Hari-hari Nayla kini benar-benar berubah. Rumah sakit menjadi rumah keduanya, sementara rumah yang sepi hanya sesekali ia kunjungi bersama Kayla. Hidupnya terbagi dua: di satu sisi ia harus mendampingi Arka yang semakin rapuh, di sisi lain Kayla yang masih kecil butuh pelukan dan perhatian ibunya. Pagi itu, Nayla mengantar Kayla ke sekolah dengan mata sembab. Ia berusaha tersenyum, meski hati rasanya remuk. “Sayang, nanti pulang sekolah Mama jemput, ya. Jangan nakal,” katanya sambil merapikan pita rambut Kayla. Kayla menatapnya dengan polos. “Mama abis nangis lagi? Aku lihat mata Mama merah.” Nayla tercekat. Anak sekecil Kayla sudah bisa membaca isi hatinya. Ia membungkuk, memeluk putrinya erat. “Nggak, sayang. Mama cuma capek. Tapi Mama kuat kok, demi Kayla dan Papa.” Kayla mengangguk

