Sea tersentak. Dia sendiri tidak tahu mengapa kata-kata itu bisa lolos dari mulutnya dengan begitu mudah. Seolah-olah, memanggil Kaizen dengan sebutan ‘sayang’ adalah hal yang wajar baginya. Matanya membulat, refleks mendorong tubuh Kaizen dengan pelan agar dia melepaskan pelukannya. Meskipun harus diakui, pelukan itu memberinya rasa nyaman yang sulit dijelaskan. “Maaf... maaf. Aku tidak tahu kenapa aku bilang itu,” ucap Sea dengan suara bergetar. Dia menatap Kaizen dengan mata yang dipenuhi kebingungan dan rasa bersalah, seolah mencari jawaban atas apa yang baru saja terjadi. Kaizen bisa membaca semua ekspresi di wajah Sea—takut, bingung, kaget—semuanya bercampur dan membuat tangannya sendiri ikut bergetar. Sorot mata Kaizen tetap teduh, meskipun di balik keteduhan itu, hatinya berg