Enam

1139 Kata
"Keluarga Nyonya Ranti?" "Ya, saya," jawab Susi cepat, dia melempar tatapan peringatan pada Aldi sebelum masuk ke ruangan Dokter. Beberapa menit yang lalu Aldi memanggilnya meminta pertolongan. Susi sangat cemas melihat Ranti yang memucat melihat darah segar mengalir deras dari pahanya. "Ada suaminya?" tanya Dokter melihat ke belakang bahu Susi, Ranti lebih tenang walau sesekali meringis. "Sebentar, Dok, saya panggil dulu." Aldi sebenarnya ada janji dengan Siska saat ini, tapi melihat Ranti pendarahan, dia membatalkan janji sepihak, walaupun Siska tak terima. "Silahkan duduk, Pak," kata Dokter ramah. "Jadi begini, istri Anda mengalami pendarahan, untuk tiga bulan ini jangan dulu melakukan hubungan badan karena kandungannya sangat rentan." "Kan ... Kandungan?" Aldi memucat Dokter wanita itu heran, Susi lebih kaget lagi. "Iya." Senyum Dokter merekah. "Istri Anda sedang mengandung, syukurnya janin masih bisa kita selamatkan, jika saja terlambat sedikit, maka...." "Saya permisi." Aldi langsung bangkit, pergi meninggalkan ruangan itu. Dokter memandang Susi, Susi membalas dengan senyum tak enak. "Dia terlalu terkejut," terang Susi, dia memaksakan senyum, padahal dia mengepalkan tangannya di bawah meja karena sangat marah. Dia melihat, betapa tak terimanya Aldi dengan berita yang seharusnya membuatnya bahagia itu. Susi menatap Ranti iba, yang bahkan tak mencerna situasi dengan baik, dia malah terlihat senang saat Dokter menyampaikan kabar itu. *** "Maaf, Mas telat!" Aldi duduk di samping Siska, di rumah baru, yang dibelikannya beberapa Minggu yang lalu. Siska masih cemberut. "Padahal aku udah masak, udah dingin, jadi aku buang." "Jangan marah, Sayang, Mas benar-benar ada perlu tadi, teman Mas masuk rumah sakit. Maafkan Mas, ya. Mas janji bakal bawa kamu jalan-jalan ke tempat yang kamu suka." Wajah Siska langsung berbinar. "Benarkah, Mas?" Aldi mengangguk. "Aku sayang sama Mas." Siska bergelayut manja. "Oh ya, kapan kita nikah?" Aldi terdiam, dia mencintai Siska, tapi dia harus menyelesaikan urusannya dulu dengan Ranti. Tapi, kenapa wanita itu malah hamil, Aldi merasa otaknya kusut, dia harus mencari cara agar bisa menikahi Siska, dan terlebih dulu menyelesaikan ikatan pernikahannya dengan Ranti. "Mas, aku punya kabar gembira." Siska tersenyum bahagia. "Apa?" "Aku hamil," sahutnya. Aldi mematung, dalam sehari ini dia dapat dua kejutan. *** Setelah dirawat delapan jam, Ranti sudah diperbolehkan pulang. Hanya Susi yang mengurus dan menemani wanita itu. Bahkan setelah mendengar penjelasan Dokter tadi pagi, Aldi tak lagi menampakkan batang hidungnya. Dokter berpesan, untuk dua bulan ke depan, Ranti harus bedress. Dia tak boleh bergerak banyak, karena kandungannya benar-benar rentan. Mereka sampai di rumah Ranti sore hari, Susi sempat berharap ada Aldi di rumah itu, sayang sekali, harapan tak sesuai kenyataan. Tak ada siapa-siapa. Susi menggiring kursi roda Ranti menuju kamarnya, meletakkan kantong uang berisi obat-obatan di atas nakas. "Perutmu masih sakit?" Ranti menggeleng. "Dokter mengatakan aku hamil, artinya aku akan menjadi seorang ibu." Senyum cerah terbit di bibir pucat itu. Susi tersenyum getir, dia tak tau, apakah harus gembira dengan ketidak pekaan Ranti atau malah mensyukurinya. Wanita itu bahkan tak mengerti, apa yang akan terjadi pada dirinya di masa depan, dengan kondisi hamil tapi memiliki suami yang tak peduli. "Bagaimana perasaanmu?" Susi bertanya hati-hati. "Aku senang, beberapa bulan lagi aku akan memiliki bayi." Susi tersenyum lagi, lalu dia mengusap puncak kepala Ranti, Ranti sudah seperti adiknya sendiri, jika bukan karena ibu Ranti, dia tidak akan bisa berdiri sampai saat ini, dulu dia memiliki penyakit yang serius, dan ibu Rantilah yang membiayai pengobatannya. "Suamimu ...." "Mas Aldi? Ke mana dia?" "Mungkin dia masih bekerja, atau ada urusan yang sangat penting. Jadi, kita tunggu saja dia pulang." "Oh," sahut Ranti tak begitu tertarik. Susi menatap Ranti iba. "Boleh Mbak ngomong sesuatu?" "Apa, Mbak?" "Jika Aldi memaksamu atau menyuruhmu memakan sesuatu, jangan kau makan, bisa?" Susi tak ingin mengatakan secara terang-terangan, bahwa Aldi akan sangat berbahaya, karena tidak menginginkan anaknya sendiri, Susi masih ingat wajah tak terima Aldi. "Mas Aldi tak pernah memberikan makanan apa pun untukku, pernah waktu itu aku minta belikan mie ayam, katanya dia lupa." "Maksud Mbak bukan begitu, misalnya kamu disuruh minum obat, atau pergi pijat, atau mengerjakan pekerjaan berat, kau jangan pernah mau, ya, bisa?" Ranti mengangguk. *** "Gimana, enak?" Siska mengangguk, dia baru saja menghabiskan seporsi rujak yang dibelikan Aldi. Wajahnya tampak puas. "Besok belikan lagi, ya, Mas." "Pas pulang kerja Mas belikan. Kita pergi ke dokter kandungan, yuk!" "Jangan!" sergah Siska cepat, dia tampak panik. "Kenapa?" "Nggak usah dulu, lain kali saja." "Mas ingin memastikan bayi ini sehat." "Aku yakin dia sehat, Mas. Nanti saja kita ke dokternya. Jika ada keluhan." "Baiklah! Mas mau pulang dulu, boleh kan?" "Tapi besok Mas jemput aku kan?" "Pasti." "Aku sayang Mas Aldi." Siska memeluk Aldi manja. "Mas juga sayang sama kamu." *** Aldi mendapati rumah dalam keadaan gelap. Untung saja pintu tidak dikunci, hanya cahaya lampu dari kamar Ranti yang berpendar ke ruang tamu. Aldi mendorong pintu kamar Ranti, nampak Bi Romlah sedang duduk di samping Ranti. Wanita tua itu lalu bangkit mohon izin sambil membungkuk, Aldi berjalan perlahan ke tempat tidur, sedangkan Ranti menatapnya lurus. "Bagaimana keadaanmu?" "Aku baik, Mas. Tapi perut masih ada nyeri sedikit. Tapi darah sudah berhenti. Mas lembur lagi?" "Iya," sahut Aldi. Jelas dia berbohong. Bahkan sehari ini dia tak masuk kantor, ia sengaja mematikan handphone-nya agar bisa menemani Siska seharian. "Mas sudah makan? Bu Romlah yang masak." "Sudah." Aldi kebingungan harus menyampaikan niatnya. "Ran," "Iya, Mas." "Kamu menginginkan anak itu?" Ranti agak bingung dengan pertanyaan Aldi. "Maksud Mas, bagaimana kalau anak itu kita gugurkan saja." Wajah Ranti berubah pias, ada ketakutan di sana. "Enggak, enggak, enggak," jeritnya. "Tenanglah! Teriakanmu bisa membuat Bi Romlah curiga." Aldi memegang bahu Ranti. "Aku nggak mau, aku menunggu anak ini, aku juga ingin punya bayi sendiri seperti orang-orang, kenapa Mas malah menyuruhku menggugurkannya." Ranti menangis. Aldi semakin gusar, dia berusaha untuk membujuk. "Oke, aku tidak akan memaksamu. Diamlah! Aku lelah, aku ingin tidur." "Mas takkan tidur di sini kan?" tanya Ranti waspada. Wajahnya berubah takut, dia masih trauma dengan kekerasan yang dilakukan Aldi padanya. "Tidak, aku takkan pernah menyentuhmu lagi." "Syukurlah!" Ranti bernafas lega. Di tempat berbeda, Siska memandang ke ujung jalan dengan gusar, saat deru motor yang dihapalnya datang, wanita itu langsung menyusul. "Naik cepat." Siska mengangguk. Mereka berhenti di sebuah kafe di pusat kota. Siska masih memakai topinya, dia memakai jilbab hanya saat bekerja di Bank, karena Bank tempatnya magang adalah Bank syariah. Si pria yang masih muda menarik tangan Siska dan duduk di pojok. "Bagaimana?" Siska cemberut. "Apanya yang bagaimana?" "Apa Robi mau tanggung jawab?" "Dia tak mau, aku sendiri tak tau ini anak siapa, karena kau juga ikut malam itu," kata Siska sengit. "Hanya sekali, Sis. Sedangkan Robi adalah pacarmu, dia yang lebih cocok jadi tersangka. Tak hanya aku malam itu, Kris dan Johan juga ikut." "Ah sudahlah! Robi b******n itu malah memukulku. Mana barangnya? Aku tak bisa lama-lama." Siska mengamati sekitar dengan waspada. "Ini," kata pria itu memberikan bungkusan kecil dan langsung disembunyikan Siska di balik sweater-nya. Siska meninggalkan sejumlah uang, lalu pergi menyetop taksi di luar kafe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN