuatnya tertekan lahir batin. "Maaa.... apa apaan mama datang datang memarahi Freyza, dia tidak salah ma, Rania yang memesan sendiri makanan yang Rania makan, bukan Freyza." "Kamu jangan membelanya Ran, dia sudah berniat melakukan itu, mencelakai kamu. Dia tidak rela kamu menjabat sebagai kepala divisi keuangan sedangkan dia hanya staf HRD saja." "Kenapa sih mama bersikap seperti ini pada Freyza? semua kesalahan mama timpakan padanya walaupun itu bukan kesalahannya." "Sudah Ran, kamu jangan ikut campur. Lebih baik kamu istirahat dan kamu..." Tante Ranti menatap tajam pada Freyza, "pergi dari sini dan jangan menampakkan batang hidungmu dihadapanku!" bentak tante Ranti. Freyza nampak berkaca kaca, Rania satu satunya yang ia miliki yang mengerti dirinya dan membelanya dari perlakuan kedua orangtuanya, Freyza khawatir dan ingin menjaga Rania tapi sepertinya itu tidak mungkin karena mama Rania tidak memperbolehkannya. Freyza menatap Rania sejenak kemudian berjalan perlahan menuju pintu keluar, Freyza menghentikan langkahnya dan kembali menatap Rania. "Pergiiii...!!" Freyza membuka pintu dan keluar dari ruang rawat, air matanya jatuh menetes di pipinya. "Kamu...??" Freyza menatap pria di depannya yang memakai snelli dan sebuah stetoskop ada di lehernya, ia ingat dokter itu, dokter yang menanganinya saat ia mencoba bunuh diri dan beberapa waktu lalu mengantarkan dirinya pulang, ia melihat name tag di d**a dokter itu tertulis dokter Ryoichi. "Dokter...?" Freyza mencoba menghapus air mata di pipinya, ia tidak ingin terlihat cengeng di depan pria yang ada di hadapannya. "Kamu kenapa?" "Tidak apa-apa dok," jawab Freyza, ia kemudian berjalan ke arah bangku yang ada di lorong rumah sakit dan duduk disana. Matanya kembali berkaca-kaca, ia sangat menyayangi Rania seperti kakaknya sendiri apalagi usia Rania hanya lebih tua setahun darinya tapi kenapa tantenya bersikap seperti ini kepadanya. Ryoichi menatap Freyza bingung, ia diam beberapa saat dan entah apa yang menggerakkan kakinya, bukannya malah pergi tetapi malah mendekati Freyza dan duduk di sampingnya. Padahal jam dinasnya sudah selesai dan ia baru saja visit ke satu pasien VVIP di ujung lorong. Ryoichi merasa ada sesuatu yang berbeda dari gadis disampingnya itu yang menariknya untuk mendekat padahal mereka belum saling kenal, ia mengambil sapu tangan di saku snellinya dan menyodorkan kepada Freyza. Freyza menatap sapu tangan di ditangan Ryoichi, ia menatap sapu tangan itu dan Ryoichi bergantian. Kenapa pria disampingnya itu begitu baik padanya padahal mereka tidak saling mengenal, sudah sangat lama ia tidak pernah diperhatikan seperti itu. Freyza kemudian mengambil sapu tangan berwarna biru tua itu lalu menghapus air matanya, ia lebih tenang saat sudah menangis walau hatinya sangat sakit mendapat perlakuan dari Tante Ranti. Ryoichi melihat pergelangan tangan Freyza sudah tidak diperban lagi, walau wajahnya terlihat sedih kali ini tapi tak Ryoichi lihat gadis dengan wajah penuh tekanan yang ia tangani beberapa Minggu lalu. "Bagaimana kalau saya traktir minum kopi?" Tiba-tiba Ryoichi berucap membuat Freyza terkejut begitu juga Ryoichi, ia bingung kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu pada Freyza. Freyza menoleh pada Ryoichi, hatinya sedang gundah saat ini dan mungkin secangkir kopi bisa membuatnya tenang. "Dokter tidak dinas?" tanya Freyza. "Jam dinas saya baru saja selesai." "Baiklah..." jawab Freyza kemudian. "Baiklah, tunggu saya di lobby, saya akan meletekkan perlengkapan saya di locker." "Baiklah." Ryoichi kemudian berdiri dan menuju lift dan turun, sedangkan Freyza masih duduk di tempatnya. Ia merasa dokter itu tulus baik padanya, tidak ada niat buruk. Ia menatap sapu tangan di genggaman tangannya, ia harus mencuci saputangan itu dan mengembalikannya suatu saat nanti. Freyza kemudian berdiri dan berjalan menuju lift, ia ingin memulai pertemanan dengan banyak orang sekarang, seperti ia yang dulu. Memiliki banyak teman akan membantunya untuk bisa kembali ke kehidupan normalnya, Freyza kemudian turun menuju lobby rumah sakit dan menunggu Ryoichi di lobby. Ia merasa memiliki kedekatan dengan Ryoichi tapi ia tidak tahu kenapa ia merasakan hal itu, walau ia dulu suka menjalin banyak pertemanan untuk memperluas pergaulan bisnisnya tapi perasaan saat bersama Ryoichi sangat berbeda. "Sudah siap?" Tiba-tiba Ryoichi sudah berdiri di hadapan Freyza membuyarkan lamunan gadis itu. "Dokter...?" Freyza berdiri. "Ayo." Ryoichi berjalan mendahului Freyza, Freyza berdiri dan mengikuti langkah Ryoichi menuju mobilnya di area parkir mobil khusus dokter, Ryoichi masuk dalam mobilnya dan menunggu Freyza yang masih berjalan. Freyza menghentikan langkahnya dan diam, mulai berpikir apakah yang ia lakukan benar dengan menerima ajakan orang yang baru ia kenal, ia takut jika orang itu berbuat jahat padanya. Ia waspada, tantenya yang ia kenal dekat yang dulu sangat baik dan menyayanginya, kini berbalik sikap. Bagaimana dengan orang yang baru ia kenal. "Hei... Ayo..." Ryoichi memanggil Freyza yang kembali melamun. Dengan ragu Freyza berjalan mendekati mobil Ryoichi dan masuk ke dalamnya, tapi ia tetap waspada. Ryoichi menjalankan mobilnya keluar dari area parkir rumah sakit, walau ia juga terkejut kenapa dengan berani mengajak gadis mantan pasiennya itu untuk minum kopi tapi itu begitu saja keluar dari mulutnya. Ryoichi membelokkan mobilnya ke sebuah cafe dan memarkirkannya di sudut, dan mengajak Freyza masuk dan duduk di meja yang masih kosong. Mereka kemudian sama sama memesan cappuccino yang membuat mereka sama terkejutnya karena bersamaan memesan kopi yang sama, sesaat mereka saling tatap tapi hanya beberapa detik karena kemudian Freyza mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Nama kamu Freyza kan?" Ryoichi mengawali pembicaraan. "Iya dok." "Panggil saja Ryoichi, saya tidak sedang tidak berdinas," jawab Ryoichi. "Ryoichi?" "Iya.." "Nama itu bernuansa Jepang tapi aku lihat wajah dokter tidak oriental khas Jepang?" tanya Freyza sudah mulai relax berbicara dengan Ryoichi. "Aku sudah bilang jangan panggil profesi saya, saya sedang tidak berdinas saat ini." "I.. iya maaf." "Keluarga papa saya asli Japanese tapi mama saya asli Indonesia, mungkin saya lebih mirip mama saya." Freyza mengangguk angguk mengerti, ia mulai mengusap cappuccino yang sudah terhidang di depannya, dan benar saja, ia merasa tenang. Tidak salah ia menerima ajakan Ryoichi untuk minum kopi dan menenangkan perasaannya. Lynagabrielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN