Ketika hampir larut, papa Luna tiba di rumah. Mereka duduk santai di ruang tengah. Sesekali, pria separuh baya itu mencium kening cucu pertamanya. Senang sekali wajahnya, apalagi cucunya laki-laki. Sekalipun suasana begitu manis, terasa sekali ada kerenggangan antara Luna dan Arvin. Sebenarnya, ayahnya tahu ada yang tidak beres. Namun, dia lebih memilih tutup mata. “Temanmu waktu itu, Arvin. Siapa namanya?” “Teman? Yang mana, Ayah?” “Itu … wanita yang dulu menolong Luna.” “Yumi. Yumi, kan?” Arvin berwajah ceria, rindu sekali dia dengan sahabatnya itu. “Ada apa, Pa? Papa bertemu dengannya di Jakarta? Atau di Bali?” Luna melirik sinis. 'Arini, Yumi. Sepertinya cuma dua nama itu yang bisa membuatnya tersenyum,' batin Luna. “Bukan cuma bertemu, Papa bahkan menghadiri acara pernikah