Hari-hari Nayla di negeri asing berjalan seperti mimpi yang panjang dan melelahkan. Sejak tiba di rumah sakit tempat Arka dirawat, ia hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Pagi hari ia sudah berada di sisi ranjang suaminya, menyiapkan kebutuhan kecil, menyuapkan makanan, bahkan sekadar membasuh wajah Arka ketika ia terlalu lemah untuk bergerak. Malamnya, Nayla tidur di kursi panjang di dekat ranjang, dengan kepala bersandar pada bantal kecil yang sudah mulai kehilangan bentuk. Namun meski tubuhnya lelah, hatinya merasa sedikit tenang. Ia tidak lagi dihantui rasa bersalah karena menunda kepergiannya. Kini, ia bisa benar-benar melihat dan merasakan keberadaan Arka, meski harus berhadapan langsung dengan kenyataan pahit tentang penyakit suaminya. Suatu pagi, ketika dokter datang m

