Luna membuka mata dan mendapati Arvin berpenampilan sangat rapi di depan cermin. Sontak dia beranjak untuk mendekati suaminya itu. "Apa-apaan ini, Kak? Beneran mau kerja?" Luna tampak marah. Padahal kemarin Arvin menerima tanpa penolakan saat dia mengatakan agar dirinya saja yang bekerja dan mereka bisa pulang ke Jepang. "Sayang, dengarkan kakak dulu, ya." Arvin bersikap setenang mungkin, lalu mengajak Luna duduk di tepi kasur. Diusapnya lembut kepala wanita itu, berusaha menyusun kata agar Luna bisa mengatur emosinya. "Sayang, ini aku yang mau. Bukan perkara aku ini kepala rumah tangga atau apa pun, tapi aku harus identitas. Aku ingin punya kebanggaan agar orang-orang nggak memandang rendah aku." Luna masih belum menyahut, berusaha meredakan tensi emosinya sembari menikmati senyum A