Berubah

1230 Kata
"Kok diem sih sayank. Lagi banyak yang dipikirin ya?" tanya Laura yang sejak tadi melihat ke arah kekasihnya. "Eh, ga kok ... cuma lagi capek aja. Kan baru pulang dari Bandung," jawab Niko sambil mengusap tungkuknya. "Kamu nginep sini ya? Udah malem loh." "Haahh nginep? Laura, aku ga pernah tidur selain di rumahku. Jangan minta yang aneh-aneh donk." "Kita udah 2 tahun bersama Nik, bukannya itu sudah biasa ya?" "Mungkin buat kamu biasa, tapi buat aku enggak. Aku tidak akan meniduri kamu sebelum kita menikah." "Kalo gitu nikahin aku donk? 2 tahun aku nunggu kamu, tapi sekali pun aku ga pernah di kenalkan pada keluarga kamu. Kamu malu sama aku?" "Bukan gitu sayank, tapi belum saatnya." "Belum saatnya? Katanya kamu cinta sama aku, apa itu boong?" "Itu ga boong sayank. Tapi sabar dikit donk. Aku lagi membujuk keluargaku. Aku juga pengen nikah sayank. Pengen nikahin kamu secepatnya." "Ya udah makanya kamu cepetan bilang donk. Aku takut kehilangan kami, Nik,” "Iya sayank, aku janji akan bilang sama papa secepatnya ya." Niko memang sudah 2 tahun ini berkencan dengan Laura. Mereka saling mencintai setelah Laura mengejarnya cukup lama. Namun keluarga Niko menolak keras kehadiran Laura. Laura bukan gadis yang tepat untuk Niko. Papa Niko terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Laura di depan putranya itu. Bahkan dia mampu mengusir putranya, kalau berani nekat menikahi Laura. Niko tidak akan berani menentang papanya. Meskipun dia sanggup hidup sendiri, tapi kalau di usir dari keluarga, itu sama saja dengan menyuruh Niko bunuh diri. Niko sangat mencintai keluarganya melebihi apapun. Niko berpamitan pulang setelah hari sudah mulai malam. Niko tidak ingin mengecewakan papanya. Laura yang masih ingin menahan Niko pergi pun akhirnya mengalah. Niko pergi dari apartemen Laura. Entah perasaan apa yang dirasakan Niko saat ini, dia tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Yang pasti dia ingin segera pulang malam ini. "Oh ya, berkas. Apa benar berkas itu ada di sini?" ucap Niko yang teringat dengan ucapan Andini tadi di telefon. Niko membuka pintu belakang mobilnya, di mana dia tadi duduk dan menghabiskan waktu bersama Andini. "Cih, dasar gadis penuh modus. Dia pasti sengaja kan ninggalin ini di sini. Rasain lu, bakal gw simpen ini." Niko mengambil map plastik yang dia temukan di bawah mobilnya yang ia duga sebagai berkas milik Andini. Dia meletakkannya di kursi sebelah sopir dan tanpa buang waktu lama, dia segera memacu mobilnya kembali ke rumahnya. Niko membawa masuk berkas milik Andini dan meletakkannya di atas meja. Niko beranjak ke kamar mandi ingin sekedar mencuci mukanya. "Berkas itu penting ga sih? Kok tadi dia nanyainnya kaya yang penting gitu," ucap Niko di depan cermin. "Alah bodo amat. Kan itu bisa dia print lagi. Lagian siapa suruh teledor." Niko keluar dari kamar mandi dan penasaran dengan isi berkas itu. Dia melihat sekilas lalu kembali diam tak peduli dan melangkahkan kakinya ke tempat tidurnya. Badannya sangat lelah dan ingin segera di istirahatkan. *** "Niko, kapan kamu akan melamar Andini?" tanya Haris papa Niko. "Ga tau pa, belum ada fell apa-apa untuk itu," jawab Niko sambil menikmati sarapannya. "Putuskan hubunganmu dengan Laura, bulan depan kita lamar Andini." "Papa!! Niko belum mau menikahi Andini, pa." protes Niko sambil meletakkan sendok dan garpunya. "Papa ga peduli. Silakan pergi dari rumah ini kalau kamu tidak segera menikahi gadis pilihan papa!!" kata Pak Haris tidak kalah tegas. "Pa, sabar, Pa. Pagi-pagi kok udah ribut ama anak," Amira ikut menengahi. "Anak kurang ajar ini harus di beri pelajaran." "Ikuti aja mau Papa kenapa sih, Nik? Susah banget cuma nikah doank," Jojo adik Niko ikut menimpali. "Diem lu, ga usah ikut campur!" sungut Niko kesal. Sarapan di rumah itu sedikit tegang. Keempat orang di meja makan itu terdiam tak ada yang berani bersuara. Mereka menghabiskan makanan mereka dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam pikiran mereka masing-masing. Niko masuk dalam kamarnya, dia tampak uring-uringan setelah sedikit emosi saat sarapan tadi. Dia mengambil dasi dan memasangnya dengan cepat di lehernya. Sudut matanya menangkap map plastik yang ada di atas meja kamarnya. Rasa penasarannya muncul kembali. Dia ingin tahu apa isi map itu. Di raihnya map itu dan mulai di buka pelan. Dia mengeluarkan isi map dan melihat lembar demi lembar. "Ijazah, transkip, surat SK, daftar kepegawaian." Niko melihat dan membaca berkas itu perlahan. "Hahh hari ini terakhir di kumpul? Kalo ini ga di kumpul, apa yang akan terjadi dengan pekerjaan Andin. Apa dia akan di pecat? Baguslah, biar balik ke kampungnya sana." Niko meletakkan lagi tumpukan kertas di tangannya di atas meja. Dia keluar kamar dan berangkat ke kantor. *** "Bu Andini, kok belum setor lembar kepegawaian bu?" tanya kepala administrasi sekolah. "Anu Bu, berkas saya ilang. Mungkin saya lupa taruhnya," jawab Andini dengan wajah kebingungan. "Kalo berkasnya kan bisa minta lagi Bu, ini berkasnya. Segera kumpulkan ya?" "Masalahnya bukan cuma ini yang ilang, tapi ijazah dan syarat lainnya ada di sana. Kalau ga ada itu, buat apa saya isi ini." "Loh, ijizahnya ikutan ilang?" Andini mengangguk lemah. Dia masih mencoba mengingat di mana kira-kira dia meletakkan benda berharga itu. "Lapor dulu , Bu. Biar bisa urus ijazah baru di kampusnya. Nanti saya kasih tau dinas pendidikan, kalo berkas Ibu ilang." "Makasih ya Bu. Semoga bisa segera dapet ijazah pengganti. Andini di temani Laras sahabatnya menuju ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Dia ingin membuat surat laporan kehilangan, untuk mengurus ijazah baru. "Lagi di sini," bunyi tulisan yang di ketik Andini di status WA-nya di tambah dengan gambar di mana dia berada. Andini sedang duduk menunggu antrean untuk mengurus berkasnya yang hilang. Dia juga sibuk membalas chat yang masuk mengomentari statusnya. "Udah di cari bener-bener belum?" tanya Laras. "Udah, tapi ga ada. Takutnya ketinggalan di mobil Mas Niko, tapi ampe sekarang ga ada konfirmasi," jawab Andini. "Kok bisa ilang sih. Di ruang guru udah di cari?" "Udah di ubek-ubek Laras. Tapi barangnya ga nongol juga.” "Ya udah mau gimana lagi. ntar tuh kalo ga di cariin tiba-tiba muncul." Di tempat lain, Niko iseng berselacar di ponselnya. Dia tidak sengaja melihat status Andini. "Loh ... ngapain dia di situ? Kena kasus apa dia?" kata Niko sedikit kepo. "Apa dia lagi urus laporan kehilangan ya? Ah, bodo ah. Itu kesalahan dia sendiri." Niko meletakkan ponselnya lagi dan kembali bekerja. Dia mencoba kembali berkonsentrasi dengan berkas yang ada di depannya. "Aahh!! Apaan sih. Kenapa juga gw harus ikutan pusing. Dia yang kehilangan kok!" Niko mengambil ponselnya dan mendial nomer Andini. Lama dia menunggu panggilan tersambung. Niko pun jadi makin geram. "Halo, assalamu'alaikum," sapa Andini di seberang. "Wa'alaikumussalam. Kamu di mana?" "Ini Mas, lagi mau buat surat pengaduan, bentar dulu ya," kata Andini dan dia berniat mematikan sambungan teleponnya. Dia sudah ada di depan petugas saat ini. "Berkasmu ada di aku." Kata Niko sedikit berteriak. "Apa, Mas? Mas barusan bilang apa?" tanya Andini lagi. "Berkasmu ada di aku. Aku lupa tadi mau bilang." "Haaahh!! Beneran, Mas? Beneran ada di Mas Niko?" "Iya, udah pulang sana. Ntar aku kirim pake kurir." "Makasih mas ... makasih banget." Niko memutuskan sambungan telefon secara sepihak. "Aapan sih gw. Kenapa juga bilang berkasnya ada di gw. Harusnya biarin aja tuh anak kebingungan nyariin." "Rivan, ke ruanganku sekarang!!" Niko menelefon Rivan asistennya. Rivan segera masuk ke dalam ruangan bosnya. Dia tidak tahu apa yang membuat bosnya tiba-tiba menjadi marah. "Iya Pak, ada yang bisa di bantu?" tanya Rivan saat dia masuk ke ruangan bosnya. "Ambil map plastik di atas meja kamarku. Bawa kesini. Ingat bawa ke sini!!" titah Niko ke Rivan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN