Pagi itu, Nayla duduk di kursi rumah sakit dengan wajah pucat. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Setiap detik hanya diisi dengan memandang wajah Arka yang terbaring lemah di ranjang. Ada rasa takut yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, rasa takut kehilangan belahan jiwa yang selama ini menjadi pusat hidupnya. Ketika matahari mulai naik, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang dokter masuk bersama perawat, membawa map tebal berisi hasil pemeriksaan terbaru Arka. Senyumnya tipis, seakan berusaha memberi kekuatan, namun sorot matanya penuh kewaspadaan. Nayla langsung berdiri, jantungnya berdegup kencang. “Bu Nayla,” suara dokter terdengar hati-hati, “bisakah kita bicara sebentar di luar?” Tenggorokan Nayla tercekat. Kata-kata itu saja sudah membuatnya panik. Ia menoleh sekilas pada Ar

