Surat Keramat

1152 Kata
"Eh ... nyantol di sini ternyata. Ditungguin dari tadi malah disini berduaan," kata Laras saat mendapati Andini dan Bagas sedang ngobrol. "Apaan sih, orang ga sengaja ketemu juga," jawab Andini membela diri. "Lagi belanja mas?" tanya Laras sambil melihat keranjang di tangan Bagas. "Loh itu buat siapa? Kok ada begituan?" tanya Laras sambil melihat ke dalam keranjang belanja Bagas. "Buat adik ku. Dia lagi nginep di rumah hari ini," jawab Bagas menjelaskan. "Adek beneran ato adek boongan?" kekepoan Laras makin menjadi. "Dih, ga sopan banget sih kamu nanyanya. Udah yuk jalan. Mas kita pamit duluan ya," kata Andini sambil menyeret Laras pergi setelah mengambil es krim. "Eh apaan sih pake diseret segala, emangnya gw karung?" protes Laras saat mereka sampai di depan kasir. "Iya lu kaya karung. Makanya diseret," jawab Andini ketus sambil membayar belanjaannya. Mereka pun keluar dari mini market dan masuk ke mobil Andini untuk segera menuju ke kontrakan Laras. "Mas Bagas baik banget ya, ampe mau loh beliin adeknya barang begituan. Apa lagi ama istrinya ntar. Uuuhhh so sweet banget sih," kata Laras sedikit memuji Bagas. "Ya itu namanya kakak yang baik. Lu kalo cari pacar yang kaya gitu," jawab Andini sambil mengemudi. "Ga usah ngeguruin deh, kaya sendirinya yang udah punya pacar aja." "Yee ... ngingetin ga salah donk." "Lu kan udah putus ama Niko, kenapa ga coba balik aja ama Mas Bagas. Dia pasti masih nungguin kamu." "Ga usah ngaco kalo ngomong. Emang dia tempat pelarian. Ga semudah itu ya." "Hmm kayanya cinta bener dia ke Niko." Cinta? Cinta ama Niko? Benarkah? Andini terdiam saat dia mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia sendiri belum bisa mengartikan dan tahu seperti apa arti cinta sebenarnya. Kata itu memang salama ini sangat di jauhi oleh Andini. Dia tidak ingin jatuh cinta dengan yang bukan mahromnya. "Gw pinjem baju, Ras," kata Andini saat dia masuk ke kamar Laras. "Ambil aja sendiri. Mau makan dulu apa mandi dulu?" tanya Laras yang ada di dapur. "Mandi lah, udah mau magrib juga ini. Makannya ntar aja setelah mandi." Andini melepas kerudung dan gamisnya di kamar Laras. Dia berganti piyama milik sahabatnya itu. Rambut panjangnya di gelung ke atas agar tidak basah saat dia mandi nanti. "Kok, ga ada pesan dari Mas Niko ya? Apa dia ga baca surat gw? Atau dia emang ga ada respon apa-apa ke gw. Ah bodo ah, mana mungkin dia respon. Kan dia punya pacar," kata Andini bermonolog sendiri lalu melempar ponselnya di atas kasur. Dia segera beranjak ke kamar mandi sebelum hari makin malam. Air di Bandung kalau makin malam akan makin dingin. Apa lagi di kontrakan Laras tidak tersedia pemanas air seperti di tempatnya. Makanan sudah tersedia di atas meja beralaskan karpet. Andini duduk duluan sambil menyalakan TV sembari dia menunggu Laras selesai sholat. Andini mencomot sepotong martabak yang ada di atas meja sambil terus menonton TV. "Serius amat buk nontonnya," kata Laras sambil bergabung di sebelah Andini. "Ini nih, kok ada ya orang cari duit semudah itu. Jadi artis enak kali ya," kata Andini sambil meletakkan remot TV di tangannya. "Alah ngapain juga jadi artis. Jadi istri sultan malah enak, ga perlu kerja, duit melimpah." "Sultan dari Hongkong. Makan yuk, laper aku." "Sambil cerita. Kalo ga cerita bakal gw usir lu dari sini" kata Laras sambil terkekeh. Andini mulai bercerita tentang alasan dia memutuskan perjodohannya dengan Niko. Dia juga menceritakan bagaimana sikap Niko saat keputusan itu dia buat. "Jadi setelah malemnya dia baik banget ama lu, trus paginya dia begitu?" tanya Laras tidak percaya. Andini hanya mengangguk dan menikmati makanannya. "Eh, bipolar ga sih dia sebenernya?" tanya Laras lagi. "Nah itu ... itu juga yang gw rasain. Tapi kok ya kebangetan ya kalo bipolar, baru baik bentar eh lagsung jutek lagi. Bukan bipolar kali itu tapi bibunglon," kata Andini sambil terkekeh. Laras ikut tertawa dengar julukan baru untuk Niko dari sahabatnya. "Iya bener banget, kaya bunglon. Cepet banget berubahnya dan ga pake aba-aba lagi. Trus rencana lu sendiri sekarang apa?" "Apa ya? Mengalir aja sih. Ga mau ngoyo juga. Kalo emang udah ada jodohnya ya pasti nikah juga kan. Sekarang mah ama Laras aja, iya ga Ras." "Ogah," jawab Laras sambil terkekeh dan meneruskan makanannya. *** Sudah dua hari ini Niko di cuekin papanya. Papanya tidak menyapanya dan tidak menemuinya. Bahkan papanya pun tidak ingin tahu soal kantor. Niko benar-benar tidak di pedulikan oleh papanya. "Ma, papa masih marah ama Niko ya?" tanya Niko saat dia menghampiri mamanya di dapur. "Kayanya gitu. Papa udah pengen banget kamu bisa nikah ama Andini. Dia anaknya sopan, baik, pinter. Mantu idaman banget," jawab mama Niko. "Tapi Niko ga cinta ma ama dia." "Cinta bisa dateng karena terbiasa. Kalo nanti kalian hidup berdua, pasti cinta akan datang dengan sendirinya." "Iya kalo dateng, kalo ga? Kan malah cerai ma." "Buktinya mama sama papa kan ga cerai sampe kamu segede ini. Tapi terserah sama kamu, kamu yang akan menjalani hidup kamu sendiri. Pesen mama, jangan sampe kamu salah orang dan akan menyesal di kemudian hari," pesan mama Amira sambil pergi meninggalkan Niko. Niko masih terdiam disana. Dia mengambil air dan duduk di meja bar rumahnya. "Maaf Mas Niko. Ini tadi ketinggalan di saku jaket Mas Niko," kata bibi pelayan di rumah Niko. Sebuah amplop warna biru ada di tangan pelayan itu. Itu surat dari Andini kemaren yang belum sempat dia baca. "Oh iya, makasih ya bi," jawab Niko sambil menerima surat itu. Niko mulai penasaran dengan surat yang ditulis Andini untuknya. Dia membuka amplop itu dan membacanya. Dear Mas Niko Assalamu'alaikum. Mas, Andin pamit. Maaf tidak bisa pamit secara langsung ke mas. Makasih atas semua kebaikan mas selama ini ke Andin. Andin tidak menyangka, mas mau mengantarkan sendiri berkas Andin ke Bandung. Mas, mungkin Andin yang salah telah masuk diantara mas dan pacar mas. Tapi kini Andin yakin, tidak akan pernah ada ruang di hati mas untuk Andin. Pernikahan yang menyakitkan itu berdosa. Andin doakan mas bisa bahagia dengan pacar mas. Andin akan melupakan mas. Wassalamu'alaikum Niko membaca surat itu berkali-kali. Kenapa hatinya saat ini sangat terasa sakit saat membacanya. Seolah dia benar-benar telah kehilangan seseorang. Apa Niko sebenarnya suka dengan Andini? Tidak mungkin, Laura sudah memenuhi hatinya. Bahkan sebentar lagi mereka akan berkencan. "Woi, ngelamun aja lu," kata Jojo sambil menepuk pundak kakaknya. "Apan sih lu, rese amat jadi orang," jawab Niko sambil melipat kembali surat Andini. "Itu surat Andin kan? Cie, di baca terus neeh." "Apaan sih. Ini justru baru gw baca. Surat ga penting begini juga. Lu tumben ada di rumah week end gini. Udah bosen maen lu?" "Kagak, cuma lagi gabut aja sekarang. Ajak gw main lah." "Ogah, gw mau ngedate sekarang. Laura udah nungguin." "Yakin lu hari ini lu ama Laura? Mata lu ga bisa boong woi," ucap Jojo sedikit teriak karena kakaknya sudah berjalan ke arah pintu depan. "Baru baca suratnya aja udah sedih kaya gitu lo. Gimana kalo lu dapet undangan nikahnya. Gantung diri kali lu," ucap Jojo sambil meminum air di gelas yang tadi diambil kakaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN