Wanita Aneh

1088 Kata
“Hah? Gimana, Mas?” tanya Andini sedikit kaget. Niko mengangkat pandangannya dan melihat ke arah Andini. “Aku punya pacar. Jadi gak usah ngarep aku bakalan nikahin kamu.” “Oh.” “Oh?!” Niko malah yang kaget dengan reaksi datar Andini. “Kenapa, Mas? Kok kayak kaget gitu.” Niko memasang wajah kesal. “Gak. Gak papa!” “Sialan ni cewek. Datar banget mukanya. Dia ngerti gak sih maksud aku apaan? Ish! Amit-amit deh nikah ama cewek lemot!” gerutu Niko dala hati. Seperti sudah di tebak, yang terjadi di meja Niko dan Andini hanyalah kesunyian. Mereka seperti sedang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing dan hanya berbincang saat diingatkan oleh orang tua mereka. Andini pun tidak memberikan porsi lebih. Dia ingin menghargai Niko yang sudah memasang garis batas kuat untuk hubungan mereka. Hal ini sungguh berbeda dengan keadaan meja sebelah yang lebih ramai. Mereka tetap berbincang sambil menikmati makan malam. “Andin,” panggil Haris pada calon menantu yang dia pilih. “Iya, Om,” jawab Andini sambil melihat ke samping. “Kamu sekarang ngajar di mana? Kamu guru kan?” tanya Haris. “Hah?! Kamu guru? Astaga ... bener-bener jauh dari tipe aku,” gumam Niko yang lagi-lagi kaget dengan sosok Andini. Andini menoleh ke Niko sebentar sambil tersenyum tipis, lalu kembali melihat ke arah Haris. “Andin ngajar di SMA Kencana di Bandung, Om.” “SMA Kencana? Itu sekolah internasional kan ya?” “Iya, Om.” “Wah, hebat kamu. Emang pantes kamu di sana, cocok sama karakter kamu,” puji Haris. “Iya, bener, Pa. Udah cantik, pinter lagi. Nik, Andin lulusan terbaik di kampusnya loh dulu. Kuliah cuma 5 tahun sampe S2. Bener kan, Din?” Andini tersipu malu, “Iya, Tan.” “Pinter tapi norak,” gumam Niko tidak setuju dengan pendapat orang tuanya. Sebenarnya Niko sudah setengah hati datang ke acara perjodohannya ini. Hanya saja dia penasaran dengan wanita pilihan orang tuanya. Tadinya ekspektasi Niko, wanita yang akan dijodohkan dengannya adalah anak salah satu rekan bisnis papanya. Ternyata wanita itu adalah anak dari sahabat lama papanya yang tentu saja tidak punya bisnis dan lingkungan kerja seperti dirinya. Melihat Andini dengan pakaiannya, membuat selera Niko langsung menghilang untuk berkenalan lebih jauh. “Din, udah beres belum makannya?” tanya Atmaja pada putrinya. “Udah kok, Yah,” jawab Andini sopan dan melepas senyum cantiknya. “Kita pulang yuk, udah malam. Ris, kami pamit dulu ya. Makasih banyak udah dijamu.” “Aku yang makasih, Kang. Makasih banyak udah dateng ke sini bawa putri cantiknya.” Haris melihat ke arah Andini. “Din, Niko gak nyebelin kan?” tanya Haris pada calon menantunya. “Papa apaan sih, Pa,” protes Niko. “Enggak kok, Om. Mas Niko baik,” jawab Andini. Niko menoleh ke Andini. “Cih! Cari muka banget. Padahal dari tadi juga aku cuekin,” gerutu Niko yang semakin tidak suka dengan apa yang dilakukan Andini. “Ya udah yuk, kita pulang,” ajak Atmaja pada anak dan istrinya. Andini mengemasi barangnya lalu menoleh sebentar ke arah Niko yang sudah berdiri dari kursinya. Dia pun segera menyusul berdiri dan melihat ke pria tampan itu. “Mas, aku pamit dulu ya,” ucap Andini pelan. “Inget apa yang aku bilang tadi. Buat orang tua kita membatalkan ini,” pesan Niko sebelum mereka berpisah. Andini mengukir senyum. “Maaf Mas, aku gak bisa janji. Sekeras apa pun kita berusaha, kalau Alloh menakdirkan bersama, kita gak akan bisa menolak. Kita liat aja ke mana takdir membawa kita,” jawab Andini. “Maksud kamu?!” kedua alis Niko hampir bertaut. “Andin pulang dulu, Mas. Assalamu’alaikum.” Andini mengakhiri pertemuannya dengan Niko. Mendapat ucapan perpisahan seperti itu, justru membuat Niko semakin kesal. Baru kali ini dia bertemu dengan seorang wanita yang sama sekali tidak mengindahkan ucapannya. Bahkan bukan hanya itu saja, sejak tadi Andini juga lebih memilih diam dan tidak melihat ke arahnya sama sekali. Padahal biasanya, mana ada seorang wanita yang bisa melewatkan pesonanya yang mendekati sempurna itu begitu saja. Andini dan keluarganya sudah kembali ke mobil mereka. Kini mobil itu meluncur ke hotel, tempat mereka menginap malam ini. “Din, gimana tadi tentang Niko?” tanya Santi pada putrinya. “Gimana apanya, Bu?” tanya Andini balik. “Ya kesannya dong. Cocok gak kira-kira,” sahut Atmaja dari kursi depan. “Hmm ... gimana ya, biasa aja tuh, Yah. Belum kenal soalnya. Tadi juga gak banyak ngobrol, jadi, gak tau orangnya kayak gimana.” “Tapi kan harusnya tau dong, cocok apa enggak,” desak Santi. “Cocok itu kayak gimana sih, Bu? Apa kayak Ibu ama Ayah?” jawab Andini sedikit bercanda sambil bergelayut manja di lengan ibunya. “Kamu ini ya, masih aja kayak gini. Niko ganteng dan baik, dia juga pekerja keras. Kayaknya dia juga tipe orang yang akan bertanggung jawab.” “Kalo menurut Ibu Mas Niko orangnya kayak gitu, Andin ikut aja. In syaa Alloh baik.” “Susah ngomong ama anak kamu emang, Bu. Jawabnya pasti terserah. Kasih pendapat kamu di pertemuan pertama ini dong.” Atmaja terkekeh sendiri melihat kebiasaan putrinya setiap kali di kenalkan dengan seorang pria. “Emm ... apa ya? Ya gitu deh pokoknya, Yah. Udah ah, malu.” Andini lebih memilih mengakhiri pembahasan tentang Niko. Andini tidak berani mengutarakan pendapatnya. Apa lagi tadi Niko sudah membuat garis batas dengan dirinya. Meski dia tertarik dengan penampilan Niko yang sangat rapi, tapi dia lebih memilih untuk menyerahkan semuanya pada Niko. Setelah tamunya pulang, Haris pun segera mengajak keluarganya untuk pulang. Dia menyuruh Niko membayar semua tagihan makan mereka dan mengajak istrinya ke mobil lebih dulu. “Andini cantik banget ya, Pa. Lebih cantik dari fotonya. Sopan lagi anaknya,” ucap Amira saat keluarga Niko sudah ada di dalam mobil. “Iya. Anaknya cantik dan keliatan banget berpendidikan.” Haris memberikan respon. “Kalo menurut kamu gimana, Nik?” tanya Haris pada putranya yang duduk di jok depan. “Biasa aja, Pa,” jawab Niko datar. “Biasa gimana? Dia cantik gitu kok.” Amira tidak setuju dengan pendapat anaknya. “Ya biasa aja. Pa, bisa gak sih cari yang lain lagi? Masa iya yang kayak begini. Niko malu ntar, Pa. Apa kata temen-temen Niko nanti.” “Mau yang kayak apa? Yang kayak pacar kamu itu? Urakan!” “Laura gak urakan, Pa. Dia baik. Dia sayang sama Niko. Dia –“ “Kalo kamu masih mau sama dia, tinggalkan semua yang pernah kamu dapat dari Papa, termasuk perusahaan!” tegas Haris yang memotong ucapan putra sulungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN