Lima

863 Kata
"Nama kamu siapa, Nak?" tanya Budiman pada anak remaja berusia tujuh belas tahun itu. Dia bekerja sebagai pengantar koran ke rumah Budiman, setiap pagi jam tujuh, tak pernah terlambat. Remaja itu menarik perhatian Budiman karena kegigihannya bekerja. "Saya Aldi, Om," sahutnya sambil memasukkan uang ke dalam tasnya yang sudah robek. "Kamu nggak sekolah?" "Saya ngambil jam siang, Om." "Oh," jawab Budiman mengangguk. "Di mana keluarga kamu?" "Udah nggak ada," sahutnya, dia naik kembali ke sepedanya. "Terus tinggal sama siapa?" "Sama majikan." "Kamu mau kerja sama Om, nggak?" Remaja itu tertarik. "Serius, Om?" "Serius, kamu bisa nyetir?" "Bisa," jawabnya semangat. "Bisa kerja besok?" Aldi mengangguk semangat, dia memacu sepedanya sambil berdendang kecil. Sedangkan Budiman masih memandang punggung anak itu. "Kasihan," katanya pelan. *** Sebulan telah berlalu, Aldi sudah jarang pulang ke rumah. Dan seperti biasa, Ranti tak begitu peduli. Setiap hari dia pergi ke rumah Susi untuk belajar berbagai hal, termasuk menggunakan HP android. Saat ini Susi tengah mengajarinya bagaimana cara berpakaian yang benar, memadu padankan warna agar enak dilihat. "Saat berpakaian itu, jangan terlalu banyak warna dalam stelan-mu. Pakai warna yang senada, jangan campurkan baju kuning, rok merah, atau baju hijau, rok ungu, kau malah seperti badut. Nah! Sesekali belajar pakai celana panjang, bisa jadi celana jins atau dengan atasan tunik, daster robekmu dibuang saja." "Sayang, Mbak. Daster robek buat aku nyaman." "Nyaman buat kamu, tapi nggak nyaman buat dilihat. Suamimu ganteng, orang kantoran, kalau kamu nggak rapi, nggak bisa dandan, dia mana betah di rumah." "Iya, ini aja udah sepuluh hari tidak pulang," sahut Ranti cuek, dia asik menyentuh benda pipih yang baru diperkenalkan oleh Susi. "Apa?" Susi kaget bukan main. "Bagaimana bisa?" "Kata Mas Aldi, nggak usah pedulikan dia, untung saja, Bi Romlah mau menemani di rumah, saat dia tau Mas Aldi jarang pulang." Ranti mencomot kue kering yang telah disediakan Susi. Susi menatapnya iba. "Bagaimana perasaanmu saat Aldi tak pulang?" "Aku lega," sahutnya. "Lega?" "Bisa tidur pulas tiap malam." "Ranti," ucap Susi, dia memegang bahu Ranti agar wanita itu menghadap padanya. "Suami dan istri, adalah paket yang tak boleh dipisahkan, saat suamimu sudah jarang pulang, kau jangan bahagia, ada sesuatu yang tak beres dengan pernikahan kalian." "Mas Aldi pernah ngomong mau cerai denganku." "Terus?" "Aku diam saja." "Kau tak mencintainya?" "Mencintai itu seperti apa?" tanya Ranti bingung. "Rasa senang, atau nyaman." "Biasa saja, aku hanya mengamalkan nasehat almarhum Ayah. Agar baik terhadap semua orang, walaupun mereka selalu mengatakan aku bodoh. Ayah bilang, ucapan buruk akan kembali pada yang mengucapkan, jadi tak perlu dibalas." Susi terharu dengan kalimat terakhir Ranti. *** Ranti menatap pantulan wajahnya di cermin, mencoba mempraktekkan ilmu baru dari Susi. Seperangkat alat make-up telah dibukanya. Dia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik saat Aldi tiba-tiba masuk ke kamarnya. "Mas?" Aldi terdiam sejenak, tak ada lagi poni yang membuat dia semakin terlihat culun, dia memakai blouse warna peach dengan celana katun warna putih. Wajahnya berseri dengan lipstik lembut di bibirnya. "Mau ke mana kamu?" "Anggak ada, di rumah aja. Tumben Mas pulang?" tanya Ranti cuek, dia kembali fokus ke alat make up di tangannya. "Aku masih suami kamu, aku bisa pulang kapan saja aku mau, nggak usah ngatur-ngatur." "Oh," sahut Ranti tak peduli. Sejenak Aldi melirik Ranti, rambutnya digerai melewati bahunya. Ada apa dengan wanita bodoh itu? Dia berubah terlalu cepat. "Aku mau bicara." "Boleh." "Bukan di sini, tapi di ruang tamu." Aldi pergi meninggalkan Ranti lebih dulu, wanita itu mengekor di belakangnya. Aldi duduk di sofa bewarna coklat itu, menenangkan dirinya, dia agak terganggu dengan perubahan Ranti. Entah kenapa. "Aku mau bicara baik-baik." Ranti menggangguk. "Kamu tau kan? Kita menikah karena apa?" Ranti menggeleng." Tidak tau." Aldi lupa sejenak, walaupun sudah rapi dan bersih, Ranti tetap saja wanita bodoh. "Aku menikahimu karena balas budi pada ayahmu yang selama ini baik padaku. Intinya, tak ada rasa apa pun, jujur, aku tak bahagia." Aldi menunggu respon Ranti, tapi wajahnya masih biasa saja. "Sertifikat rumah sudah ada di tanganku, dan sudah kuletakkan di lemari pakaian di kamarmu. Aku ingin meneruskan mimpiku tanpa bayang-bayang keluarga ini, kita pernah tumbuh bersama di rumah ini, aku ingin kita berpisah baik-baik. Jadi, aku ingin kita bercerai." Ranti mengerutkan kening. "Mas mau nikah lagi? Sama wanita yang naik mobil sama Mas waktu itu?" Pertanyaan itu lebih mirip pada rasa ingin tau dibanding cemburu. "Iya." "Oh." "Bagaimana pendapatmu?" "Kalau Mas nikah lagi, siapa yang menjaga aku? Ayah bilang, Mas Aldi akan menemaniku sampai tua, ayah bilang, Mas Aldi laki-laki yang baik." "Ranti, jangan terus menyiksaku dengan mengikatku begini, aku ingin bebas. Kau faham?" Aldi mulai emosi. Ranti mengikat rambutnya, sejenak Aldi jengah melihat leher jenjang itu terpampang nyata. "Aku, tanya Mbak Susi dulu." Dia buru-buru bangkit, tapi langkahnya dicegah oleh Aldi. Aldi menarik tangan Ranti kasat. "Dasar wanita bodoh, katakan saja kau setuju. Kenapa kau tanyakan pada orang lain?" Aldi mencengkram rambut Ranti, wanita itu meringis Setan kembali memasuki Aldi, aroma mawar lembut dari tubuh Ranti membuatnya terbakar, dia menarik paksa wanita itu masuk kamar. "Kau patut dihukum." "Ampun, Mas!" jerit Ranti. Aldi tak menghiraukan, dia menarik paksa kemeja Ranti, menyingkirkan semua penghalang, dan menggauli wanita itu dengan kasar. Ranti menjerit, telinga Aldi seakan tuli, saat dia selesai, matanya terbelalak, darah merah segar mengalir dari kewanitaan Ranti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN